Koran Sulindo – Penyelidikan kepada bekas Presiden Prancis Nicolas Sarkozy atas tuduhan dana kampanye illegal dari Muammar Gaddafi harus ditempatkan dalam konteks kejahatan perang.
Hubungan Sarkozy dan Gaddafi, seperti ditulis Gilbert Doctorow mirip dengan lelucon klasik mafia; “Kamu adalah temanku. Aku membunuhmu tanpa alasan.”
Sarkozy ditangkap dan diinterogasi selama 23 jam beberapa hari lalu atas tuduhan menerima 50 juta euro dari pemimpin Libya pada tahun 2007 untuk kampanye pemilihan presiden. Duit itulah yang membuatnya menjadi Presiden Prancis.
Lima tahun kemudian, ketika Sarkozy memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden kisahnya tentang Libya disebarluaskan yang memicu kekalahan tipis atas Francois Hollande. Menuding kekalahannya, Sarkozy secara langsung menyebut kisah-kisah dana kampanye dari Libya sebagai kambing hitam.
Tahun yang sama hanya atas dorongan Sarkozy, Gaddafi ditembak mati di jalanan oleh pemberontak yang memusuhinya.
Tentu saja Sarkozy membantah tuduhan itu. Ia juga menyebut bahwa Libya ingin balas dendam padanya atas keputusan mengirim pesawat tempur Prancis selama konflik di negeri itu tahun 2011.
Laporan-laporan dari media di Prancis menyebut Sarkozy menandatangani perjanjian tertulis dengan komandan intelijen Gaddafi, Abdullah Senussi untuk memberikan 50 juta euro sebagai biaya kampanya. Sebagai imbalannya, Sarkozy akan membantu Libya merehabilitasi posisi internasional Libya.
Mediapart menyebut sejumlah perantara di kedua pihak ditunjuk untuk memfasilitasi transfer dana-dana rahasia termasuk uang tunai.
Setelah memenangkan pemilihan, Sarkozy menyambut hangat kedatangan Gaddafi di Paris pada 10 Desember 2007 untuk sebuah kunjungan kenegaraan dimana ia diizinkan mendirikan tenda-tenda di kebun dekat Istana Elysée.
Pada saat itu, menjamu seseorang yang dianggap sebagai diktator di Prancis jelas memicu kontroversi di media Prancis, lebih-lebih karena kunjungan itu bertepatan dengan peringatan konvensi tentang hak asasi manusia.
Hingga pada tahun 2011 ketika Musim Semi Arab menggelora, Libya menjadi salah satu kediktatoran terakhir di Afrika Utara yang diserang oleh pemberontak yang mengaku dirinya demokratik. Di sisi lain, Prancis justru tampil sebagai penganjur paling keras agar Gaddafi mundur dan digantikan pemerintahan transisi.
Prancislah yang melancarkan kampanye perang melawan Libya sebelum Inggris dan Amerika Serikat mendukungnya. Alasan agresi itu bisa ditemukan pada korespondensi yang bocor antara Sidney Blumenthal dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
Menurut para pejabat AS, Gaddafi dianggap memiliki rencana jangka panjang untuk menggantikan pengaruh Prancis sebagai kekuatan dominan di Afrika Barat.
Mereka mensinyalir Gaddafi menyimpan 143 ton emas dan perak dalam jumlah yang hampir sama untuk membentuk mata uang Pan-Afrika berdasarkan dinar emas Libya.
Blumenthal menulis, model mata uang itu ditawarkan Gaddafi kepada negara-negara Afrika yang berbahasa Prancis sebagai alternatif pengganti CFA franc. Ini menjadi salah salah satu faktor yang mendorong Sarkozy untuk meluncurkan operasi militer di Libya. Sekadar catatan, CFA franc memang dipatok mengacu pada franc Prancis.
Tentu saja, Sarkozy tak mau Prancis kehilangan kendali pada eks-koloninya di Afrika. Ia kemungkinan besar sudah mendiskusikan rencana pembekuan aset Libya itu dengan sekutu-sekutunya. Ketika pembekuan aset-aset itu benar-benar dilakukan, negara-negara Barat praktis mengontrol hampir $ 60 miliar atas deposito minyak Libya.(TGU)