Koran Sulindo – Rapat paripurna DPR secara resmi mengesahkan Revisi Undang-undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU tersebut sekaligus menganulir ancaman Presiden Joko Widodo yang berniat mengeluarkan Perppu.
“Setujuuuu,” kata para anggota Dewan menjawab pertanyaan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang menjadi ketua sidang paripurna tentang apakah RUU revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme itu bisa diterima untuk dijadikan UU.
Persetujuan DPR sekaligus mengakhiri perdebatan politik panas sekian lama para politikus dan berbagai kelompok masyarakat.
Desakan untuk segera mengesahkan revisi UU Terorisme menguat semenjak rangkaian teror yang terjadi mulai dari Mako Brimob hingga serangan tiga gereja di Surabaya pekan lalu.
Ketika mengujungi lokasi serangan bom Surabaya, Jokowi mengancam bakal menerbitkan Perppu jika revisi UU Terorisme tak juga tuntas pada masa sidang kali ini.
Revisi UU Terorisme selama ini terganjal oleh alotnya perdebatan mengenai definisi terorisme.
RUU akhinya menyepakati yang perbuatan yang digolongkan sebagai terorisme yakni “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas.”
Perbuatan itu juga dapat menimbulkan korban bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Menurut Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i DPR akhirnya menyepakati lima unsur yang harus tercakup dalam definisi terorisme.
“Adanya tindak kejahatan yang menimbulkan teror secara masif kepada masyarakat, menimbulkan korban untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik,” kata Syafii.
DPR menghendaki ditambahkannya ‘tujuan politik’ pada RUU Terorisme untuk membedakan tindak pidana ini dengan tindak pidana biasa.
Beberapa hal yang ditambahkan menurut Syafi’I termasuk substansi pencegahan, penambahan ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan dalam penindakan, dan sebagainya.
“Selain itu menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif,” kata Syafi’I membacakan laporan Pansus.
UU Terorisme juga mengatur penambahan 1/3 dari vonis pidana jika para pelaku melibatkan anak-anak dalam aksinya.
UU ini mengatur tindakan-tindakan yang digolongkan pidana terorisme antara lain; mengajak orang menjadi anggota korporasi atau organisasi terorisme.
Sengaja mengikuti pelatihan militer atau paramiliter di dalam dan luar negeri yang direncanakan atau mempersiapkan, atau melakukan serangan teror.
Melindungi atau menampung atau mengirim orang terkait serangan teror. Mengumpulkan atau menyebarluaskan dokumen untuk digunakan dalam pelatihan teror
Memiliki hubungan dengan kelompok yang dengan sengaja menghasut untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sedangkan mengenai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, UU ini mengaturnya dalam Pasal 43 huruf I.
Ada tiga ayat dalam pasal ini yakni, poin (1) TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Pada poin (2), dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI.
Sedangkan pada poin (3) disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.(TGU)