Ilustrasi/forbes.com

Koran Sulindo – Terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat rupanya menciptakan dampak ekonomi global. Yang paling nyata terlihat adalah menguatnya nilai tukar dolar terhadap mata uang berbagai negara termasuk rupiah.

Tekanan dolar Amerika Serikat itu rupanya menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, bukan soal pelemahan rupiah itu yang menjadi kekhawatiran besar. Dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom” yang diselenggarakan  Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada awal Desember lalu, Jokowi mengatakan dolar Amerika Serikat tidak bisa lagi menjadi patokan nilai tukar rupiah untuk mengukur ekonomi Indonesia. Ia meminta agar masyarakat juga mengukur nilai tukar rupiah dengan mata uang negara lain, seperti Yuan Renminbi—mata uang Tiongkok.

Jokowi beralasan bahwa dolar tidak lagi menjadi tolok ukur yang tepat, antara lain, karena ekspor Indonesia ke Amerika Serikat saat ini tinggal 10 %. Sementara kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Trump akan penuh ketidakpastian. Dengan demikian, nilai tukar rupiah dolar kian tidak mencerminkan dasar ekonomi Indonesia. Namun, hanya menggambarkan kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang berjalan sendiri.

Masyarakat dan dunia usaha, kata Jokowi, mulai perlu mengukur Indonesia dengan mitra dagang terbesarnya. Yang disebut sebut sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, tak lain Tiongkok.  Presiden menyebut total ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15 %. Sedangkan untuk Eropa 11,4 %, dan Jepang 10,7 %. Itu sebabnya, nilai tukar rupiah semestinya lebih relevan dengan Yuan Renminbi. Pernyataan Jokowi ini sempat membetot perhatian kalangan dunia usaha dan ekonom. Apalagi pernyataan tersebut tanpa penjelasan memadai.

Saat ini dalam neraca perdagangan dengan Tiongkok, justru Indonesia mengalami defisit. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dalam lima tahun terakhir perdagangan Indonesia dan Tiongkok selalu mengalami defisit. Indonesia masih kesulitan menembus pasar Tiongkok.

Di sisi lain Indonesia membuka selebar-lebarnya kran impor produk dari Tiongkok. Pada periode Januari hingga Maret 2016, impor dari Tiongkok mencapai US$ 7,13 miliar atau setara dengan 25,40 % dari total impor Indonesia. Sementara ekspor Indonesia ke Tiongkok hanya US$ 2,84 miliar. Jumlah ini terbilang turun jika dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai US$ 3,13 miliar.

Sedangkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi investasi pada semester I 2016 mencapai Rp 298,1 triliun. Angka ini mencapai 50,1 % dari target yang ditetapkan sebesar Rp 594,8 triliun. Dari realisasi investasi itu, penanaman modal asing (PMA) masih mendominasi senilai Rp 195,5 triliun atau sekitar 65,6 %. Sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai Rp 102,6 triliun atau sekitar 34,4 %.

Singapura masih mendominasi investasi di Indonesia yang mencapai US$ 4,9 miliar atau sekitar 34,76 %. Jepang US$ 2,9 miliar atau 20,57 %, Hongkong US$ 1,1 miliar atau 7,85 %, Tiongkok US$ 1 miliar atau 7,2 %, Belanda US$ 630 juta atau 4,49 %, dan negara lainnya US$ 3,53 miliar atau 25,1 %.

Perang Mata Uang

Menanggapi soal defisit perdagangan dengan Tiongkok, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengupayakan berbabagai cara untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok. Salah satunya dengan melobi pemerintah Tiongkok agar membuka akses pasar seluas-luasnya bagi produk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, defisit perdagangan Indonesia dan Tiongkok kian membengkak saban tahun.

Karena itu, Darmin berharap agar pemerintah Tiongkok melonggarkan kebijakan perdagangannya bagi produk-produk Indonesia untuk masuk pasar negeri tirai bambu tersebut. Melalui Kementerian Perdagangan, pemerintah akan membangun pusat promosi di Tiongkok. Defisit neraca perdagangan ini terutama karena anjloknya volume maupun nilai ekspor bahan baku seperti batubara. Terlebih pertumbuhan perekonomian Tiongkok saat ini sedang mengalami perlambatan.

Darmin lalu menjelaskan apa sesungguhnya yang dimaksudkan Presiden Jokowi untuk merujuk pada Yuan Renminbi. Bahwa kurs suatu negara dengan negara lainnya ditentukan betul oleh perdagangannya. Maka, perdagangan Indonesia dengan Tiongkok semestinya diukur dengan kurs rupiah terhadap kurs Yuan.

Dana Moneter Internasional (IMF), menurut laporan The Economist, sejak Oktober lalu telah memasukkan Yuan sebagai mata uang “elite” atau mata uang acuan global bersama dolar Amerika Serikat, Euro, Poundsterling dan Yen. Mata uang elite ini kemudian disebut dengan Special Drawing Right (SDR). Keputusan ini menandai tonggak besar dalam rangka internasionalisasi mata uang Tiongkok.

Ini kali pertama IMF mengubah keputusannya sejak memasukkan Euro sebagai mata uang acuan global. Lembaga ini mempunyai dua kriteria untuk memasukkan sebuah mata uang ke dalam SDR. Pertama, negeri tersebut merupakan negara eksportir utama dalam perdagangan global. Kedua, mata uang itu harus digunakan secara luas dalam transaksi internasional dan diperdagangkan di pasar global.

Penting dicatat, Yuan saat ini hanya dipergunakan 1,1 % di perdagangan global, berada di urutan ke-sebelas dalam perdagangan pasar saham global dan urutan kesembilan pasar utang internasional. Yuan juga masih tertinggal  dalam perdagangan valuta asing. Kendati menjadi salah satu mata uang asing yang paling diperdagangkan di Asia, tapi sama sekali tidak dikenal di kawasan Amerika Utara.

Dengan keputusan IMF itu, Yuan pelahan tapi pasti mulai menggoyahkan monopoli dolar Amerika Serikat dalam pasar keuangan internasional. Dengan fakta itu pula, Tiongkok– bersama dengan sekutunya Rusia– sepertinya sedang “menantang” Amerika Serikat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia. Walau sesungguhnya Tiongkok lewat berbagai lembaga keuangan Beijing Investment Bank yang dibentuk bersama BRICS dan negara-negara Asia tidak untuk mengubah sistem ekonomi neoliberal. Tapi lebih sebagai penanda akan terjadinya perang mata uang!

Berbeda dengan Amerika Serikat, justru Uni Eropa sedang mempertimbangkan penggunaan mata uang Yuan sebagai acuan mata uang global. Kurs Yuan dianggap menarik karena stabil. Sementara itu, elite Amerika Serikat gerah atas kebijakan ekonomi Tiongkok itu. Karena itu, mereka berupaya memanipulasi pasar sebagai senjata psikologi untuk menyerang keuangan Tiongkok. Semisal, menyebutkan pertumbuhan perekonomian Tiongkok melambat dan pasar sahamnya terjun bebas. Harapannya investor menjadi tidak percaya kepada Tiongkok.

Aksi ini tentu saja diantisipasi dengan cepat oleh Beijing, sehingga meminimalkan serangan keuangan dari Amerika Serikat. Laporan Bloomberg, misalnya, menyebut Tiongkok menggunakan dolar Amerika Serikat untuk membeli mata uang mereka. Itu antara lain strategi untuk mengurangi risiko akibat akumulasi pembelian cadangan emas Amerika Serikat. Ketimbang melemahkan perekonomian Tiongkok, pemerintah Amerika Serikat semestinya lebih khawatir terhadap masalah ekonomi dalam negeri mereka.

Pelemahan perekonomian Tiongkok itu disebut hanya pengalihan dari ketidakmampuan pemerintah Amerika Serikat menyelamatkan perekonomian mereka. Meski dihantam sedemikian rupa, faktanya Tiongkok hingga hari ini terus bergerak maju dan tidak terpengaruh atas aksi Amerika Serikat itu.

Atas dasar ini pula, pernyataan Jokowi yang menginginkan kurs rupiah mengacu pada kurs Yuan Tiongkok bukanlah tanpa sebab. Pernyataan itu boleh saja sebagai penegasan posisi Indonesia dalam kaitannya perang mata uang Tiongkok dan Amerika Serikat. [Kristian Ginting]