Bung Karno

Koran Sulindo – Sejak Agustus 1959 sampai kira-kira tahun 1962, kita kerap mendengar istilah Manipol/USDEK. Kata-kata ini merupakan isi dari pidato Bung Karno yang berjudul “Penemuan Kembali Revokusi Kita” atau “The Rediscovery of Our Revolution”, yang disampaikan pada Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1959 di Istana Merdeka, Jakarta.

Banyak dari kita sekarang ini, apalagi generasi muda, yang mungkin tidak pernah mendengar istilah Manipol/USDEK. USDEK dikeluarkan atau dimanifestokan oleh Bung Karno pada saat negara kita sedang gencar-gencarnya menganut sistem liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi parlementer, yang terus-menerus memicu jatuh-bangunnya kabinet. Sistem politik dan keamanan yang tidak stabil membuat pembangunan infrastruktur terhenti dan memicu instabilitas ekonomi yang luar biasa.

USDEK merupakan singkatan dari (kembali ke) Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin-Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional.

Pada akhirnya, ketika Indonesia kembali menganut sistem ketatanegaraan seperti cita-cita Proklamasi Kemerdekaan mulailah tercipta stabilitas politik dan keamanan. Pemberontakan-pemberontakan dan gerakan separatis seperti DI/TII dan PRRI/Permesta berhasil dipadamkan. Indonesia mulai memunculkan pembangunan-pembangunan infrastruktur, mulai dari pembangunan pabrik baja, pabrik semen, sampai instalasi atom. Juga membangun Jalan Jakarta By Pass, Jalan Lintas Sumatera, dan Jalan Lintas Kalimantan—walaupun memang masih dalam tahap awal.

Indonesia bahkan sanggup menggelar pesta olahraga se-Asia dan membangun stadion utama yang kita kenal sekarang sebagai Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno. Juga hotel-hotel internasional mulai bermunculan. Yang terpenting dari segalanya adalah kembalinya Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejarah membuktikan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 ini tidak berlangsung lama. Demikian pula manfaat yang dipetiknya. Orde Baru dan militer dengan kedok menggunakan UUD 1945 secara konsekuen ternyata malah mengubahnya dengan sistem totaliter yang berbau militer; sistem ekonomi yang menumbuhkembangkan sistem ekonomi percukongan, dan; menjadi komprador imperialis Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pembangunan cukup pesat, namun tidak memihak rakyat, yang pada akhirnya ekonomi kita setelah 30 tahun terpuruk menjadi di bawah titik nadir, sehingga harus digadaikan kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

Sekali lagi terjadi perubahan sistim ketatanegaraan lewat reformasi. Cita-citanya sama: ingin memperbaiki konstitusi. Bunyinya juga sama: UUD 1945, namun dibarengi dengan amandemen-amandemen.

Ternyata hasilnya lebih parah lagi. Alih-alih memperbaiki, amandemen-amandemen itu malah mengubah UUD 1945 secara besar-besaran. Sebagai saksi hidup yang turut berperan dalam Sidang Umum MPR RI, saya sangat bisa merasakan nuansa liberal yang ingin dipaksakan masuk sebagai amandemen di UUD 1945.

Saya bahkan menyaksikan sendiri berseliwerannya para konsultan, aktivis-aktivis lembaga swadaya masyarakat, bahkan diplomat negara-negara Barat di luar ruang sidang Gedung Nusantara 1 Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka kerap berdiskusi dengan sebagian anggota MPR—sungguh suatu hal yang memprihatinkan.

Akhirnya, kita sekarang ini melihat dan merasakan bersama, betapa berubahnya isi dari UUD 1945 setelah diamandemen: peran MPR dikebiri, tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan hanya lembaga tinggi negara saja, yang bertugas untuk melantik presiden. Fungsi MPR sebagai pembuat garis-garis besar haluan negara ditiadakan. Keanggotaannya yang dulu terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan golongan fungsional diubah menjadi hanya anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)—sebuah lembaga tinggi negara baru yang sengaja dibentuk untuk mengakomodasi para utusan daerah.

Kemudian muncul pertanyaan, ke mana perginya golongan fungsional itu? Raib ditelan amandemen?

Presiden dipilih langsung, bahkan kebablasan sampai-sampai gubernur, bahkan bupati dan walikota, juga dipilih langsung. Pasal mengenai ekonomi menekankan pada efisiensi sehingga terlihat aspek kegotongroyongan, sosialisme, dan kekeluargaan menjadi pudar.

Menjelang dua dekade sesudah perubahan UUD 1945 besar-besaran itu kita pun menjadi sama tahu: betapa besar tenaga, waktu, dan dana yang digunakan untuk proses pemilihan para eksekutif ini. Belum lagi munculnya gesekan-gesekan di antara anak bangsa, terutama semasa kampanye, yang tak jarang mengakibatkan kerusuhan, perang kata-kata kasar, politik pencitraan yang berlebihan, dan politik uang demi kemenangan kandidat. Berkembangnya teknologi informatika dan semakin mudahnya dunia maya diakses siapa saja menambah keributan ini, yang membelah pilah masyarakat pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan.

Kebijakan ekonomi yang berlandaskan efisiensi yang secara bertahap menafikan subsidi, mengutamakan pertumbuhan tapi kurang mempertimbangkan kesejahteraan rakyat, memang membuat pertumbuhan ekonomi yang bagus. Namun, kesenjangan ternyata semakin melebar dan Gini Ratio memburuk. Sistim ekonomi secara kasat mata menunjukkan adanya pembiaran atas praktik yang kuat dan yang lebih efisien memakan yang lemah, sementara pengembangan ekonomi kerakyatan masih lamban, walaupun presiden telah berusaha sepenuh tenaga untuk memajukannya. Semua ini diperburuk dengan tiadanya garis-garis besar haluan negara, yang sebelumnya selalu dibuat oleh MPR.

Di bidang kebudayaan, kalau dulu oleh Bung Karno ditiadakan sifat dan budaya kebarat-baratan, sekarang justru berkembang kebudayaan asing yang dikaitkan dengan keagamaan, walau sebetulnya sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan agama.

Dengan menyaksikan itu semua, sungguh tepat kiranya kalau dikatakan bahwa pidato dan konsep Bung Karno setengah abad yang lalu masih relevan untuk digunakan  sekarang, yakni kembali lagi ke UUD 1945 yang seutuhnya. Ekonomi yang berdasarkan efisiensi sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang dasar yang baru kita kembalikan kepada ekonomi negara yang berlandaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Demokrasi sesuai UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan melalui pemilihan umum. Atas dasar pemilihan umum itu akan terpilih perwakilan rakyat dalam demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin dalam permusyawaratan perwakilan. Percayakan mereka untuk memilih pemimpin-pemimpin lewat lembaga perwakilan, mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota, beserta wakilnya, sebagaimana dilakukan sejak tahun 1945 hingga tahun 2000.

Yang menjadi kunci adalah melaksanakan pemilihan umum yang benar-benar jujur, adil, bebas, dan rahasia secara konsekuen, sebagaimana pernah kita laksanakan pada tahun 1955. Kalau kita dulu dengan tingkat pendidikan yang lebih minim mampu melaksanakan pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia, kenapa sekarang tidak?

Jadi, sebetulnya tidak ada yang perlu diubah dari UUD 1945, melainkan implementasinya diperbaiki. Sekali lagi: pemilihan umum harus mendasarkan pada praktik jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Itu yang tidak pernah dilakukan pada zaman Orde Baru.

Sudah selayaknya patut kita pikirkan dengan serius untuk betul-betul kembali ke UUD 1945. Niscaya negara kita jaya dan rakyat kita akan lebih sejahtera. [Emir Moeis]