Ilustrasi: Presiden Soekarno membacakan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 di depan Istana Merdeka Jakarta

Keadaan sedang macet di mana-mana. Konstituante hasil Pemilu 1955 belum menghasilkan apa-apa setelah bersidang dari 1956 hingga 1959 itu. Di luar wilayah Konstituante bersidang di Bandung itu, pergolakan dan intervensi diam-diam dari negeri asing dapat dirasakan jelas. Persaingan di antara partai politik yang saat itu berjumlah sekitar 30 buah sangat keras. Keadaan ekonomi hampir bisa dikatakan mandek.

Melihat negara macet itu, kabinet Juanda, Dewan Nasional, dan Angkatan Bersenjata (ABRI) mencoba mencari jalan keluar. Ketiganya sepakat mengadakan intervensi.

“Cuma yang dimasalahkan waktu itu adalah caranya. Lewat pintu depan atau pintu belakang. Akhirnya diputuskan untuk memanfaatkan karisma Bung Karno mendobrak kemacetan lewat pintu depan,” kata sekertaris Dewan Nasional Roeslan Abdoelgani, seperti dikutip Majalah Tempo Edisi 14 Juli 1979.

Intervensi dilakukan 22 April 1959. Presiden dan Ketua Dewan Nasional, Soekarno, seluruh anggota Kabinet Juanda, dan pimpinan ABRI, datang ke Bandung. Bung Karno lalu berpidato di hadapan 464 anggota Konstituante yang hadir (dari total 532 orang).

Dalam pidato yang kelak dibukukan dengan judul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” itu, Bung Karno mengkritik cara kerja Konstituante yang tidak mengalami kemajuan selama 2 tahun 5 bulan dan 12 hari, dan sekarang ia meminta supaya usul pemerintah disetujui dengan segera.

Dalam pidato selama dua setengah jam itu Bung Karno mengusulkan Indonesia kembali ke UUD 1945, “Usul pelaksanaan kembalinya Undang-Undang Dasar 1945 itu memang belum menjamin mengatasi kesulitan-kesulitan bangsa. Tidak pernah ada satu revolusi yang memecahkan satu persoalan dalam satu malam, tetapi UUD 1945 akan memungkinkan  bangsa Indonesia menghadapi kesulitan-kesulitannya”.

Sehari kemudian, 23 April 1959, Bung Karno terbang mengunjungi Turki, Polandia, Hongaria, Rusia, Skandinavia, Brasilia, Argentina, Meksiko, Amerika Serikat, Jepang, Kamboja dan Vietnam Utara.

Di dalam negeri Konstituante terus berdebat. PNI dan PKI menerima usul rencana pemerintah tentang UUD 1945, Masjumi menolak. Sejak awal Juli 1959, Konstituante ikut macet juga. Dalam 2 kali pemungutan suara tidak menghasilkan quorum 2/3 suara.

KSAD sebagai penguasa darurat dengan persetujuan Perdana Menteri, waktu itu Presiden Soekarno sedang lawatan ke luar negeri, menghentikan sementara kegiatan politik.

Pada 3 Juli 1959 diadakan sidang kabinet di Istana Bogor, dihadiri KSAD dan Ketua Mahkamah Agung yang merumuskan Dekrit berdasar hukum darurat negara.

Dua hari kemudian, pada 5 Juli 1959, dalam upacara yang berdurasi hanya 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Sukarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Dekrit Presiden tentang berlakunya kembali UUD 1945. Upaya yang dilakukan Presiden ini berdasar hukum keselamatan negara dalam bahaya yang luar biasa yang terpaksa dijalankan (“Staatnoodrecht”).

“Kami Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, menetapkan pembubaran konstituate. Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara”