Rizal Ramli (tengah) sewaktu menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya, didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kiri) dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (kanan).

Koran Sulindo – Gubernur baru Bank Indonesia (BI) dan deputinya harus berani berterus terang menjelaskan data ekonomi Indonesia. Juga memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan bagi pemerintah. Demikian dikatakan ekonom senior Rizal Ramli dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR di gedung parlemen, Jakarta, Senin (26/3). Rizal diundang oleh para wakil rakyat untuk memberi pandangan untuk pemilihan gubernur baru BI dan deputinya untuk periode 2018-2023.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya itu memberi contoh soal pelemahan rupiah. “Jujur saja, bukan hanya karena tekanan eksternal, tapi ada juga faktor domestik yang membuat rupiah melemah,” katanya.

Melemahnya nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga Maret 2018, lanjutnya, bukan hanya disebabkan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat dan rencana ekspansi fiskal yang diutarakan presidennya, Donald Trump, seperti yang kerap disebutkan pihak BI sebagai penyebab utama depresiasi rupiah.

Penyebab melemahnya rupiah, menurut Rizal, adalah juga karena kondisi ekonomi domestik, seperti masih banyaknya aliran modal jangka pendek di pasar keuangan dan neraca transaksi berjalan yang terus defisit. “Gubernur BI yang sekarang tidak pernah menyebutkan komponen domestiknya yang membuat rupiah melemah. Padahal, ekonomi kita masih sangat rentan,” ungkap Rizal.

BI selalu menyebutkan, mata uang negara-negara lain  juga melemah. “Dikomparasikan. Padahal, ada pekerjaan rumah di kondisi domestik yang bisa menjadi catatan BI,” tutur Rizal lagi.

Ia pun menyarankan, untuk perbaikan kebijakan di pasar keuangan, Gubernur BI harus mampu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian mampu mengurangi dana asing di pasar keuangan (hot money) dan menggantikannya dengan dana asing berjangka panjang.

Jajaran kepemimpin bank sentral juga, ungkap Rizal, harus mampu mendorong pemerintah atau kementerian di sektor rill untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan melalui kebijakan di sektor perdagangan. “Itu adalah beberapa yang menjadi penyebab risiko domestik. Memang banyak yang bukan wewenang Gubernur BI, tapi Gubernur BI bisa mendorong itu,” katanya.

Adalah tidak tepat, tambahnya, jika BI kerap membandingkan rasio utang pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (Debt to GDP Ratio) Indonesia dengan Amerika Serikat. Karena, perbandingan tersebut sangat tidak proposional dan dapat memberikan pemahaman yang keliru. Debt to GDP Indonesia yang 29% tidak bisa dibandingkan dengan Amereka Serikat, yang satu-satunya negara di dunia yang dapat memproduksi dolar Amerika Serikat dan menjualnya ke negara lain. ”Sementara itu, Indonesia apakah bisa melakukan itu dengan rupiahnya?” kata Rizal.

Dalam kesempatan itu, Rizal juga memberi contoh apa yang terjadi pada tahun 1996. Pada bulan November 1996, katanya, pihaknya memprediksi akan ada suatu krisis besar di Indonesia pada tahun 1997-1998. Prediksi itu berdasarkan pandnagan atas indikator utang Indonesia yang lebih banyak dikuasai swasta, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) tinggi, dan rupiah yang di bawah nilai fundamentalnya hingga 8%. “Kami ingat waktu itu ramalkan pada November 1996 akan ada krisis besar 1997-1998. Saat itu tidak ada analisis yang mengatakan itu kecuali kami. Tapi nyatanya dibantah oleh BI dan pemerintah. ‘Enggak bener,’ katanya. Akhirnya apa yang terjadi? Krisis dahsyat di 1998,” tuturnya.

Ketika itu, lanjutnya, otoritas moneter tidak transparan menyampaikan data utang swasta. “Waktu itu enggak ada tuh data utang swasta, tapi sekarang ada, harusnya lebih transparan,” ujar Rizal.

Rencananya, pada Selasa besok (27/3), Komisi XI DPR akan melakukan fit and proper test pada tiga calon Deputi Gubernur BI, yakni Dody Budi Waluyo, Wiwiek Sisto Widayat, dan Doddy Zulverdi. Lusanya, Rabu (28/3), akan dilakukan fit and proper test Perry Warjiyo sebagai calon Gubernur BI. Hasilnya akan diumumkan pada Kamis (29/3) dan pada Selasa (3/4) untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR. [RAF]