Koran Sulindo – Perekonomian Indonesia membaik ditopang permintaan domestik yang tetap kuat dan peningkatan kinerja ekspor dan investasi. Meski begitu, sejumlah risiko global terutama terkait kebijakan Amerika Serikat dan risiko geopolitik di Eropa tetap perlu diwaspadai.
“Kedepan, Bank Indonesia terus mewaspadai sejumlah risiko baik yang bersumber dari ketidakpastian ekonomi dan keuangan global,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ph.D., di Auditorium Magister Manajemen UGM, Jum’at (24/2).
Kehadiran Perry Warjiyo ini dalam rangka mengisi kuliah umum bertajuk “Outlook Tantangan dan Arah Kebijakan 2017”. Selain Perry, juga dihadirkan Komisi XI DPR RI, M. Prakosa. Selain memberikan kuliah umum Perry mewakili Bank Indonesia juga melakukan kerjasama dengan UGM. Kedua institusi ini sepakat memperkuat kerjasama Tridharma Perguruan Tinggi. Kerja sama dilakukan untuk memperluas wilayah kerja sama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Menurut Perry, rencana relaksasi regulasi keuangan di negara Paman Sam ini bisa meningkatkan risiko stabilitas sistem keuangan global. Pun juga kebijakan proteksinois perdagangan AS semakin menambah ketidakpasitan global. Sementara di ranah domestik perlu diwaspadai adanya tekanan terhadap rupiah. Demikian halnya dengan tekanan inflasi karena adminsitered prices dan kenaikan harga volatile foods, ditambah optimalisasi transmisi moneter dan stabilitas sistem keuangan.
“Karenanya arah bauran kebijakan BI 2017 difokuskan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat potensi pemulihan ekonomi,” ungkapnya.
Sedangkan anggota Komisi XI DPR RI, M. Prakosa pada kesempatan itu menyoroti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Dikatakan, APBN 2017 sebagai stimulus fiskal untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,1 persen tahun ini menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan utama fiskal ini pada tahun 2017 ada di sisi perpajakan yaitu penerimaan pajak tinggi yang belum diikuti dengan pertumbuhan riil perpajakan.
“Pajak sebagai tumpuan pendapatan ditargetkan tumbuh 27 persen. Padahal pertumbuhan riil perpajakan pada 2015-2016 dibawah 10 persen,”tegasnya.
Prakosa menyatakan, rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) selama 10 terakhir terlihat stagnan, yakni sekitar 11 persen. Menurut Prakosa rasio ini tergolong kecil sehingga sumber utama untuk membiayai APBN menjadi tidak maksimal. Dan salah satu faktor yang mempengaruhi stagnasi ini adalah kemampuan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dalam menggali pajak belum maksimal. DJP baru mampu menggali 42-47 persen dari total potensi pajak. Artinya masih sekitar 53-58 persen potensi pajak belum tergali.
Karena itu, lanjut Prakosa, pemerintah perlu melakukan penyesuaian anggaran.Pdengan strategi berbasis pada asumsi penerimaan atau strategi yang bertumpu pada aspek belanja.
“Opsinya pengurangan anggaran atau malah pelebaran defisit,” tutur Prakosa. [YUK]