Koran Suluh Indonesia Volume 10 Tahun III, 14 Mei-27 Mei 2018

Koran Sulindo – Gerakan Reformasi yang terjadi pada 20 tahun lalu bukanlah gerakan yang dimulai karena bangsa Indonesia punya imajinasi seragam. Gerakan ini terjadi karena sebagian besar dari rakyat Indonesia punya penderitaan yang sama, kesumpekan yang hampir serupa, yang terjadi karena kesemena-menaan penguasa. Sebagian besar dari kita ketika itu menyaksikan sendiri betapa penyelewengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan dilakukan pemerintah hampir setiap hari, di depan mata-kepala.

Momentum Gerakan Reformasi memang ada di bulan Mei 1998. Namun, prosesnya telah dimulai bahkan sejak beberapa tahun setelah Soeharto resmi menjadi presiden. Soeharto sendiri naik ke kursi kepreisdenan dengan didahului oleh terjadinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia: pembunuhan, pemusnahan, pengusiran, perbudakan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Sebelum Presiden Soeharto resmi mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, kerusuhan massal juga terjadi, terutama pada 13 sampai 15 Mei 2018. Dalam kerusuhan itu pun terjadi kejahatan yang hampir serupa dengan peristiwa kelam di tahun 1965 dan 1966. Ada pembunuhan, penganiayaan, penjarahan, pemerkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Selayaknyalah kita berduka untuk mereka yang telah menjadi korban keberingasan rezim penguasa itu. Kita juga sudah sepatutnya memberi salam takzim kepada orang-orang yang berani bersuara keras menentang pemerintah yang menyelewengkan kekuasaannya, menyimpang dari rel konstitusi.

Setidaknya ada dua isu utama yang mencuat seiring munculnya Gerakan Reformasi, yakni demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia. Pada tahun-tahun awal reformasi digulirkan, demokratisasi memang terlihat mulai masuk rel kembali. Kehidupan bernegara ditata dengan prinsip-prinsip transparansi dan pertanggungjawaban publik.

Upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi juga dirintis. Langkah ini memang penting dilakukan, sebagai bagian dari proses transisi demokrasi yang harus dilalui bangsa Indonesia. Itu sebabnya, komitmen penyelesaian pelanggaran hak asasi dengn cepat dituangkan ke dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di butir ke-10 Arah Kebijakan Bidang Hukum. Dalam bagian itu diamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

Pada tahun itu pula diterbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan, berdasarkan undang-undang tersebut kemudian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa 1965-1966. Sebelumnya, tahun 1998, MPR juga mengeluarkan sejumlah ketetapan, antara lain Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang PokokPokok Reformasi Pembangunan; Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dari Unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan; Tap. MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Penegakan Hak Asasi Manusia.

Berbagai aturan lain yang berkenaan dengan kedua isu utama Gerakan Reformasi seiring berjalannya waktu juga diterbitkan. Juga berbagai lembaga didirikan.

Namun, sampai hari ini, kita sama-sama menyaksikan dan merasakan, tak pernah ada komitmen yang teguh dari para penyelenggara negara di masa reformasi ini untuk menjalankan amanat dalam berbagai produk hukum tersebut. Demokrasi kita, misalnya, kualitasnya tak lebih baik dari masa sebelum reformasi.

Demokrasi masa reformasi tetap menghasilkan banyak “produk gagal”: mulai dari politik transaksi, politik gentong babi, parade koruptor, segregasi sosial, sampai konflik horizontal. Harus diakui,  demokrasi kita masih lebih banyak berkutat pada hal-hal prosedural untuk kepentingan elektoral. Rakyat lebih banyak dilihat sebagai angka, sebagai sekumpulan massa yang hak suaranya bisa dikonversi dengan uang (plus iming-iming janji), bukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini.

Rasanya, selama 20 tahun ini, kita tak beranjak ke mana-mana, jalan di tempat. Dua puluh tahun tanpa makna. [PUR]