Koran Sulindo – Di kalangan warga yang terlibat dalam gerakan separatisme di Irian Barat, ada pandangan yang menganggap Belanda tidak pernah menjajah rakyat Papua, artinya mereka tidak sadar dan tidak melihat negara Belanda sebagai kekuasaan kolonial dan imperialis. Mereka bicara tentang adanya “keharmonisan” di bawah kekuasaan Belanda. Pandangan ini melahirkan sebuah sektor warga yang pro-kolonialisme Belanda.
Seorang aktivis separatisme Papua yang kebetulan saya jumpai di Kongres Liga Interasional Perjuangan Rakyat (ILPS) V di Hongkong, bulan Juli 2019, berkata bahwa mereka tidak pernah menentang Belanda. Jadi, salahkah saya kalau saya bilang bahwa para pendukung separatisme Papua pada hakikatnya pro-kolonialisme Belanda?
Sektor warga pro-kolonialisme Belanda tidak hanya terdapat di Papua. Contoh konkret di kalangan orang Maluku, terutama mereka yang tinggal di negeri Belanda, yang melahirkan separatisme dengan negara bonekanya, Republik Maluku Selatan (RMS). Juga di kalangan tentara KNIL dan lapisan masyarakat yang hidupnya bergantung dan terjalin erat dengan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Bahwa ada lapisan masyarakat yang tidak “merasa” dijajah, tidak berarti penjajahan itu tidak ada. Perasaan “tak dijajah” sementara lapisan masyarakat Papua tidak menghapus fakta bahwa sejak pertengahan 1936, perusahaan Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij sudah punya markas di Babo, untuk mengeksploitasi minyak dari perut bumi Papua dan mengangkutnya ke luar Papua guna mengisi pundi-pundi kaum pemodal kapitalis Belanda. Dan itu dilakukan tanpa izin rakyat Papua.
Kok bisa Belanda (bukan orang suku Melanesia dan negeri asalnya terletak 13.212 kilometer dari Papua) mengebor dan mengangkut (baca: merampok) minyak milik rakyat Papua dengan bebas, aman dan tenteram? Itukah tanda “harmonisasi” antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat Papua?
Adanya pandangan pro-Belanda ini membuktikan tidak meratanya perkembangan ekonomi, sosial dan politik di kepulauan Nusantara selama kolonialisme Belanda. Bahkan sekarang pun, di bawah sistem setengah jajahan setengah feodal, ketidakseimbangan dan kesenjangan dalam perkembangan ekonomi, sosial dan politik tidak akan dapat diatasi. Dampak dari tidak meratanya perkembangan ekonomi, sosial dan politik, antara lain tercermin dalam tidak samanya kesadaran politik massa rakyat luas di berbagai pulau.
Penegasan beberapa tokoh separatisme Papua tentang perbedaan ras antara penduduk Papua dengan mayoritas penduduk Indonesia lainnya lebih lanjut mencerminkan betapa besar dan kuatnya warisan rasisme yang ditinggalkan oleh kekuasaan kolonial Belanda. Salah satu alasan besar yang diajukan Belanda untuk memisahkan Papua Barat dari Indonesia dan terus mengangkanginya adalah penduduk Papua tidak sama rasnya dengan penduduk Indonesia lainnya.
Kita temukan pikiran berdasarkan ras ini juga pada diri Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam diskusi tentang luas negara Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945. Berkaitan dengan Papua, pada pokoknya terdapat dua pendapat besar yang diwakili oleh Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta.
Yamin memasukkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Hatta tidak sepakat Papua dimasukkan dalam wilayah Indonesia, dengan alasan perbedaan ras. Dasar ras ini juga digunakan Hatta untuk memilih Malaya dan Borneo Utara sebagai bagian dari wilayah Indonesia ketimbang Papua. Padahal Malaya dan Borneo Utara bukan jajahan Belanda. Yang lebih masuk akal dan sesuai dengan hukum internasional yang mengakui prinsip Uti Possidetis Juris (“as you possess under law”) adalah wilayah Hindia Belanda menjadi wilayah Indonesia. Dan Papua termasuk Hindia Belanda. Kalau tidak, bagaimana mungkin Boven Digul dijadikan tempat kamp konsentrasi para perintis kemerdekaan Indonesia.
Berikut yang dikatakan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 4 Mei, 1963 di Jayapura.
“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands Indië. Itulah wilayah Republik Indonesia. Dengarkan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak! Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak dari pada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”
Tokoh separatisme Papua, Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB (Komite Nasional Pembebasan Papua), dalam Kongres ILPS V, Juli 2019, di Hongkong, menyebut Hatta untuk membela posisi separatisnya. Hatta juga dijadikan referensi oleh pendukung separatisme, Dhandy Laksono, dalam debatnya dengan Budiman Sudjatmiko, 22 September yang lalu. Lagi-lagi tercermin pandangan ras yang dijadikan salah satu dasar pokok untuk memisahkan Papua dari Indonesia.
Tak terbantahkan, pandangan Hatta berkaitan dengan Papua Barat senapas dan sesuai dengan keinginan Belanda untuk terus bercokol di sana. Sikap Hatta yang cenderung pro-kolonial Belanda sebenarnya dapat dilihat dari sepak terjangnya sepanjang hidupnya sebagai politikus dan pejabat pemerintah. Salah satu contoh gamblang adalah hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang jelas-jelas menguntungkan Belanda dan merugikan Indonesia. Bayangkan, di bawah kepemimpinannya, delegasi Indonesia menerima pasal yang mengharuskannya membayar utang pemerintah kolonial Belanda termasuk ongkos perang dua agresi militer yang dilancarkan Belanda untuk menghancurkan Indonesia.
Herbert Feith, dalam Kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia (2006), menulis: “Hatta-lah, ketimbang tokoh Republik lainnya, yang telah lebih banyak menginspirasi kepercayaan pihak BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, artinya Pertemuan Konsultasi Federal yang dilakukan oleh negara-negara boneka ciptaan Belanda), Belanda dan Amerika, yang memungkinkan adanya keputusan Perjanjian Meja Bundar yang relatif menguntungkan. Bagi berbagai kelompok ini, ia dapat diterima karena posisinya yang umumnya moderat, orientasi hukumnya, kebenciannya kepada perubahan yang tidak direncanakan, dan komitmen yang selalu ia pertahankan untuk melindungi investasi asing di Indonesia.”
Pertanyaannya, menguntungkan siapa? Indonesia atau negeri Belanda?
Sangat masuk akal, pada tahun 1956, Pemerintahan Sukarno membatalkan secara sepihak perjanjian KMB yang sangat merugikan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.
Dukungan kepada Separatisme
Sangat disayangkan adanya beberapa organisasi politik dan massa progresif revolusioner internasional yang mendukung separatisme Papua Barat. Tanpa pengetahuan yang memadai atas fakta dan sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk mengusir penjajah kolonial Belanda, mereka berusaha menerapkan prinsip menentukan nasib sendiri dengan mengabaikan prinsip analisa konkret atas situasi konkret.
Dengan menuduh Indonesia melakukan agresi dan menduduki Papua sejak 1962, mereka menyamakan pemerintahan Suharto dengan pemerintahan Sukarno yang anti-kolonial dan anti-imperialis. Kalau Sukarno sama dengan Suharto, apa alasan kekuatan imperialis yang dipimpin AS untuk mendorong kudeta militer Suharto demi menghancurkan PKI dan gerakan rakyat revolusioner melalui pembantaian 3 juta manusia (pengakuan Jenderal Sarwio Edhi); penyiksaan, pemenjaraan dan penghilangan paksa ratusan ribu orang yang tak pernah dibuktikan kesalahannya?
Pembantaian tahun 1965/66 adalah genosida terbesar di Indonesia. Tanpa sedikit pun ingin mengurangi penderitaan rakyat Papua di bawah kekuasaan Orba tanpa Suharto, namun secara objektif saya berani mengatakan apa yang terjadi di Papua sekarang sama sekali tak dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi tahun 1965/66.
Mereka juga dengan sadar melupakan fakta bahwa kaum komunis berjuang sejak 1926 untuk mengusir kaum kolonial Belanda dari Hindia Belanda. Mereka mengabaikan fakta bahwa PKI dan berbagai organisasi massa revolusioner mendukung dan turut serta secara aktif dalam kampanye pembebasan Irian Barat yang dilancarkan pemerintahan Sukarno pada 1960-an. Dengan serampangan Sukarno dituduh ultra-nasionalis dan dicabut haknya untuk membela integritas wilayah sah Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Artinya mereka tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan memihak kaum kolonial Belanda yang sejak konferensi KMB 1949 menolak dengan berbagai macam alasan untuk meninggalkan Papua Barat.
Dalam situasi di mana perjuangan rakyat Indonesia untuk mengusir Belanda dari Irian Barat semakin mendapat simpati internasional, Belanda menggunakan taktik “self determination” untuk rakyat Papua Barat. Sukarno, yang bukan komunis, mampu melihat dan membelejeti kedok “self-determination” kaum kolonial Belanda. Silakan menyimak reaksi Bung Karno, September 1961, terhadap pidato tahunan Ratu Juliana di depan parlemen Belanda.
“Saya menghargai goodwill Ratu Juliana terhadap masalah Irian Barat. Saya tahu yang dimaksud oleh Ratu Juliana ialah apa yang dinamakan politik ‘self determination’”.
“Saya juga mengetahui apa yang dapat diakibatkan oleh politik “self determination” semacam itu yang berada di bawah pengawasan asing. Penggunaan politik semacam itu bukanlah merupakan hal yang baru bagi kami. Pada zaman Van Mook politik yang dinamakan politik ‘self determination’ semacam itu menghasilkan pembentukan suatu ‘Sumatera Timur Merdeka’, suatu ‘Sumatera Selatan Merdeka’, suatu ‘Pasundan Merdeka’, (Jawa Barat), suatu ‘Jawa Timur Merdeka’, suatu ‘Madura Merdeka’, suatu ‘Kalimantan Timur Merdeka’, suatu ‘Indonesia Timur Merdeka’, dan lain-lain yang dinamakan daerah-daerah otonomi. Dengan demikian Van Mook sebenarnya membalkanisasi Indonesia”.
“Akan tetapi pada tahun 1950 bangsa Indonesia yang bersatu telah mengakhiri hidup dari apa yang dinamakan ‘Negara-negara Merdeka’ itu dan memulihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
“Saya tolak apa yang dinamakan politik ‘self determination’ pemerintah Belanda ini. Politik semacam ini hanya menimbulkan kekacauan di masa depan”.
Jangan karena ingin menunjukkan kesetiaan kepada Lenin, maka semua “self determination” dianggap mempunyai sifat progresif dan harus didukung. Apakah kita harus mendukung “self determination” rakyat Tibet, rakyat Xinjiang, rakyat Taiwan dan menjalankan politik dua Tiongkok?
Kalau mau setia kepada Lenin, jangan lupa melakukan analisa kelas terhadap semua organisasi yang mendukung separatisme. Apakah kita harus mendukung aspirasi “self determination” Papua yang tokoh-tokohnya dengan jelas membalas rasisme Orba tanpa Suharto juga dengan rasisme terhadap suku bangsa yang bukan asli Papua?
Indonesia adalah negeri setengah jajahan setengah feodal. Perampasan tanah termasuk tanah adat, pembabatan hutan sumber kehidupan rakyat, perampokan sumber kekayaan alam untuk diserahkan kepada investor swasta dan asing, pelanggaran berat HAM, pemasungan hak-hak demokratis rakyat terjadi setiap hari di segala pelosok Tanah Air. Ujung tombak yang seharusnya ditujukan kepada kaum tuan tanah besar, kaum kapitalis birokrat dan komprador serta imperialisme malah digunakan untuk mengadu domba dan mengembangkan kebencian antar suku bangsa. Akibatnya rakyat dialihkan perhatiannya dari perjuangan kelas, dari masalah pokok yang justru berdampak langsung pada kelangsungan hidupnya.
Begitu besar semangat para pendukung separatisme untuk menerapkan prinsip “self determination” Papua sampai-sampai mereka melupakan masalah tanah, yang merupakan kontradiksi pokok yang harus diprioritaskan penyelesaiannya.
Barangkali konflik horizontal di Wamena menyenangkan para pendukung separatisme, karena merasa orang Papua punya hak untuk membalas rasisme dari pemerintah dan oknum-oknum reaksioner dengan tindakan balasan rasis dan kekerasan terhadap penduduk pendatang. Konflik horizontal, saling balas membalas antara penduduk asli dan pendatang hanya akan digunakan rezim Orba tanpa Suharto untuk memadati Papua dengan polisi, tentara dan aparat militernya.
Jelas, tidak semua orang Papua mendukung separatisme. Sudah sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 terdapat orang Papua yang pro-Indonesia. Dukungan terhadap separatisme akan membuat semakin besar perpecahan dan kebencian rasis di kalangan suku bangsa Papua dan suku-suku bangsa lainnya.
Gubernur Belanda Van Mook sudah pindah ke surga atau neraka, tapi impiannya untuk memecah belah dan memisahkan Papua dari Indonesia mendapat dukungan bahkan dari orang-orang kiri dan revolusioner! Senanglah dia! [Tatiana Lukman]