Memerintah dengan Ambulans Kantor

Baru beberapa bulan menetap di Tasikmalaya, Belanda melancarkan Agresi I pada 21 Juli 1947. Tasikmalaya pada 11 Agustus 1947 dalam keadaan genting. Tentara Belanda dengan perlengkapan militer yang lebih canggih tidak akan lama lagi memasuki kota itu dari arah Ciamis.

Gubernur Jawa Barat diminta menyingkir ke Yogyakarta. Untuk keperluan itu, sebuah kereta api khusus disediakan untuk Sewaka. “Saya tidak mungkin meninggalkan rakyat Jawa barat dalam keadaan sesulit ini,” katanya.

Sewaka tetap memerintah di Jawa Barat. Ia ingin bersama rakyatnya. Sejarah mencatat, Gubernur Sewaka bersama stafnya hijrah ke Sukaraja, suatu kampung di sebelah selatan Tasikmalaya. Ketika Sukaraja dihujani bom oleh tentara Belanda, Gubernur Sewaka tak mau pergi. Ia tak gentar.

Kolonel Hidayat, Wakil Panglima Siliwangi, kemudian membujuk Sewaka agar menyingkir ke Karangnunggal. Luluh hati Sewaka. Ia bersama stafnya akhirnya berkenan mengikuti saran Kolonel Hidayat.

Tapi, tentara Belanda terus mengejar. Sewaka dan stafnya pun kemudian bergerilya dan pindah ke Lebaksiuh, suatu desa di tengah hutan, kira-kira 70 kilometer sebelah selatan Tasikmalaya. Di desa di tengah hutan inilah Sewaka mendirikan kantor gubernur darurat.

Hubungan antara gubernur dengan pamongpraja dilakukan dengan cara seperti masa Hindu Buddha, yaitu dengan kurir. Sementara itu, hubungan dengan pemerintah pusat di Yogyakarta terputus untuk sementara.

Berkat bantuan teknisi dibuatlah radio darurat yang membuat hubungan dengan pemerintah pusat  dan juga bisa  mendapatkan informasi dari Kantor Berita Antara.

Karena Belanda terus mengejar, Sewaka dan stafnya kemudian berpindah-pindah, antara lain ke Culamega, Cisurupan, Cikuya, dan  Tawangbanteng. Gubernur Sewaka mengubah taktik, dengan membentuk ”ambulans kantor”. Strategi ini menempatkan tiga orang stafnya selalu bergerak mengikuti gubernur.

Berkat kerja sama dengan TNI dan warga masyarakat,pada waktu-waktu tertentu di Lebaksiuh, Gubernur Sewaka dapat  berunding dengan para residen, bupati, dan wakil-wakil badan perjuangan. Selain itu, Sewaka sering mengadakan peninjauan ke beberapa daerah untuk mengetahui situasi dari dekat dan memotivasi para pegawai serta rakyat agar tetap setia kepada Indonesia.

Keteguhan Sewaka dalam perjuangan pernah diuji ketika Belanda membentuk Negara Pasundan. Melihat begitu besar pengaruh Sewaka, Belanda menawarkan Sewaka jabatan wali negara. Namun, Sewaka menolak. Dia lebih memilih ditangkap tentara Belanda pada Maret 1948 di Tawangbanteng.

Beberapa bulan setelah ditangkap Belanda dan di penjara di  Tangerang pada 1948, Gubernur Sewaka diserahkan  kepada Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, dengan peringatan: Sewaka tidak boleh masuk Jawa Barat. Peringatan itu berasal dari Regering Commissaris Bestuurs Aangelegenheden (Recomba), pemerintahan sipil pendudukan  Belanda. Sewaka dinilai sebagai  staatsgevaarlijk  (berbahaya bagi negara/Recomba). Di Yogyakarta, Sewaka diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri.

Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948, yang dikenal sebagai Agresi Militer Kedua,  Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka. Belanda juga menangkap  Gubernur Sewaka, yang kemudian ditahan di Penjara Wiragunan, Yogyakarta bersama Dokter Setiabudi. Setelah itu, Sewaka dipindahkan ke Gedung Istana, tinggal bersama keluarga presiden dan wakil presiden, tapi statusnya masih sebagai tahanan.

Karena ada kekosongan, Menteri Dalam  Negeri membuat kebijaksanaan mengangkat Ir. Ukar Bratakusumah menjadi Gubernur Jawa Barat (akhir Desember  1948). Hampir dalam waktu yang bersamaan, Panglima Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution mengangkat Ukar menjadi Komisaris Republik Indonesia di Jawa Barat. Itu berarti Ukar merupakan gubernur sementara. Kedudukan Sewaka sebagai Gubernur Jawa Barat tidak dicabut.

Pada Mei 1949, Sewaka dibebaskan. Ia mendapat kehormatan menjadi penasihat delegasi RI dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah tinggal dua bulan  di negeri Belanda, Sewaka kembali ke Yogyakarta sebagai kurir dari delegasi RI yang masih berada di  Belanda

Ia menjalankan tugas kembali sebagai gubernur pada Maret 1950, ketika Negara Pasundan menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia. Jabatannya sebagai gubernur pada Juli 1951, karena ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952). Kedudukannya sebagai gubernur diganti oleh Sanusi Hardjadinata. [Irvan Sjafari, Sejarawan]

Tulisan ini pernah dimuat pada 5 Juni 2018