Mencari Emas

Sejak zaman Kudungga, pemimpin pertama Qwitaire Maradapur yang hidup sekitar tarikh 350 Masehi, muara Sungai Mahakam telah diramaikan oleh para pedagang. Termasuk saudagar dari India yang sudah berlayar ke Nusantara di abad pertama dan kedua.

Jacob Cornelis van Leur sejarawan Belanda yang tinggal di Indonesia di akhir masa penjajahan menyebut mereka datang menggunakan kapal-kapal kayu berukuran besar yang sanggup memuat ratusan orang.

Saudagar-saudagar dari India itu berlayar ke wilayah timur setiap September sampai Desember ketika angin basah bertiup dari barat ke timur. Menyusuri Asia Kecil mereka memintas Selat Malaka menuju Laut Jawa dan bergerak ke utara melalui Selat Makasar untuk menuju Cina.

Di muara Mahakam inilah mereka harus mendayung kapal melawan arus Mahakam menuju udik jika angin tak mampu menggerakkan kapal.

Pencarian emas membawa saudagar India berlayar jauh masuk ke dalam belantara Kalimantan karena sebagian besar tambang memang berada di tengah pulau. Bukti bahwa emas hanya ada di anak-anak Sungai Mahakam sangat kuat. Masyarakat lokal Bhingga saat ini masih mencari emas di beberapa cabang sungai.

Ini menjelaskan mengapa kerajaan tertua di Nusantara justru tidak dibangun di pesisir.

Kedatangan saudagar India ke Muara Kaman tentu saja bukan tak sengaja. Seribu tahun sebelum era Mulawarman, Resi Walmiki dalam Kitab Ramayana sudah menggambarkan negeri kaya yang menghasilkan logam mulia serta tumbuh-tumbuhan mahal.

Tak hanya berdagang, sebagian saudagar-saudagar itu menetap di berbagai wilayah di Nusantara sekaligus memicu terjadilah pembauran budaya dan kepercayaan,

Di masa peralihan itulah Nusantara mendapat corak luar biasa pertemuan dua peradaban yang maju yakni Hindu dan Budha dengan corak budaya asli yang dimiliki bangsa-bangsa Nusantara yang berpusat pada tuah dan kesaktian.

Di dalam Ramayana ditulis beruk Hanuman diperintahkan Rama mencari Shinta yang diculik Rahwana. Rama memerintahkan, Yatnavanto yavadvipam saptarajyopacobhitam, suvarnarupyakadvipam suvarnakaramanditam, yavadvipam artikramya ciciromama partvatahdivam aprcati crngena devadanavasevita.

Perintah itu kurang lebih berarti selidikilah benar-benar kepulauan yang dihiasi tujuh kerajaan nusa emas dan perak.

Emas dari tambang-tambang di Naladwiva, Swarnadwipa, Yawadwipa, dan Papua inilah yang menjadi komoditas penting bagi saudagar India untuk dijual ke Yunani, Persia, Mesir, dan Eropa.

Swarnadwipa dan Yawadwipa digunakan Walmiki untuk merujuk Sumatra dan Jawa, sementara Naladwiva diyakini merupakan sebutan untuk Pulau Kalimantan.

Orang-orang Qwitaire Maradapur juga diperkirakan mendatangkan orang dari Campa khusus sebagai tenaga pencari emas. Ini dibuktikan dengan adanya orang Dayak Tunjung yang sering dianggap sebagai sisa-sisa orang Campa yang mendiami dataran tanah tunjung Pinang Sendawar di Kalimantan Timur.

Selain emas, saudagar India juga tertarik dengan kayu cendana, tengkawang, dan gaharu. Komodistas ini juga laku keras di Eropa sebagai bahan wewangian. Sebelum menumkan Nusantara, mereka sebelumnya harus membeli dari orang-orang Arab yang merahasiakan dengan ketat asal-usul rempah itu.

Saudagar India membayar hasil hutan dan emas itu dengan patung, logam, serta sutra halus dari Tiongkok disukai orang-orang setempat.  Sebelum pulang, para pedagang mesti tinggal setengah tahun menanti musim angin balik. [TGU]

* Artikel ini pernah dimuat pada Agustus 2018