Ilustrasi/istimewa

Koran Sulindo – Kesepakatan yang telah terungkap antara Cambridge Analytica dan Facebook mengandung semua elemen seru Hollywood: CEO ala musuh Bond, miliarder yang penyendiri, peniup peluit naif yang juga punya kepentingan, ilmuwan data bergaya hipster yang banting stir jadi politikus, akademisi dengan etika yang patut dipertanyakan, dan tentunya presiden Amerika Serikat terpilih beserta keluarganya yang berpengaruh.

Sebagian besar diskusi telah berkutat pada bagaimana Cambridge Analytica bisa memperoleh data lebih dari 50 juta pengguna Facebook—dan bagaimana mereka diduga gagal menghapus data ini ketika diminta. Namun sebenarnya ada juga persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan Cambridge Analytica dengan data tersebut. Kenyataannya, pendekatan Cambridge Analytica dalam memproses data mewakili tren penggunaan analisa data saat ini sebagai alat untuk menghasilkan wawasan—dan untuk menciptakan pengaruh.

Sebagai contoh, lembaga survei telah lama menggunakan teknik segmentasi untuk menyasar kelompok pemilih tertentu, misalnya dengan memilah peserta berdasarkan jenis kelamin, usia, penghasilan, tingkat pendidikan, dan besar/kecilnya keluarga. Segmentasi juga dilakukan dengan melihat afiliasi politik atau preferensi belanja. Mesin analisis data yang digunakan calon presiden Hillary Clinton pada kampanye tahun 2016 lalu—dinamakan Ada, dari nama ahli matematika abad ke-19 dan perintis komputasi awal—menggunakan segmentasi canggih untuk membidik kelompok pemilih, seperti yang dilakukan Barack Obama empat tahun sebelumnya.

Cambridge Analytica dikontrak oleh tim kampanye Trump dan memberi senjata yang benar-benar baru untuk mesin pemilihan. Selain menggunakan segmen demografis untuk mengidentifikasi pemilih seperti pada kampanye Clinton, Cambridge Analytica juga melakukan segmentasi berdasarkan psikografis. Demografis sifatnya informatif berdasarkan kelas, edukasi, pekerjaan, usia, dan sebagainya. Sedangkan psikografis sifatnya perilaku—sarana untuk melakukan segmentasi berdasarkan kepribadian.

Hal ini sangat masuk akal karena jelas dua orang dengan profil demografi yang sama (misalnya lelaki kulit putih, usia paruh baya, bekerja, menikah) bisa memiliki kepribadian dan opini yang sangat berbeda. Kita juga tahu bahwa menyesuaikan sebuah pesan sesuai dengan kepribadian seseorang—apakah mereka terbuka, introvert, argumentatif, dan sebagainya—sangat membantu untuk menyampaikan pesan tersebut.

Memahami Orang Lebih Baik

Secara tradisional, ada dua jalan untuk memastikan kepribadian seseorang. Bisa dengan cara mengenal mereka dengan sangat baik—biasanya dalam waktu yang lama. Atau Anda bisa membuat mereka mengkuti tes kepribadian dan meminta mereka menunjukkan hasilnya pada Anda. Tidak satu pun dari metode ini realistis untuk dilakukan pada para pemilih. Cambridge Analytica menemukan cara ketiga, dengan bantuan dua akademisi dari Universitas Cambridge.

Pertama, Aleksandr Kogan, yang menjual kepada mereka akses ke 270.000 tes kepribadian yang diselesaikan oleh pengguna Facebook melalui aplikasi daring yang diciptakannya untuk kepentingan riset. Memberikan data tersebut ke Cambridge Analytica tampaknya berlawanan dengan kode etik Facebook, tapi baru pada Maret 2018 Kogan dilarang oleh Facebook dari platformnya. Ditambah lagi, data Kogan juga disertai bonus: ia telah dilaporkan mengumpulkan Facebook dari teman-teman yang mengikuti tes kepribadian—dan, dengan rata-rata 200 teman per orang, tersebutlah jumlah sampai sekitar 50 juta orang.

Namun, tidak semua dari 50 juta orang ini mengikuti tes kepribadian yang diciptakan Kogan. Di sinilah peran akademisi kedua Cambridge Michal Kosinski. Kosinski—yang dilaporkan meyakini bahwa penyasaran mikro berdasarkan data daring bisa memperkuat demokrasi—telah menemukan sebuah cara untuk merekayasa balik suatu profil kepribadian berdasarkan aktivitas Facebook seperti “likes”. Ketika Anda memilih foto matahari terbenam, anak anjing, atau manusia, hal-hal tersebut bisa memberi informasi banyak mengenai kepribadian Anda. Aktivitas Anda di Facebook memberi informasi yang begitu kaya, hanya berdasarkan 300 “likes”, model Kosinski bisa memprediksi profil kepribadian seseorang dengan akurasi yang sama dengan pasangan suami atau istri.

Kogan mengembangkan ide Kosinki, memperbaikinya, dan membuat kesepakatan dengan Cambridge Analytica. Dari harta karun ini—dan digabungkan dengan data tambahan yang diambil dari tempat lain—Cambridge Analytica membangun profil kepribadian untuk lebih dari 100 juta pemilih terdaftar. Dinyatakan bahwa perusahaan tersebut menggunakan profil ini untuk membuat iklan yang tepat sasaran.

Bayangkan misalnya Anda bisa mengidentifikasi segmen pemilih yang sangat teliti dan sedikit neurotik, dan segmen lain sangat ekstrovert tapi tidak begitu terbuka. Pastinya, orang di tiap segmen akan merespon iklan politik yang sama dengan cara berbeda. Namun di Facebook, mereka sama sekali tidak perlu melihat iklan yang sama—tiap orang akan melihat iklan yang dibuat secara individual, guna mendapatkan respons yang diinginkan. Respons tersebut tergantung tujuan pengiklan, apakah itu memilih seorang calon, tidak memilih calon yang lain, atau untuk menyumbang dana.

Cambridge Analytica mengembangkan lusinan variasi iklan pada tema politik berbeda seperti imigrasi, ekonomi, dan hak kepemilikan senjata; semua dirancang untuk profil kepribadian yang berbeda. Tidak ada bukti bahwa mesin pemilih Clinton memiliki kemampuan yang sama.

Analisis perilaku dan profil psikografik akan terus ada, apapun yang terjadi pada Cambridge Analytica—yang telah mengkritik dengan tegas apa yang disebutnya “tuduhan palsu di media”. Di satu sisi, mereka mengindustrialisasi apa yang selalu dilakukan oleh orang penjualan yang baik, yakni dengan menyesuaikan pesan mereka dan menyampaikannnya kepada pelanggan sesuai kepribadian mereka. Pendekatan untuk pemilihan umum ini—dan juga untuk pemasaran—akan menjadi warisan terakhir Cambridge Analytica. [Michael Wade, Professor of Innovation and Strategy, Cisco Chair in Digital Business Transformation, IMD Business School,  Swiss. Salah satu penulis Digital Vortex: How Today’s Market Leaders Can Beat Disruptive Competitors at Their Own Game]

Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia di bawah lisensi Creative Commons.