Suluh Indonesia – Berbeda dengan usia manusia yang berbatas, pikiran dan buah karya bisa tetap dikenang bahkan melampaui dari generasi ke generasi yang lain. Juga Pramoedya Ananta Toer, andai masih hidup ulang tahunnya yang ke-93 jatuh pada Selasa, 6 Februari 2018.

Tulisan-tulisan Pram, begitu Pramoedya disapa adalah potret sehari-hari kemanusiaan yang kental serta bentuk paling nyata pembelaan pada rakyat dan sekaligus saripati pengalaman kehidupan manusia yang pahit.

Di jagad sastra tentu saja nama Pramoedya Ananta Toer bukanlah nama asing di Indonesia bahkan di mancanegara. Selain dikenal sebagai tokoh sastra, Pram adalah ikon dan pelopor sastra perlawanan. Ia mencicipi jeruji penjara hampir semua penguasa Indonesia. Dipenjara tiga tahun semasa pemerintah Belanda karena sikap anti-kolonialnya, Pram kembali masuk bui di era Presiden Soekarno karena mengkritik kebijakan anti-China.

Sebentar menghirup udara bebas, lagi-lagi ia masuk penjara sekaligus menjalani 14 tahun pembuangan di Pulau Buru tanpa proses peradilan sama sekali. Meski fisiknya terus menerus dikerangkeng ide dan pikiran Pram justru tak pernah terpenjara.

Ia sangat produktif menghasilkan karya termasuk karya besarnya yakni Tetralogi Pulau Buru yang ditulisnya diam-diam dengan kertas dan pena selundupan semasa pembuangan. Selain novel itu, sepanjang hayatnya Pram tercatat menghasilkan tak kurang dari 50 karya yang sebagian sudah diterjemahkan dalam 40 bahasa.

Pram juga meraih berbagai penghargaan internasional seperti The PEN Freedom to Write Award 1988 dan Ramon Magsasay Award 1995, nama Pram juga sering disebut-sebut sebagai kandidat peraih Nobel di bidang sastra.

Di tangan Pram, sastra menjadi medan perjuangan kelas antara mereka yang tertindas melawan mereka yang menindas. Baginya, perjuangan tak hanya di lapangan politik dan ekonomi, tapi juga di lapangan kebudayaan dan sastra. Benang merah yang menjadi simpul karya Pram adalah sastra politik, karya yang bertendensi dan memihak karena memikul tugas dan tanggung jawab
sosial.

Menurut Pram, sastra harus berkembang beriring dengan perkembangan aktualitas yang berhubungan dengan gerakan massa. Sekaligus menyatukan menyatukan dirinya dengan seluruh proses peningkatan kesadaran kelas. Bagi sastrawan, sastra harus menjadi senjata atau alat yang luwes yang secara integral berperan memenangkan perjuangan rakyat yakni kelas buruh dan tani.

Baca juga Realisme Sosialis: Aliran Sastra Kaum Proletar Dunia

Dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia Pram menyebut dunia hanya terbagi menjadi dua kekuatan yakni mereka yang mewakili bercokolnya kekuatan lama atau – the old established force melawan kekuatan baru yang tengah bangkit yakni – the new emerging force.

Identifikasi tersebut, bagi Pram membantu mengurai betapa kompleksnya problem dunia yang berisi pertentangan kelas penguasa melawan rakyat yang bangkit melawan. Baginya, sastrawan wajib hukumnya melibatkan sekaligus ‘memperbaja’ diri dalam gerakan massa.

“Kegiatan sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletar, menjadi ‘roda dan sekrup’ kesatuan besar mekanisme sosial-demokratik yang digerakkan oleh seluruh barisan depan kelas pekerja yang mempunyai kesadaran politik,” kata Pram.

Selain berusaha memenangkan realisme sosialis dengan kesadaran poltik, sastra juga harus bisa menjadi pegangan taktis. Kesadaran politik harus diperkuat sebagai sebuah kebutuhan peningkatan kekuatan politik. Pada kenyataan musuh rakyat tak bakal tinggal diam dan akan selalu mencari jalan melanjutkan ‘penghisapan manusia atas manusia’ melalui berbagai bentuk kesadarannya.

Menurut Pram, pegangan taktis bukan cuma perlu sebagai kebutuhan mengembangkan keahlian, namun juga digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan sekaligus mengenal pokok-pokok persoalan.

Tentu saja, dengan pendekatan itu selama pemerintahan orde baru karya-karya Pram dianggap racun berbisa dan dilarang beredar.  Pembaca biasanya menikmati karya-karyanya dalam bentuk fotocopy yang beredar dari tangan ke tangan.

Setelah desakan kuat dunia internasional, Pram dibebaskan Soeharto tahun 1979 dan menjadi tahanan rumah di bawah pengawasan ketat polisi hingga orde baru tumbang di tahun 1998.

Pram meninggal dimakamkan di TPU Karet Bivak di usia 81 tahun pada tanggal 30 April 2006 akibat radang paru-paru dan komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Jenasahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. (TGU)

(Tulisan ini pernah dimuat pada  6 Februari 2018)