Praktek ‘Chaoshoubao’ Bikin Evergrande Bangkrut

koransulindo.com – Bayang-bayang kebangkrutan Evergrande, raksasa real-estate asal Tiongkok, mulai terasa. Badai langsung menghantam pasar modal dunia. Sejumlah bursa utama dunia jatuh karena para investor ketakutan menghadapi potensi gagal bayar yang dialami Evergrande.

Pelemahan bursa global terjadi sejak kemarin, sepekan setelah Evergrande dilaporkan terancam gagal membayar utang. Pelemahan bursa bahkan merasuk hingga Wall Street. Hari-hari ini, bursa Asia juga dibuka melemah. Tampaknya investor terus memantau pergerakan pasar saham China, setelah dua hari ditutup karena libur nasional.

Di Indonesia, ia berdampak pada lelang surat berharga syariah negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (21/9/2021) yang mengalami penurunan menjadi Rp45,4 triliun. Padahal, demand investor pada lelang sebelumnya yang digelar pada 7 September lalu mencapai Rp56,6 triliun. Investor masih ragu menghadapi kondisi yang serba tak pasti.

Potensi gagal bayar Evergrande memang dapat menyebar ke pasar di luar Tiongkok, karena memiliki obligasi luar negeri yang besar dan berbunga tinggi. Diperkirakan sekitar US$ 19 miliar atau setara Rp272 triliun (kurs Rp14.300/US$) dari kewajiban Evergrande terdiri dari obligasi yang beredar di luar negeri.

Selain itu, efek domino ini dapat menyeret pasar modal Indonesia juga akibat turunnya kepercayaan publik dan kekhawatiran investor. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, juga mengakui dan mengatakan masalah gagal bayar Evergrande menjadi salah satu yang dipantau oleh BI saat ini.

“Dampak yang terjadi di Tiongkok memang berpengaruh terhadap ketidakpastian pasar keuangan global,” papar Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur BI edisi September 2021, Selasa (21/9/2021).

Semua ini bermula awal pekan lalu. Evergrande dilaporkan terancam gagal membayar utang, yang terjadi setelah perusahaan konglomerat Tiongkok ini tidak mampu menjual aset properti yang dimiliki untuk melunai utang. Nilanya fantastis mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp4.275 triliun.

Arus kas diakui perusahaan berada di bawah “tekanan yang luar biasa”. Evergrande juga mengatakan dua anak perusahaannya telah gagal memenuhi kewajiban penjaminan untuk produk manajemen senilai US$ 145 juta atau setara Rp2 triliun yang dikeluarkan pihak ketiga.

Itu bisa menyebabkan cross-default, kata pihak perusahaan dalam pengumuman di bursa saham Hong Kong. Evergrande mengaku telah mencari jalan terbaik untuk membayar kewajibannya. Evergrande misalnya menggandeng Houlihan Lokey (China) Limited dan Admiralty Harbour Capital Limited.

“Kami juga berbicara dengan calon investor untuk menjual beberapa asetnya, tetapi sejauh ini tidak ada kemajuan,” tambahnya. Malah, investor mengambil tindakan rusuh. Mereka berunjuk rasa menuntut perusahaan membayar kembali pinjaman dan produk keuangan yang mereka tanamkan.

Para investor bahkan marah dan sempat mengepung kantor perusahaan di Shenzen. Sekitar seratus investor memadati lobi gedung perusahaan. Lebih dari 60 personil keamanan dikerahkan untuk mengawasi jalannya unjuk rasa dan berjaga-jaga saat massa berteriak memaki perusahaan.

Kasus ini membuat pasar properti Tiongkok terguncang. Utang Evergrande, yang termasuk terbanyak di dunia, telah memicu kekhawatiran akan risiko penularan ke beragam sektor properti yang sudah overhead dan ke sistem perbankan.

Sebelum ini, Evergrande telah berkali-kali menghadapi tekanan likuiditas. Tapi ia selalu dapat menghindar dari kebangkrutan. Namun, kali ini tampaknya krisis likuiditas dan krisis kepercayaan akan membuat Evergrande terpuruk. Sahamnya di Hong Kong anjlok ke level terendah dalam sepuluh tahun.

Selama bertahun-tahun, omset, laba dan leverage tinggi membuat pengembang menggunakan uang pinjaman untuk memperoleh tanah, mengumpulkan uang pra-penjualan sebelum proyek dimulai. Kemudian meminjam lebih banyak uang untuk diinvestasikan dalam proyek baru.

Menurut Caixin, koran bisnis Tiongkok, Evergrande sering melakukan penggalangan dana internal. Salah satu produknya disebut “Chaoshoubao,” yang berarti “harta karun return super”. Pemicunya, pada 2017 perusahaan berupaya memperoleh pembiayaan dari Citic Bank yang mengharuskan investasi personal oleh eksekutif.

Untuk keperluan itu, perusahaan mengeluarkan “Chaoshoubao” kepada karyawan dan menjanjikan 25% bunga tahunan dengan pokok dan bunga pinjaman akan dibayarkan dalam waktu dua tahun. Investasi minimum nilanya 3 juta yuan. Akhirnya China Citic Bank setuju memberikan dana akuisisi 40 miliar yuan kepada Evergrande.

Para karyawan tergiur dengan tawaran investasi tersebut. Sejumlah karyawan bahkan berani berhutang untuk membeli Chaoshoubao karena tergiur imbal baliknya yang tinggi. Pada 2019 ketika jatuh tempo, perusahaan meminta perpanjangan satu tahun, selanjutnya hal yang sama terjadi tahun 2020.

Salah satu investor mengaku total return yang ia dapatkan dalam empat tahun hanya 4-5%, jauh dari yang dijanjikan. Ketika kisruh melebar, perusahaan hanya membayar eksekutif dan karyawannya yang masih bekerja. Dari akhir Agustus hingga awal September perusahaan membayar mereka dua miliar yuan, dengan utang 200 miliar ke mantan karyawan. [AT]

Baca juga: