Ilustrasi Poros Islam di 2024/Foto: Pikiran Rakyat Group

Koran Sulindo – Mungkin terdengar berlebihan, tampaknya efektivitas politik aliran di Indonesia sejauh ini hanya menaikan sekaligus melengserkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari jabatan presiden. Selebihnya selalu kandas dalam ajang pemilu. Tentu berkaitan dengan meraih kekuasaan, wacana pembentukan Poros Islam berdengung lagi sekarang ini.

Wacana membentuk Poros Islam untuk Pemilu 2024 mendatang, bermula dari pertemuan Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Ketum PPP Suharso Monoarfa yang berlangsung belum lama ini. Ada yang menyambut positif wacana tersebut, tak sedikit pula yang menolaknya.

Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra termasuk pihak yang menyambut baik wacana itu. Malahan ia menyatakan PBB siap bergabung dalam Poros Islam. Dengan catatan PKS, PPP dan PKB selaku parpol agamis yang memiliki kursi di DPR aktif melakukan pembahasan.

“PBB akan ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan lanjutan yang nanti akan diadakan,” kata Yusril, dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.

Menurut Yusril, terbuka peluang menyatukan parpol-parpol Islam dalam satu koalisi parpol untuk mengikuti pemilu, asalkan mendapat legitimasi undang undang (UU). Baik melalui UU Parpol maupun UU Pemilu. Namun peluang yang tersedia itu harus dimanfaatkan dari sekarang.

Menengok ke belakang, Yusril mengakui, parpol-parpol Islam seringkali terlibat saling cakar dan terpecah lantaran perbedaan kepentingan politik praktis di lapangan. Namun bukan tidak mungkin untuk disatukan karena memiliki modal persamaan ideologi dan prinsip perjuangan.

Pandangan berbeda datang dari Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas), yang meyakini pembentukan Poros Islam tidaklah efektif dan berpotensi membelah masyarakat ke dalam polarisasi lagi pasca-Pilpres 2019. Implikasinya, politik identitas bakal menguat dan terbuka pula potensi konflik berbasis SARA.

“Menanggapi wacana koalisi partai Islam 2024 itu, PAN melihat justru ini akan memperkuat politik aliran di negara kita. Sesuatu yang harus kita hindari,” kata Zulhas.

Waketum PAN Viva Yoga menyampaikan penjelasan lebih tajam lagi. Menurutnya wacana pembentukan Poros Islam sebaiknya dihindari karena membuka peluang memasukan agama dalam turbulensi politik. Dampaknya sudah pasti munculnya kerenggangan di tengah masyarakat.

“Sebaiknya wacananya diarahkan ke adu ide dan gagasan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan sumber daya manusia unggul, memperbaiki kesehatan dan perekonomian nasional, membangun kedaulatan pangan agar tidak impor, membangun militer yang modern, dan tema lainnya yang bermanfaat buat kecerdasan bangsa,” kata Viva Yoga.

Sementara Waketum PKB Jazilul Fawaid, menyatakan pihaknya tidak menutup kemungkinan bakal bergabung dengan Poros Islam, asalkan memiliki gagasan yang tidak mengawang-awang. Malahan banyak pihak menilai, PKB selaku parpol Islam pemilik kursi terbanyak di DPR sekarang ini memiliki peranan krusial untuk merealisasikan Poros Islam.

Menarik untuk menyimak pernyataan Viva Yoga, yang sejatinya merupakan pekerjaan rumah (PR) untuk seluruh parpol sejak lama. Sudah sering didengungkan bahwa parpol harus mengedukasi konstituennya hingga grassroots dengan pendekatan gagasan atau ide. Sebab parpol-parpol yang menang pemilu di Indonesia sejauh ini dikarenakan mampu meyakinkan gagasannya kepada pemilih di samping memiliki figur kuat.

Bukan pendekatan militan yang dilakukan untuk membangun sentimen. Meskipun hal itu sah-sah saja karena kuatnya faktor kultur di daerah tertentu yang mengarah pada politik aliran. Namun paradigma ini yang menjadi kritik terbesar terhadap politik aliran di Indonesia yang nampaknya belum mampu pula diterima dengan baik.

Di sisi lain, terdapat pula pertanyaan mendasar mengenai cara bagaimana yang bakal ditempuh parpol-parpol motor Poros Islam dalam menentukan pasangan capres-cawapresnya. Bukankah dalam hal ini sudah terbuka ruang konflik dan saling cakar lagi, sekaligus menunjukkan Poros Islam sekarang ini tidak memiliki figur yang kuat.

Layu?
Kerumitan-kerumitan yang menyertai wacana pembentukan Poros Islam ini menandai pula wacana tersebut bakal layu sebelum berkembang. Meskipun PKB menyatakan tidak menutup diri bergabung dalam Poros tersebut, sejatinya secara empiris, PKB memiliki beban psikologis imbas kasus pelengseran Gus Dur yang fenomenal itu.

Belum lagi masalah tingginya ego sektoral di antara parpol-parpol pendukung Poros Islam nantinya. Bagi PBNU, selaku ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Poros Islam yang diwacanakan sekarang ini tidaklah jelas konsepnya dan menunjukkan tidak adanya gagasan riil yang ditawarkan untuk bisa diterima semua gologan.

“Jika tidak ada tujuan yang dicita-citakan bersama, maka bisa terbentuk (Poros Islam) namun tetap kecil (pengaruhnya),” ungkap Ketua PBNU, Marsudi Syuhud.

Pendapat Marsudi diperkuat pula oleh pengamat politik Siti Zuhro. Modal utama pembentukan Poros Islam adalah persamaan perspektif di antara toko-tokoh pendukungnya yang haruslah mengesampingkan ego dan kepentingan kelompoknya untuk tujuan bersama yang lebih besar.

Hal ini harus dibuktikan dengan adanya gagasan-gagasan yang ditawarkan bukan hanya untuk umat tetapi juga bangsa secara keseluruhan. “Tujuan ini yang harus jelas dan tegas sejak awal, sehingga kesepakatan antar-elite di parpol-parpol Islam bisa dicapai bersama,” kata Siti.

Berkaca pada wacana ini, diperlukan koreksi kedalam yang dilakukan secara rendah hati oleh parpol-parpol agamis untuk membangun kualitas yang baik. Politik aliran tidaklah salah asalkan semangatnya baik untuk bangsa dan negara.

Selama para elitenya tidak memiliki pemahaman seperti itu, kita patut khawatir semangat pembentukan Poros Islam hanyalah upaya untuk memecah-belah bangsa lantaran tidak tercapainya syahwat politik. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa parpol pemenang di Indonesia, negara demokrasi dengan basis massa Muslimnya besar, adalah parpol nasionalis. [Erwin C. Sihombing]