Begitu banyaknya partai politik sejak gerakan Reformasi bergulir di negara ini, 20 tahun lalu. Dinamika politik yang terjadi dalam rentang waktu itu pun tak membuat jumlah partai politik atau parpol menjadi kurang dari jari tangan.
Untuk Pemilihan Umum 2019 saja ada 14 parpol yang lolos verifikasi faktual dan telah mendapatkan nomor urut peserta pemilu. Padahal, pada pemilu sebelumnya, 2014, ada 12 parpol plus 3 parpol lokal Aceh. Pada Pemilu 2009 ada 54 parpol peserta pemilu. Pemilu pertama masa Reformasi, tahun 1999, diikuti 48 parpol.
Di negeri ini, parpol memang bukan “barang” baru. Menjelang akhir tahun 1912, di masa Pemerintahan Penjajahan Belanda, E.F.E Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, yang kemudian didukung pula oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Inilah parpol pertama di Persada Nusantara.
Seperti diungkapkan Douwes Dekker dalam berbagai kesempatan, Indische Partij merupakan suatu pengumuman perang dari budak kolonial yang membayar pajak kepada Belanda yang menarik pajak. Tujuan akhirnya: melepaskan Hindia dari jajahan Belanda. Semboyan parpol ini pun “Indie los van Holland” (Hindia lepas dari Belanda).
Betapa jelasnya cita-cita Indische Partij sebagai parpol. Ada sesuatu yang diperjuangkan dengan tegas, yang menjadi nilai, acuan, dan fondasi bersama untuk melangkah ke depan.
Pada masa Presiden Soekarno, landasan ideologis dan apa yang diperjuangkan parpol-parpol masih dirasakan sangat kental. Namun, memudar tatkala penyelenggaraan negara dipimpin Presiden Soeharto dan parpol-parpol yang ada harus berfusi pada tahun 1973.
Pada masa itu, parpol-parpol berhaluan nasionalis difusikan menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan yang berhaluan Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Di luar itu ada Golongan Karya atau Golkar, yang oleh rezim penguasa disebut bukan parpol, tapi organisasi kekaryaan, yang dijalankan sebagai mesin pemaksa bagi kalangan militer dan birokrasi untuk memberikan suara dan dukungannya kepada Presiden Soeharto.
Harus diakui, rekayasa politik yang dijalankan selama lebih dari 30 tahun tersebut masih dirasakan dampaknya sampai sekarang. Setelah Reformasi, tak sedikit dari parpol peserta pemilu seolah tak punya sandaran ideologis yang kuat. Jadinya, parpol-parpol tersebut terlihat kehilangan orientasi dalam memperjuangkan apa yang tepat dan terbaik untuk bangsa dan negara ini.
Apalagi, banyak parpol yang didirikan atas inisiatif orang-orang yang mengandalkan kekuatan uang dan punya akses kekuasaan pada masa rezim Presiden Soeharto. Latar belakang dan pengetahuan politik kebangsaan mereka minim.
Akhirnya, suka atau tidak, umumnya parpol sekarang ini bisa dikatakan pragmatis. Langkah-langkahnya berdaya jangkau pendek. Tujuan untuk meraih kekuasaan menjadi panglima–meski caranya bertentangan dengan garis moralnya sendiri. Program-program kerjanya pun mungkin dibuat secara improvisatoris
Tak mengherankan jika banyak politisi kemudian yang berperilaku bagaikan kutu loncat, dengan ringannya meloncat pindah dari satu parpol ke parpol lain. Tak jarang pula perpindahan itu disertai embusan aroma tak sedap: ada transaksi yang berkaitan dengan hal-ihwal finansial dan kepentingan personal atau kelompok tertentu—politik dagang sapi dalam pengertian yang luas. Ada yang mengatakan, parpol yang menerima politisi semacam itu sebenarnya merupakan partai tanpa partisan.
Padahal, parpol punya tanggung jawab untuk menampung dan mengartikulasikan bermacam aspirasi yang berbeda menjadi agenda politiknya. Itu artinya, parpol harus mampu menyampaikan informasi, isu, dan gagasan yang sedang mereka perjuangkan. Juga harus menciptakan sistem rekruitmen yang akan mendorong kadernya siap memimpin bangsa dan negara di masa depan.
Kalau yang bermunculan kemudian malah politisi kutu loncat dan partai tanpa partisan, perjuangan menciptakan masa depan seperti apa yang bisa bangsa ini harapkan dari mereka? [S02]