Suluh Indonesia – Pemilihan umum menurut jadwal sementara akan dilaksanakan pada 21 Februari 2024. Di tengah bayang-bayang pandemi Covid-19 yang belum jelas masa depannya, muncul wacana penggunaan teknologi dalam pemungutan dan penghitungan suara.
Apalagi selama pandemi Covid-19, masyarakat sudah terbiasa menggunakan teknologi informasi untuk digunakan dalam pembelajaran jarak jauh atau bekerja dari rumah. Rasanya akan jauh lebih mudah bila dalam pemungutan dan penghitungan suara Pemilu, kita menggunakan sarana teknologi.
Baca juga Pemilu (Mestinya) adalah Kegembiraan
Wacana penggunaan teknologi pada Pemilu itu mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ‘Bukan E-Voting, Tetapi E-Recap’ yang dilaksanakan pada akhir Agustus 2021.
Salah seorang pembicara merujuk ke putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 yang membuka ruang penggunaan teknologi dalam pemungutan dan penghitungan suara.
Muhammad Ihsan Maulana, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, mengatakan putusan MK tersebut mengandung persyaratan konstitusional yang harus dipatuhi. “Pungut hitung itu dapat dilakukan melalui teknologi selama persyaratannya diatur,” ujarnya.
Putusan MK tersebut dikeluarkan atas pengujian Pasal 88 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah (pilkada). Putusan tersebut kemudian dituangkan ke UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebanyak tiga pasal.
Pasal 85 ayat 1 huruf a menyebutkan, pemberian suara pilkada dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Baca juga RUU Pemilu untuk Kepentingan Siapa?
Pada Pasal 85 ayat 2 huruf a dijelaskan, pemberian suara secara elektronik dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
Terakhir, Pasal 85 ayat 2 huruf b menyebutkan, dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian telah dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Dengan demikian, jika merujuk pada ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-pasal di atas, cara pemilihan untuk menggunakan e-voting hanya dapat dilakukan dalam Pilkada yang memiliki minimal dua calon kepala daerah.
Selain itu, menurut Ihsan, setidaknya terdapat empat aspek yang harus menjadi pertimbangan jika kita akan menerapkan teknologi pada proses pungut hitung pemilu.
Keempat aspek ini juga menjadi prasyarat sejauh mana kesiapan Indonesia dapat menggunakan pemungutan elektronik (e-voting) maupun penghitungan elektronik (e-counting).
Pertama, penerapan teknologi dalam kepemiluan tidak boleh melanggar asas pemilu, yakni jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sementara itu, masih terdapat preseden di mana penerapan e-voting justru membawa dampak, seperti penghilangan kerahasiaan pemilih.
Dampak tersebut akan makin parah dan menjadi ancaman tersendiri ketika peraturan perundang-undangan pun tidak cukup mengatur penggunaan teknologi dalam kepemiluan.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya memuat satu pasal yang mengatur mengenai elektronik di pungut hitung. Itu pun berkaitan dengan rekapitulasi hasil penghitungan suara di luar negeri.
Baca juga Dulu Parpol Menangkan Pemilu Hanya Modal Insting
Kedua, teknologi informasi harus sudah siap untuk digunakan dan tidak membuat pelaksanaan pemilu menjadi lebih rumit.
Ketiga, sumber daya manusia yang dimiliki penyelenggara pemilu pun harus sudah siap, dibarengi dengan masyarakat yang harus sudah melek dan paham teknologi.
Sebelum ini, pada Pemilu 2019 kita sudah melakukan uji coba pelaksanaan teknologi dalam konteks pungut hitung, yang disebut Situng. Kemudian, di tahun 2020, muncul sistem Sirekap. Di sini, tampaknya sumber daya manusia yang coba didorong dan diarahkan adalah pada konteks rekapitulasi, bukan e-voting.
Dengan demikian, proses peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia yang sudah dilakukan serta putusan MK di atas, tampaknya diarahkan untuk mendorong penggunaan rekapitulasi elektronik atau e-recap, bukan e-voting. Namun anehnya, menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, wacana yang muncul justeru didorong ke penerapan e-voting.
Padahal, penyelenggara pemilu baru mempersiapkan e-recap, bukan e-voting seperti yang diwacanakan. Memang betul pada Pilkada 2020 sudah diuji-cobakan e-recap, tapi itu baru sebatas uji coba sebagai keterbukaan data dan informasi, bukan menjadi dasar penetapan hasil pemilihan.
Keempat, pembiayaan pemilu. Ditengarai, pembiayaan pemilu akan makin membengkak. Sebab, pengadaan alat e-voting akan jauh lebih fantastis nilainya dibanding kita menggunakan e-recap. Apalagi, penerapan e-voting tidak serentak sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Putusan MK, dan UU Pemilu. [AT]