Ilustrasi: Mengangkut kotak suara Pemilu di daerah terpencil/hidayatsahabatkita.com

Koran Sulindo – Di laut yang tenang, kapal kayu Sumirah berlenggok dengan anggun, menyusuri selat demi selat, melewati pulau demi pulau di Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau.

Siang itu, Sumirah bersama dua anak gadisnya yang turut mendayung hendak mengisi baterai telepon genggam sederhana miliknya di rumah kerabat yang tinggal di Kampung Air Lingka, Pulau Galang Baru, sekitar 20 menit dari tempat tinggalnya. Rumah Sumirah di Pulau Pasir Putih belum dialiri listrik, sehingga harus menumpang mengisi baterai ke rumah kerabat.

Sumirah adalah satu dari puluhan keluarga Suku Laut yang kini memilih tinggal di daratan. Sebelumnya, ia sempat menetap di Pulau Jarus, satu dari pulau-pulau kecil di selatan Pulau Galang.

Pulau Galang merupakan pulau terujung dari rangkaian pulau-pulau yang terhubung dengan Pulau Batam berkat adanya jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang). Ada enam jembatan yang harus dilalui untuk mencapai Pulau Galang dari Batam.

Rumah Sumirah berdiri di atas perairan Pulau Pasir Putih, di pulau kecil di seberang Pulau Batam. Tiang-tiang kayu dipancang pada dasar laut untuk menyangga tempat tinggal. Meski nampak tidak kokoh, namun relatif aman dari hempasan ombak dan angin kencang yang datang tiba-tiba.

Di rumah berdinding triplek itu terdapat satu jendela tanpa pintu (lebih menyerupai dinding bolong), menjadi ventilasi yang mempersilakan angin laut menyapa empat orang penghuni bersama anjing-anjing peliharaannya.

“Kami sudah lama memilih tinggal di darat, tidak tinggal di laut lagi,” kata Sumirah sambil membereskan bubu, alat tangkap ikan, setibanya di rumah, seperti dikutip antaranews.com..

Meski tinggal di daratan, namun mayoritas waktunya masih lebih banyak dihabiskan di perairan, layaknya orang Suku Laut lain.

Administrasi kependudukan belum terlalu dirasakan keluarga itu. Anak gadisnya yang kini berusia 17 tahun belum pernah menginjakkan kaki di sekolah sedangkan anak bungsunya kini berusia 5 tahun, belum memasuki usia wajib belajar.

“KTP juga belum punya,” katanya sambil tersenyum malu. Senyumannya manis. Seperti kebanyakan perempuan yang tinggal di pesisir, ia memiliki garis wajah tegas.

Keterpinggiran tidak membuatnya abai pada negara.

“Pemilu bulan 4 tanggal 17,” katanya mantap saat menjawab pertanyaan kapan pesta demokrasi dilaksanakan tahun ini.

Meski tidak memiliki KTP, namun RT setempat telah memastikan nama Sumirah dan suaminya telah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilu 2019.

Ini bukan tahun pertama Sumirah mengikuti Pemilu. Ia mengaku sudah ikut mencoblos pada Pemilu 2014 dan Pilkada 2015.

“Senang kalau Pemilu. Orang ramai yang datang,” kata dia.

Bagi masyarakat di pulau-pulau penyangga terpencil, keramaian adalah sesuatu yang mewah. Karena sehari-hari mereka hanya berteman dengan desiran halus angin laut, kadang-kadang disertai bunyi berbagai burung yang singgah.

Tidak heran, bila mereka rela mendayung menuju pulau seberang ke tempat pemungutan suara (TPS) berdiri untuk menghadiri pesta demokrasi.

Kala masa kampanye tiba, masyarakat seolah-olah memasuki terminal yang ramai. Di sana, sejumlah penjual tiket bus atau kapal ramai-ramai teriak, “naik bus saya saja, lewat tol”, “naik bus saya, ada televisi”, “naik bus saya bebas macet”… dan berbagai janji lainnya.

Kemudian penumpang akan memilih, bus mana yang sesuai dengan pilihannya. Dengan sombong, berjalan melewati penjaja tiket bus lainnya.

Begitulah, masyarakat pulau yang selama ini tertinggal seolah menjadi tujuan utama pembangunan. Para caleg berebut perhatian dengan janji-janji manis.

Tapi justru itu letak kegembiraan pemilu bagi masyarakat yang tinggal di pulau penyangga. Petugas partai maupun tim sukses silih berganti datang, memberikan perhatian tiada tara. Pulau yang biasa sepi, kala kampanye justru riuh.

Apalagi sering, caleg, petugas partai dan tim sukses datang membawa cinderamata untuk calon pemilih.

“Banyak dikasih bingkisan. Dikasih kalender, baju,…,” kata warga Pulau Tanjung Pengapit, Madi.

Mungkin terdengar remeh, hanya kalender dan baju, tapi buat masyarakat yang tinggal di pulau penyangga, bingkisan caleg sangat berarti. Bagi mereka, pemberian cinderamata adalah bentuk perhatian khusus, yang selama ini jarang didapatkan.

Caleg, petugas partai dan tim sukses datang silih berganti, menjadikan masyarakat pulau sebagai primadona yang layak diperebutkan.

“Tapi, tetap, kita memilih pemimpin yang adil pada masyarakat. Kita pilih siapa saja yang membela masyarakat,” kata ayah dari empat anak itu.

Kegembiraan

Kegembiraan warga terpencil itu tidak lepas dari upaya perangkat pemerintah dan penyelenggara pemilu yang tiada henti menyosialisasikan pelaksanaan pemilu sejak jauh hari.

Perangkat pemerintah dan penyelenggara Pemilu terus-menerus mengingatkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Seperti misal Amir Umar, Ketua PPS Kelurahan Pemping, satu pulau terdepan Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Belakang Padang Kota Batam, menghadap langsung ke Singapura. Dari Pulau Pemping, langsung nampak gedung-gedung pencakar langit di negara seberang.

Sebagian rumah yang berdiri di sepanjang pesisir hingga ke tengah Pulau Pemping berdinding kayu dengan aliran listrik dan air yang terbatas. Itu semua berbanding terbalik dengan Pulau Sentosa, Singapura, yang hanya berjarak sekitar 18 km.

Masyarakat Kepulauan Riau terbiasa bepergian dengan perahu, seperti yang dilakukan juga oleh masyarakat di sekitar Pulau Belakang Padang, Batam, yang berhadapan dengan Singapura. Dengan berperahu jugalah mereka akan mendatangi tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung.

Namun kegembiraan di daerah-daerah terpencil itu tampaknya tak menular ke Jakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia jaug di timur sana. Hanya beberapa jam setelah pengumuman tak resmi hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, salah satu pasangan langsung mengatakan Pemilu curang dan tak mau menerima hasilnya.

Kegaduhan sejak itu merambat ke seluruh negeri dan terus-menerus muncul di media massa dan media sosial. Jakarta meninggalkan Kelurahan Pemping dan Pulau Galang Baru yang menyumbang walau serba sedikit untuk membangun demokrasi di negeri ini. Kegembiraan berubah menjadi kecemasan, dan terjadilah.

Pada 22 Mei dan malam-malam berikutnya para pendukung tokoh yang menolak hasil Pemilu itu turun ke jalan, unjuk rasa, bertempur dengan polisi, dan meninggalkan 8 nyawa meninggal.

Jujur, Adil, Terbuka

Padahal, jauh sebelum bangsa ini mengenal pemilihan umum yang njlimet dan rumit seperti Pemilu 2019 untuk memilih para pemimpin bangsa, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan suara bulat menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Sederhana dan begitu luwes mufakat dicapai, bahkan itu dilakukan hanya sehari setelah  Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945.

Pemilihan umum yang April lalu memang lebih rumit, kompleks dan massal dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.

Pada Pemilu 2019 itu ada lima pemilihan yang harus dipilih masyarakat yakni pemilihan DPRD Kota dan Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR dan DPD serta pemilihan presiden dan wakil presiden.

“Lebih kompleks, lebih massal, dibandingkan pemilu yang lalu. Karena memang secara serentak akan dilaksanakan pemilihan anggota legislatif dan Presiden maupun Wakil Presiden,” kata Menko Polhukam Wiranto, di Mabes Polri, Jakarta, September 2018.

Menurut Wiranto persaingan dalam Pemilu 2019 bakal berlangsung sengit. Baik antar partai politik, calon anggota legislatif maupun capres dan cawapres. Khusus untuk pemilihan legislatif, partai politik harus bersaing sengit agar sanggup memenuhi ambang batas parliamentary threshold yakni 4 persen.  Gagal memenui ambang batas partai bakal akan tersingkir dari perpolitikan nasional.

Sementara bagi perorangan persaingan bakal terjadi antara para calon anggota legislatif baik di pusat maupun daerah. Persaingan juga bakal terjadi pada pemilihan anggota DPD.

“Sehingga memang hiruk pikuk, memang akan banyak aktivitas yang harus diamankan atau diatur oleh penyelenggara pemilu dan aparat keamanan,” kata Wiranto.

Jalannya Pemilu sendiri dari Sabang hingga Merauke, dari Mianggas hingga Pulau Rote sebenarnya aman, lancar, dan bisa dikatakan sukses. Apalagi jika dilihat luas area negeri ini yang sebagian besar kepulauan.

Yang agak terlupakan dalam gaduh Pemilu, terutama Pilpres 2019 adalah, ternyata, jumlah pemilih yang sudi datang ke TPS meningkat pesat. Hingga lebih 80 persen dari pemilik hak pilih. Dan dalam survei pascapemilu yang diadakan Litbang Kompas, lebih 90 persen menyatakan akan menerima siapapun yang menang, entah Joko Widodo terpilih lagi menjadi presiden, entah Prabowo Subianto menjadi presiden baru.

Pemilu sudah selesai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelenggarakan ajang itu dengan langsung, umum, bersih, jujur dan adil. Hanya sebagian kecil yang tidak bisa menerima hasilnya dengan legowo. Hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak bisa menjadikan Pemilu sebagai kegembiraan, seperti orang-orang kecil di pelosok-pelosok tanah air yang kini sudah melupakan demokrasi yang sedang bekerja itu, dan kembali kepada kerjanya masing-masing, seperti menangkap ikan, berdagang kecil-kecilan, atau pegawai negeri kecil.

Jakarta harus menengok mereka, belajar dari mereka. Pemilu mestinya adalah kegembiraan. [Didit Sidarta]