Koran Sulindo – Politik berkeadaban. Frasa itu digemakan kembali oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pada awal Januari 2018 lalu. Sebelumnya, sejak beberapa tahun lampau, istilah tersebut sudah kerap disuarakan oleh Ketuan Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Pada 5 Januari 2013, misalnya, Megawati menyeru partai-partai politik yang ada di Indonesia agar membangun tradisi politik berkeadaban. ”Bagi saya, menjadi kewajiban setiap partai untuk membangun tradisi politik yang berkeadaban. Jangan sampai pemilu menjadi ajang kompetisi yang memecah belah-bangsa,” kata Megawati di Medan, Sumatera Utara, ketika itu.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengatakan, Bung Karno berulang-ulang menegaskan bahwa pemilihan umum atau pemilu adalah alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Partai politik merupakan alat pengorganisasian kekuatan rakyat sehingga pemilu adalah alatnya alat.
”Jangan sampai alat menjadi tujuan, apalagi menjadi ajang perpecahan bangsa. Tujuan kita yang sebenarnya adalah menghapuskan berbagai macam bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kesengsaraan yang dihasilkan oleh sistem politik dan ekonomi yang menindas dan mengisap,” ujar Megawati.
Diingatkan pula oleh Megawati, para pendiri negara ini dengan yakin merumuskan cita-cita masyarakat adil dan makmur. Tapi, dalam praktiknya, terutama sekarang, mengapa hanya pertumbuhan ekonomi yang diutamakan. ”Kenapa hanya pertumbuhan? Sepertinya disisihkan pemerataan. Bagaimana kalau yang tumbuh hanya segelintir orang?” tuturnya. Padahal, lanjutnya, dalam konsep Trisakti yang disampaikan Bung Karno, Indonesia mestinya berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.
Sebenarnya, panduan untuk menjalankan praktik berkeadaban sudah jelas di negara ini: Pancasila, terutama sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Inilah dasar praktik politik yang beradab: musyawarah.
Musyawarah tentu saja bukan kongkalikong. Musyawarah adalah suatu forum pertemuan pemikiran, yang dalam hal ini yang diwacanakan adalah cara mencapai cita-cita bangsa dan negara. Musyawarah dilakukan untuk menemukan kompromi dan konsensus. Pemikiran terbaiklah yang akan dipilih dan disepakati untuk dijalankan bersama sebagai satu bangsa-negara.
Sebenarnya pula, musyawarah merupakan standard emas bagi masyarakat politik, di mana pun, bukan saja di Indonesia, tapi juga di negara-negara yang menjunjung tinggi praktik berkeadaban. Namun, bangsa Indonesia beruntung, karena prinsip mulia itu dijadikan dasar negara. Artinya, urusan apa pun yang berkenaan dengan praktik bernegara sudah seharusnya menjadikan musyawarah sebagai cara utama untuk mengambil keputusan.
Namun, praktik politik yang berkeadaban ini seakan telah hilang dalam kehidupan bernegara kita, bahkan dalam kehidupan berbangsa. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, kita dapat menyaksikan, pertukaran pemikiran telah digantikan dengan protes dan demonstrasi penuh kemarahan, lelucon-lelucon sinis yang menyinggung perasaan sesama anak bangsa, makian-makian, dan pelecehan serta pembunuhan karakter anak-anak bangsa, yang bahkan dilakukan di ruang publik yang bisa diakses banyak orang, seperti di televisi dan media sosial. Betapa telah jauhnya kita meninggalkan cara-cara yang beradab dalam berbangsa dan bernegara, yang pernah dilakukan para pendiri negara ini menjelang dan pada masa-masa awal setelah kemerdekaan.
Karena itu, memang, sungguh relevan dan urgen untuk terus menggemakan perlunya praktik politik berkeadaban. Apalagi, pada tahun ini dan tahun depan, kita akan menjalankan pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Seperti kata Bung Karno di atas, jangan sampai pemilihan umum yang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara akhirnya malah menjadi pemecah persatuan bangsa.
Harus diakui, untuk mewujudkan praktik politik berkeadaban tak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan secara parsial. Apalagi, praktik demokrasi kita sekarang ini lebih liberal daripada negara liberal. Namun, praktik politik yang mulia itu mau tidak mau harus mulai dijalankan dari sekarang, setidaknya di kalangan politisi, karena pertaruhannya terlalu mahal bila kita mengabaikan: luluh-lantaknya persatuan dan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. [PUR]