Lukisan karya Nengah Nurata.

Sulindomedia – Sejumlah perupa yang punya nama besar baik di Indonesia dan mancanegara menggelar pameran bersama di Langit Art Space, Sonosewu, Yogya, Sabtu malam ini (13/2/2016).

Para perupa itu antara lain Hanafi, Jeihan, Yunizar, Nasirun, Ivan Sagita, Nengah Nurata, Pande Ketut Taman, Ugo Untoro, Farhan Siki, S Teddy, Ong Hari Wahyu, Lugas Syllabus, Samuel Indratma, Oky Rey Montha, dan Yustoni Voluntero. Dalam pameran yang bertajuk “Kekuatan Tak Terlihat yang Terlihat”, A Anzieb selaku kurator kembali mengangkat ihwal seputar wilayah estetika persentuhan seorang seniman terhadap obyek yang sedang ia lukis, yakni keberanian seniman menarik garis dalam proses melukis.

Ada alasan ihwal tersebut. “Kalau para seniman sudah kehilangan hasrat atau meninggalkan perihal pengalaman persentuhan antara tubuhnya terhadap objek yang dilukisnya, tentu akan berpengaruh terhadap proses kreatifnya, juga karya yang dihasilkan—tidak ada geregetnya atau tidak ada kekuatan yang tersembunyi, invisible force,” tutur Anzieb.

Dengan kata lain, Anzieb sengaja mengundang para perupa yang dalam berkarya didasari dengan tarikan garis yang ekspresif dan personalitas emosi.

Ia menengarai, teknologi yang begitu maju dan memberi kemudahan dalam menggapai hasrat/keinginan juga memengaruhi kerja kreatif seniman (perupa). Dalam praktik seni rupa kontemporer, representasi teknologi pada dasarnya telah dianggap atau mampu memberi dan mengonstruksi pandangan-pandangan baru yang bisa mengantarkan para seniman untuk menjelajahi dunia imaji serta menemukan nilai-nilai yang berbeda hingga estetika yang tidak lagi konservatif.

Teknologi juga menjadi fokus bahasan dalam pameran yang melibatkan perupa dengan nama-nama besar. Menurut Anzieb,  representasi teknologi (seperti kamera, komputer, dan proyektor LCD) di satu sisi dianggap mampu memancarkan hasrat dan imaji para seniman tanpa batas (mampu menangkap, mentransfer, dan mengonstruksi obyek serupa sesuai dengan obyek riilnya). Namun, di sisi lain, representasi teknologi tersebut telah mengasingkan tubuh seniman dalam proses kreatifnya sekaligus memengaruhi hasilnya karena seniman menghilangkan sentuhan spontanitasnya.

"Laki-laki Hitam" karya Yunizar yang ikut dipamerkan, acrylic on canvas, 50 x 60, 2015.
“Laki-laki Hitam” karya Yunizar yang ikut dipamerkan, acrylic on canvas, 50 x 60, 2015.

Bahwa sarana proses kreatif (baca: produksi pengetahuan seni) yang semakin mengandalkan sarana-sarana teknologi yang paling up-to-date untuk membuat dan menghasilkan karya dengan sendirinya akan bertabrakan dengan hubungan produksi arkais-nya. Akibatnya, seniman menjadi terasing dengan garisnya sendiri.

“Padahal goresan tangan seniman yang spontan dan ekspresif akan menjadi ruh yang bisa menghidupkan garis dalam sebuah lukisan,” tutur Anzieb.

Lantas, apakah para perupa yang tampil ini juga menggunakan peranti teknologi dalam menghasilkan karyanya? Anzieb mempersilakan pengunjung untuk menilai sendiri.

Anzieb memberi contoh karya lukisan Nengah Nurata. “Nengah Nurata, misalnya, sebelum melukis selalu didahului semedi. Begitu pula sesudah lukisannya selesai. Dengan begitu karya yang dihasilkan ada kekuatan yang tersembunyi,” ungkapnya.

Untuk lebih memahami, Anzieb mengajak siapa pun mengunjungi dan menikmati serta memahami karya 22 perupa tersohor ini. Pameran dibuka oleh H Abdul Halim Muslih, Wakil Bupati Bantul, Yogyakarta, pada 13 Februari dan berlangsung hingga 13 Maret 2016. [YUK/PUR]