Nasirun dan salah satu karyanya.

Koran Sulindo – Sebuah “kegilaan” dilakukan Agung Tobing (seorang kolektor seni) dan Nasirun (perupa asal Cilacap, Jawa Tengah). Bayangkan saja, 26 mobil dari berbagai merek, di antaranya Mercy, koleksi Agung Tobing direlakan sebagai kanvas untuk dilukisi Nasirun. “Saya anggap keputusan saya memercayakan semua itu kepada Nasirun untuk melukisi mobil-mobil koleksi itu sebagai keputusan yang ‘gila’. Saya bahkan tidak berani menduga, apa yang bakal terjadi dengan koleksi saya itu, kecuali saya merasa bahagia dan puas,” ujar Agung Tobing.

Nasirun pun tak kalah “gila” saat menerima tawaran tersebut. Bahkan, ia menyebut tawaran Agung itu sebagai kesempatan yang luar biasa dan menantang. “Kapan lagi saya melukisi mobil-mobil mewah dengan leluasa? Melukisi benda-benda yang tak saya bayangkan juga dengan leluasa?” ungkap  Nasirun.

Dua pulu enam mobil yang direspons Nasirun itu kini dipamerkan di kompleks Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dengan tema “Run: Embracing Diversity”. Pameran yang berlangsung dari 29 Mei sampai 2 Juni 2016 itu dibuka oleh Dokter Oei Hong Djien, kolektor yang juga sahabat Nasirun yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah.

Saat membuka pameran yang dikuratori Suwarno Wisetrotomo dan Kuss Indarto selaku ko-kurator tersebut, Oei Hong Djien mengaku baru kali ini dirinya menyaksikan dan membuka pameran seperti ini. “Belum pernah ada pameran seperti ini di dunia. Saya sarankan Nasirun mencatatkan pada rekor Muri,” kata Oei Hong Djien.

Kegilaan Agung Tobing tak hanya berhenti memamerkan 26 mobil koleksinya. Ia juga men-displai ratusan karya Nasirun yang dimiliki, antara lain kriya kayu replika motor Harley Davidson 8 buah, meja dan kursi kayu jati dan munggur berukuran besar yang diukir kemudian dilukis ada 13 buah, gerobak sapi (2 buah) yang  disekitarnya terdapat puluhan patung dengan seragam tentara Cina yang semuanya berwajah Nasirun, perahu kayu kano 13 buah, dan patung kuda kayu 43 buah. Ada pula 100 helmet tentara bekas Perang Dunia I & II di atas kursi besi, instalasi pegupon (kandang burung merpati) dari kayu jati yang dilukisi setinggi 7 meter-lebar 4 meter menyerupai bentuk Borobudur 1 buah. Lalu ada lukisan di atas kanvas berukuran 15 meter berjumlah 3 dan berukuran 24 meter berjumlah 4 lukisan.

Apa alasan Agung Tobing dan Nasirun menggelar pameran spektakuler ini? “Saya dan Nasirun ingin merayakan persahabatan dan menghargai kepercayaan di ruang publik dengan menghadirkan karya-karya lukisan pada aneka macam medium ini,” ujar Agung Tobing.

Persahabatan keduanya terbina selama 20 tahun. Maka, bisa dipahami bila persahabatan keduanya tak hanya terbatas pada Agung Tobing dan Nasirun saja, namun semakin meluas hingga level keluarga. Bahkan lebih luas lagi: hingga sampai sahabat-sahabat keduanya. Pada akhirnya, lingkaran persahabatan semakin melebar dan, menurut Agung Tobing, terjadi persilangan yang semakin menghidupkan suasana.

Kejujuran, saling menghargai, dan menjaga kepercayaan itulah yang membuat persahabatan Agung Tobing dan Nasirun bisa bertahan selama ini. Menurut Agung Tobing, Nasirun tidak pernah mencederai, apalagi mengkhianati, segala hal yang telah mereka sepakati. Nasirun tidak pernah menelikung kerja sama yang sudah bicarakan sejak awal, kemudian disepakati. Nasirun tidak pernah berniat menipu dengan cara-cara licik atau, sederhananya, Nasirun tidak pernah sekadar memanfaatkan Agung untuk kepentingan Nasirun sendiri. “Saya katakan sekali lagi: tidak pernah!” ujar Agung Tobing.

Agung Tobing tak ada keraguan sedikitpun terhadap Nasirun. Sebab, selama ini, Nasirun dinilai selalu menunjukkan kepercayaan dengan tulus. Tak ada dusta di antara keduanya. Tak ada kemunafikan di antara mereka. Berterus terang dalam banyak hal. Bila ada yang mengganjal atau ketidaksetujuannya dengan ide-ide, akan diutarakan tanpa tedeng aling-aling.

“Ia tidak sekadar bilang ‘ya, ya, ya’ hanya untuk ingin memenuhi keinginan saya. Sungguh itu tidak dia lakukan. Situasi itu, saya rasakan dan saya percayai bahwa kami memang bersahabat dan masing-masing menjadi lebih produktif dalam bekerja dan berkarya,” ungkap Agung Tobing lagi.

Nasirun mengaku karya-karyanya yang akan dipamerkan dipersiapkan selama dua tahun. Ia sangat mengapresiasi langkah Agung Tobing yang memamerkan ratusan karya-karyanya sebagai bentuk untuk merayakan persahabatannya yang telah berjalan selama 20 tahun. “Bahkan persahabatan ini tidak terbatas antara beliau dengan saya saja, namun juga merambah hingga ke keluarga,” tutur Nasirun.

Nasirun1

Bicara ihwal salah satu karyanya yang menjadikan mobil sebagai kanvas, Nasirun, lelaki asal Cilacap ini, mengaku ide melukisi bodi mobil itu berawal saat dirinya diminta untuk melukis bodi gerobak sapi oleh salah satu panitia “Festival Gerobak Sapi” tahun 2014. “Ketika melihat gerobak sapi yang saya respons, Pak Agung menjadi tertarik. Gerobak itu lantas dibeli dan saya diminta lagi untuk merespons gerobak sapi lagi. Setelah itu, beliau meminta saya merespons mobil-mobil koleksinya,” ungkap Nasirun.

Sementara itu, Kuss Indarto Kuss menjelaskan, tajuk kuratorial pameran, “Run: Embracing Diversity” ingin memberi jendela pemahaman atas rangkaian karya yang dikreasi Nasirun bahwa ada sekian banyak perbedaan, ada pluralitas atau keberagaman, yang layak terus dipertemukan dalam kebersamaan, bukan penciptaan atas konflik atau tegangan-tegangan yang tidak produktif. Kata Run bisa dipahami dalam dua hal, yakni sebagai panggilan karib sang seniman, “Run, Nasirun”, atau juga bisa dibaca dalam konteks bahasa Inggris, run (‘lari, berlari’) yang mengisyaratkan kehendak Nasirun untuk terus berlari mengikuti naluri kreativitas dan produktivitasnya dalam dunia penciptaan karya seni.

Nasirun, menurut Kuss, merupakan salah satu seniman yang berupaya bergerak terus, berlari terus, menciptakan berbagai karya seni rupa. Di sisi lain, Nasirun tetap berkukuh mendasari konsep karya seninya dengan akar tradisinya yang relatif kuat. Tradisi yang ada dalam ingatan bawah sadarnya terus dimunculkan dalam hampir tiap karya seni yang dikreasinya, namun dengan memperbarui tradisi itu terus-menerus.Nasirun3

“Nasirun tidak meng-copy paste dengan mentah dan ‘begitu saja’ atas teks visual tradisi di sekitarnya, namun diolah dengan cara pandangnya yang subyektif,” ungkap Kuss.

Itulah Nasirun. Sosok lelaki yang mengawali perjalanan hidupnya hingga menjadi perupa ternama dengan penuh keprihatinan. Ia, misalnya, saat meninggalkan kampung halamannya, Dusun Ndoplang, Desa Adireja Wetan, Cilacap, untuk sekolah di SMSR Yogya hanya berbekal Rp 70 ribu. Uang itu hasil penjualan daun pintu rumahnya.

“Inyong mung bisa nyangoni bismillah [Aku hanya bisa memberi bekal bismillah],” ujar Supiah, sang ibu, saat Nasirun pamitan ke Yogya.

Ternyata, pintu itu adalah jalan bagi kesuksesan Nasirun dan bismillah yang diucapkan ibunya merupakan sebuah kekuatan atau menjadi motivasi yang dahsyat bagi Nasirun. Tak mengherankan dan sudah semestinya bila Nasirun selalu berbakti kepada keluarganya. Dan ini pernah ia wujudkan dengan menggelar pameran tunggal bertajuk “Salam Bekti” di Sangkring Art Space tahun 2009 lampau. [YUK]