Sebuah lukisan yang menggambarkan Pertempuran Waterloo karya Robinson. (Wikipedia)

Sejarah dunia dipenuhi oleh momen-momen krusial yang menjadi titik balik bagi peradaban manusia. Salah satunya terjadi pada sebuah hari musim panas, 18 Juni 1815, di kawasan tenang di selatan Brussels, Belgia.

Tak ada yang menyangka bahwa hamparan ladang di dekat kota kecil Waterloo akan menjadi panggung dari sebuah pertempuran besar yang mengguncang Eropa, sebuah bentrokan dahsyat yang mengakhiri karier militer Napoleon Bonaparte dan sekaligus menutup lembaran Kekaisaran Prancis yang pertama.

Pertempuran Waterloo bukan sekadar kisah peperangan, tetapi juga potret dari ambisi, kegagalan strategi, serta konsekuensi politik yang membentuk ulang masa depan Eropa. Dari dentuman meriam, strategi pasukan elit, hingga drama pelarian sang kaisar, semua menjadi bagian dari sejarah yang tak lekang oleh waktu.

Lalu, bagaimana sebenarnya peristiwa itu terjadi? Siapa saja yang terlibat dan apa dampaknya bagi dunia? Mari kita telusuri kisahnya dalam artikel berikut yang telah di rangkum dari berbagai sumber.

Latar Belakang

Pada 18 Juni 1815, sebuah bentrokan militer besar mengguncang daratan Eropa dan menandai berakhirnya salah satu era paling dramatis dalam sejarah benua tersebut. Pertempuran Waterloo, yang terjadi di dekat kota Waterloo sekitar 15 kilometer di selatan Brussels, Belgia, menjadi saksi tumbangnya kekuasaan Napoleon Bonaparte sebagai Kaisar Prancis.

Dalam satu hari pertempuran sengit, impian besar Napoleon untuk mengembalikan kejayaannya setelah kembali dari pengasingan di Pulau Elba akhirnya kandas.

Pertempuran ini berlangsung dalam konteks Perang Koalisi Ketujuh, di mana sejumlah kekuatan besar Eropa membentuk aliansi untuk menghentikan kebangkitan kembali Napoleon. Koalisi tersebut terdiri atas Inggris, Prusia, Belanda, dan sejumlah negara Eropa lainnya. Di sisi lain, Napoleon memimpin sekitar 127.000 pasukan yang ia andalkan untuk menundukkan para sekutunya.

Duke of Wellington, seorang jenderal berpengalaman dari Inggris, memimpin pasukan Inggris-Belanda yang berjumlah sekitar 67.000 orang. Sementara itu, Feldmarschall Gebhard von Blücher memimpin pasukan Prusia sebanyak 60.000 orang yang bergerak untuk bergabung dalam pertempuran.

Jalannya Pertempuran

Pagi hari tanggal 18 Juni, Napoleon mengawali serangan dengan menargetkan posisi strategis pasukan koalisi, termasuk château Hougomont dan benteng La Haye Sainte. Kedua titik ini menjadi pusat pertahanan penting bagi Inggris dan Prusia. Serangan frontal dilakukan dengan intens oleh Marsekal Michel Ney, menggunakan kombinasi artileri dan infanteri.

Meskipun serangan berlangsung sengit, pasukan Wellington tetap bertahan dengan disiplin tinggi, mematahkan setiap upaya penetrasi dari pihak Prancis.

Situasi menjadi semakin kompleks saat pasukan Prusia tiba dan memperkuat posisi koalisi. Napoleon mengerahkan Garda Muda untuk menahan tekanan Prusia di Plancenoit, sedangkan Garda Menengah dan Garda Tua diperintahkan membantu Ney. Namun, serangan gabungan mereka gagal menembus pertahanan koalisi dan justru disambut hujan meriam yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Ketika Garda Tua yang terkenal loyal dan tak terkalahkan mulai mundur, moral pasukan Prancis runtuh. Dalam kekacauan yang terjadi, Napoleon tidak memberikan perintah mundur yang jelas, sehingga pasukannya tercerai-berai. Ia sendiri melarikan diri dari medan perang tanpa sempat mengorganisasi sisa-sisa pasukan yang masih bertahan.

Korban

Kerugian dalam pertempuran ini sangat besar. Dari pihak Prancis, sekitar 25.000 prajurit tewas atau terluka, 7.000 ditawan, dan 15.000 lainnya dinyatakan hilang. Di sisi pasukan koalisi, korban mencapai 22.000 orang 15.000 di antaranya dari pasukan Inggris-Belanda dan 7.000 dari Prusia.

Kekalahan ini mengakhiri Seratus Hari pemerintahan Napoleon, yaitu periode singkat setelah ia kembali dari pengasingan dan merebut kembali kekuasaan di Prancis. Setelah kekalahan di Waterloo, Napoleon menyerah kepada Inggris dan diasingkan ke Pulau St. Helena di Samudra Atlantik, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat pada 5 Mei 1821.

Di balik kegagalan taktik militer Napoleon, terdapat kesalahan mendasar yang berkontribusi besar terhadap kekalahannya: penggunaan peta yang keliru. Kesalahan ini menyebabkan kekacauan dalam membaca posisi musuh dan mengarahkan serangan artileri secara tidak efektif. Dalam perang, informasi dan logistik adalah segalanya dan dalam kasus ini, Napoleon gagal menguasai kedua hal tersebut.

Fakta yang Mengejutkan

Meski pertempuran ini menelan belasan ribu korban jiwa, tidak ada kuburan massal yang pernah ditemukan di lokasi pertempuran.

Penelitian arkeologi dan sejarah terbaru menunjukkan kemungkinan mengerikan, dimana tulang-belulang para prajurit yang gugur kemungkinan dikumpulkan dan dijual untuk digunakan sebagai pupuk pertanian, sebuah praktik yang mungkin terdengar mengerikan hari ini, bukanlah hal yang asing pada masa itu.

Pertempuran Waterloo bukan hanya menutup babak panjang kepemimpinan militer Napoleon, tetapi juga mengawali pembentukan kembali tatanan politik Eropa. Kongres Wina yang berlangsung tak lama setelah itu memastikan dominasi kekuatan konservatif atas Eropa dan berusaha menjaga keseimbangan politik yang rapuh di benua tersebut untuk beberapa dekade ke depan.

Dengan kekalahan Napoleon, era revolusi dan ekspansi militer Prancis pun berakhir. Namun, warisan Napoleon baik dalam bidang hukum, strategi militer, maupun simbolisme politik tetap hidup dan menjadi bahan studi hingga kini. Waterloo bukan sekadar kekalahan, melainkan peringatan akan betapa tipisnya batas antara kejayaan dan kejatuhan dalam sejarah umat manusia. [UN]