Perang Bubat: Konflik Antara Kerajaan Sunda dan Majapahit

Ilustrasi peristiwa Perang Bubat di Taman Citra Resmi, Purwakarta. (Cut Menas Nila Tanu Sukma Devi/Instagram)

Koran Sulindo – Perang Bubat merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Nusantara, yang terjadi pada abad ke-14. Konflik ini melibatkan dua kerajaan besar pada masa itu, yaitu Kerajaan Sunda dan Majapahit.

Meskipun diwarnai dengan tragedi, Perang Bubat juga mencerminkan dinamika politik yang kompleks, ambisi kekuasaan, serta rivalitas antara dua kekuatan besar di Jawa, yakni Sunda di bagian barat dan Majapahit di bagian timur.

Dua Kekuatan Besar di Abad ke-14: Kerajaan Sunda dan Majapahit

Pada masa itu, Kerajaan Sunda dan Majapahit merupakan dua kerajaan paling dominan di Jawa. Kerajaan Sunda berpusat di wilayah Jawa Barat, dengan pelabuhan penting Sunda Kelapa yang menjadi pusat perdagangan.

Posisi geografis strategis ini membuat Kerajaan Sunda unggul dalam perekonomian, terutama melalui perdagangan. Selain itu, budaya Sunda berkembang pesat melalui seni pertunjukan seperti wayang golek dan tari Jaipongan, serta seni tekstil berupa batik Sunda. Dalam bidang keagamaan, Hinduisme dan Buddha menjadi pengaruh besar di Kerajaan Sunda.

Sementara itu, Kerajaan Majapahit, yang berpusat di Jawa Timur, berkembang sebagai kekuatan imperialistik yang berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara.

Majapahit juga dikenal dengan kemajuan dalam sastra Kawi, seni, dan pembangunan infrastruktur, terutama sistem irigasi yang mendukung pertanian. Agama Hindu-Buddha tetap dominan di Majapahit, tetapi kerajaan ini juga memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah Nusantara.

Kekuatan Majapahit tidak hanya terletak pada militernya, tetapi juga diplomasi dan administrasi yang efektif.

Latar Belakang Perang Bubat

Perang Bubat terjadi pada tahun 1357 Masehi. Konflik ini dipicu oleh perselisihan politik dan ambisi kekuasaan. Ketegangan bermula ketika Raja Majapahit, Hayam Wuruk, berkeinginan menikahi Dyah Pitaloka, putri dari Raja Sunda, Linggabuana.

Pernikahan ini pada awalnya diharapkan dapat mempererat hubungan antara kedua kerajaan. Namun, di balik rencana pernikahan ini, terdapat ambisi tersembunyi dari Gajah Mada, patih Majapahit yang bertekad untuk menundukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.

Gajah Mada menganggap pernikahan ini sebagai simbol takluknya Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Namun, pandangan ini tidak diterima oleh Kerajaan Sunda.

Raja Linggabuana dan pihak Sunda menolak untuk tunduk pada Majapahit, sehingga ketegangan pun meningkat. Permintaan Gajah Mada ini pada akhirnya menjadi pemicu utama terjadinya konflik.

Puncak Perang di Bubat

Ketegangan antara kedua kerajaan mencapai puncaknya di Bubat, sebuah kawasan di Trowulan, ketika pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada menyerang rombongan Raja Sunda yang sedang dalam perjalanan untuk menghadiri pernikahan tersebut.

Pertempuran sengit pun terjadi di tempat itu. Pasukan Sunda, meskipun berusaha melawan, kalah dalam pertempuran melawan kekuatan Majapahit yang lebih besar. Banyak prajurit Sunda yang tewas, termasuk Raja Linggabuana.

Dalam tragedi ini, Dyah Pitaloka, yang seharusnya menjadi pengantin Hayam Wuruk, memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk perlawanan terhadap penghinaan yang diterima Kerajaan Sunda. Kematian Dyah Pitaloka menjadi simbol martabat dan kehormatan Kerajaan Sunda yang tidak mau tunduk pada kekuatan Majapahit.

Dampak Perang Bubat

Perang Bubat membawa dampak yang besar terhadap hubungan politik dan budaya di Nusantara. Peristiwa ini mengakibatkan keretakan hubungan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit.

Raja Hayam Wuruk, yang baru mengetahui terjadinya perang setelah pertempuran berakhir, sangat kecewa dengan tindakan Gajah Mada. Hal ini memicu ketegangan antara Hayam Wuruk dan patihnya, yang sebelumnya menjadi salah satu tokoh penting dalam pemerintahan Majapahit.

Secara politik, Perang Bubat menandai perubahan besar dalam hubungan antar-kerajaan di Nusantara. Kerajaan-kerajaan lokal, seperti Sunda, mulai menunjukkan sikap yang lebih independen dan tidak lagi tunduk pada dominasi Majapahit.

Peristiwa ini juga menciptakan narasi baru tentang kekuatan lokal yang berani melawan kekuasaan imperialistik.

Pengaruh Budaya dan Identitas

Perang Bubat tidak hanya mempengaruhi politik, tetapi juga mempertegas identitas budaya Sunda. Keberanian Kerajaan Sunda dalam mempertahankan integritasnya menjadi simbol kebanggaan dan kehormatan bagi masyarakat Sunda.

Hingga kini, peristiwa ini masih diingat sebagai salah satu momen penting yang menggambarkan keteguhan Sunda dalam melawan dominasi kekuasaan luar.

Secara keseluruhan, Perang Bubat memberikan gambaran tentang kompleksitas interaksi antar-kerajaan di Nusantara pada abad ke-14. Konflik ini menggambarkan ambisi, rivalitas, dan pertarungan kekuasaan yang membentuk sejarah Indonesia pada masa itu. [UN]