Koran Sulindo – Meski sudah ada regulasi yang menyatakan pemerintah menjamin obat dari golongan narkotika untuk pelayanan kesehatan, namun kenyataannya para dokter masih takut memberikan resep morfin, misalnya, kepada pasien penderita kanker.
Penelitian dosen Farmakologi UGM dr. Rustamaji, M.Kes., menunjukkan penggunaan morfin di Indonesia pada 2011-2013 sebesar 400 mg perhari per sejuta penduduk per tahun. Bahkan pada 2012 terjadi penurunan penggunaan morfin dari 17 kg menjadi 14 kg, meski saat ini tingkat konsumsi morfin meningkat menjadi 23 kg pada tahun 2014.
“Artinya hanya 6% atau 9.880 orang per hari yang mendapatkan terapi morfin dari 162 ribu penderita nyeri berat karena kanker dan HIV. Angka ini menunjukkan penggunaan morfin di Indonesia termasuk kategori sangat rendah,” kata Rustamaji, saat ujian memperoleh gelar Doktor di UGM, Selasa (27/9).
Pada 2012 terjadi penurunan penggunaan morfin dari 17 kg menjadi 14 kg. Saat ini tingkat konsumsi morfin meningkat menjadi 23 kg pada tahun 2014. Jumlah tersebut menurutnya masih sangat rendah dibanding kebutuhan para penderita nyeri berat akibat kanker dan HIV.
Rustamaji mengusulkan, untuk mengurangi ketakutan dokter dalam peresepan morfin, hendaknya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyelenggarakan pelatihan secara sistematis untuk para dokter, apoteker dan asosiasi profesi terkait kertersediaan morfin dan pemantuan penggunanannya. Program ini menurutnya dapat dimasukkan dalam program pelayanan paliatif di rumah sakit,
“Sekali lagi penguatan dokter pelayanan primer dalam perespan morfin sebagai anti nyeri kuat sangat diperlukan,” katanya.
Rustamaji menilai upaya pemerintah menyedikan akses terhadap morfin dinilainya telah sangat baik dari sisi regulasi, pemilihan obat dan jaminan mutu obat namun masih lemah di manajemen suplai. Sehingga diperlukan upaya sosialisasi pengunaan morfin untuk nyeri kuat. Selain itu perlu diadakannya pelatihan tata laksana peresepan morfin, termasuk penilaian derajat nyeri.
“Upaya dilakukan pengenalan morfin baik sisi kemanfaatan klinik maupun risiko efek sampingnya termasuk kemungkinan munculnya toleransi,” katanya.
Di sisi lain, menurut Rustamaji, industri farmasi hanya akan memproduksi tablet morfin jika mendapat penugasan dari pemerintah, dan mendapatkan keuntungan dari proses produksinya. Bahkan industri farmasi akan memproduksi morfin apabila kebutuhannya jelas dan penyerapannya memuaskan.
“Untuk itu komunikasi yang intensif antara rumah sakit dan produsen morfin sangat diperlukan agar hasil produksi industri farmasi dapat diserap dan digunakan dalam pelayanan nyeri berat,” kata Rustamaji. (Yuk)