Koran Suluh Indonesia Volume 16 Tahun III, 6-19 Agustus 2018

Koran Sulindo – Apa sebenarnya yang membentuk bangsa Indonesia? Benarkah terbentuknya bangsa ini dimulai dari adanya imajinasi yang sama di kepala orang-orang yang beragam etnis-nya, dengan kepercayaan dan agama serta bahasa yang berbeda-beda pula, yang mendiami belasan ribu pulau? Imajinasi itu kemudian semakin kuat untuk dikonkretkan karena adanya hasrat membara untuk mencari suatu nama yang bisa disepakati bersama, yang kelak bernama bangsa Indonesia dan dilembagakan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945?

Tak bisa dinafikan, imajinasi memang ikut berperan dalam membentuk bangsa Indonesia. Namun, yang tak boleh dilupakan—karena merupakan unsur utama terbentuknya bangsa Indonesia—adalah adanya perasaan senasib-sependeritaan sebagai orang-orang terjajah, sebagai orang-orang yang tidak merdeka di negerinya sendiri.

Perasaan senasib-sependeritaan melahirkan solidaritas bersama. Penindasan, penjajahan, dan penderitaan menyulut api perlawanan dan pemberontakan.

Dari sanalah kemudian diformulasikan ide tentang persatuan, yang dikonkretkan ke dalam bentuk perkumpulan, pertemuan, kongres, partai politik, bahkan sampai ke bentuk kesenian. Mewujudnya ide persatuan, gagasan kebangsaan, yang kemudian dikenakan nama “Indonesia” dalam posturnya ini, terutama pada awal abad ke-20, mengubah cara pandang banyak orang dalam melihat dan merespons apa yang terjadi di dunia.

Yang dilihat dan direspons bukan hanya yang terjadi di lingkungan sekitar. Tapi juga dalam skala yang lebih luas, dalam perspektif hubungan antar-bangsa.

Jadi, penderitaan yang samalah yang menjadi motor penggeraknya, yang pada fase berikutnya melahirkan cita-cita bersama sebagai satu bangsa: merebut kembali salah satu hak dasar sebagai manusia, yakni hak untuk merdeka. Sikap ini jelas tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Inilah haluan besar Republik Indonesia, yang harus menjadi acuan bagi siapa pun yang diberi amanah untuk menjadi nakhoda kapalnya. Berhasil atau tidaknya pemimpin Indonesia, ukuran pertama dan utamanya adalah seberapa jauh amanat pembukaan konstitusi itu dilaksanakan, sebelum menggunakan parameter lain yang relevan.

Tujuh puluh tiga tahun bangsa Indonesia telah menghirup udara kemerdekaan. Sudah benar-benar merdekakah bangsa ini atau merdeka tetapi bingung ke mana akan melangkah? Masih adakah perasaan senasib-sependeritaan itu? [PUR]