Pencemaran Melanda Nama Baik di Negara Ini

Koran Sulindo – Mantan wartawan BBC di London yang kini menjadi kolomnis, Asyari Usman, ditangkap aparat kepolisian dari Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri pada Jumat pagi (9/2). “Dijemput sudah pasti, tapi enggak ada surat panggilan, enggak ada surat penangkapan. Agak aneh untuk Asyari Usman,” kata Guntur Fatahillah dari Tim Pengacara Muslim (TPM).

Asyari ditangkap karena dilaporkan kuasa hukum Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy (Romi) terkait kolomnya di teropongsenayan.com, yang bertajuk “Dukung Djarot-Sitorus: Ketum PPP Menjadi ‘Politisex Vendor’?” pada 11 Januari 2018 lalu. Dalam tulisannya tersebut, Asyari dianggap telah mencemarkan nama baik Romi.

Berikut artikel yang ditulis Asyari Usman, yang sampai berita ini ditulis (10/2) masih dapat dibaca di situs tersebut dan kami kutip lengkap di bawah ini tanpa disunting.

Salah seorang kader senior PPP di Sumatera Utara mengekspresikan kekesalannya terhadap perlakuan diktator DPP PPP yang dipimpin oleh Muhammad Romahurmuziy (Romi) yang “membebekkan” diri kepada pasangan Djarot SH dan Sihar Sitorus dalam pilgub. Yuni Piliang ingin membakar baju hijau PPP karena jengkel terhadap Romi.

Mungkin Yuni tidak begitu paham dengan perubahan drastis yang berlangsung di PPP pusat. Dia, barangkali, masih menganggap Romi seperti dia yang masih “waras” ideologi. Yuni rupanya masih polos. Dia menyangka Romi belum berubah menjadi oportunis yang siap mempermalukan warga Ka’bah.

Yuni tidak tahu bahwa Romi sudah menjadi “politisex vendor”, sudah menjadi “penjaja seks politik”. Dia baru tahu profesi baru Romi di “power market” (pasar kekuasaan) Jakarta. Yuni mungkin tak begitu paham bahwa semenjak krisis moral yang melanda seluruh elemen bangsa, Romi pun ikut tertular epidemi itu.

Ketua Umum PPP kini menjadi langganan “Om-om Politik” yang menjanjikan macam-macam kepada “Dik Romi”.

Yuni tidak paham bahwa “Mbak Romi” mengalami kesulitan hidup yang luar biasa di Jakarta. Beliau harus pandai-pandai mencari nafkah di tengah gemerlap kekuasaan yang sangat menggoda. Mbak Romi harus membayar sewa rumah dan berbagai tagihan lainnya. Dia tak mampu lagi menolak tawaran dari Om-om Politik yang duitnya tak bernomor seri.

Mbak Romi kini bisa bergaya lenggak-lenggok dengan pakaian serba mahal, keluar masuk “Plaza Pilitik” tingkat tinggi, sambil disenggal-senggol Om-om Politik dengan hadiah serba mewah. Saat ini, Mbak Romi semakin tinggi harganya.

Apalagi di musim pilkada seperti sekarang. Sekali “main” di pilkada bisa sangat mantap. Warung Mbak Romi ada di semua provinsi dan kabupaten.

Di provinsi-provinsi penting, Om-om Politik menjanjikan hadiah yang sangat atraktif. Pokoknya, kehidupan Mbak Romi sudah berubah menjadi “jetset politik”. Gemerlapan politik menjadi panggung Mbak Romi.

Kasihan Yuni Piliang yang jauh tertinggal di belakang kemajuan drastis Mbak Romi. Disangka Yuni, Mbak Romi masih akan menghormati lambang Ka’bah ketika menjatuhkan pilihan di pilgub Sumut. Kasihan sekali!

Tapi, Yuni, rajinlah berdoa semoga perilaku Mbak Romi bisa berubah. Siapa tahu dia terpanggil untuk keluar dari dunia hitam politik dan tidak lagi menjadi “politisex vendor”.

Kepala Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Kombes Polisi Asep Safrudin, mengatakan Asyari Usman ditangkap untuk diperiksa dalam kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Kami lagi memeriksa terkait pelaporan, ada pelapor yang merasa dicemarkan nama baiknya,” tutur Asep kepada wartawan, Jumat juga.

Asyari, tambah Asep, diperiksa bukan cuma soal artikel terkait sikap PPP pada Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara, tapi juga karena atikelnya yang berjudul “Menghitung Korban ‘Pertempuran’ Pilkada DKI” dan “Politisi Ugal-ugalan: Ketua PPP, Djan Faridz, Mau Mengawini Ahok”. Dijelaskan Asep lagi, ketiga artikel itulah yang membuat kuasa hukum Romi melaporkan Asyari Usman atas tuduhan pencemaran nama baik.

Asyari dijerat dengan Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP tentang Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik. “Persangkaan Pasal 45 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 3 dan atau Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP,” ungkap Asep.

Namun, tersangka pencemaran nama baik tak bisa serta-merta ditahan. Soal ini juga pernah dinyatakan oleh Kadiv Humas Polri pada tahun 2016, yang waktu itu dijabat Irjen Polisi Boy Rafli Amar. Karena, pada Undang-Undang ITE yang telah direvisi, khususnya pasal 27 ayat 3, ancaman hukuman bagi tersangka pencemaran nama baik hanya 4 tahun, dari semula 6 tahun.

“Karena penahanan itu sifatnya adalah ‘dapat’, bukan ‘wajib’ ditahan tersangka, yang ancamannya lima tahun ke atas,” kata Boy di Jakarta pada 29 November 11 2016.

Sebelum peristiwa penangkapan Asyari itu, pada 6 Februari 2018, mantan presiden yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melaporkan kuasa hukum terdakwa kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk eletronik (e-KTP) Setya Novanto, Firman Wijaya, ke Bareskrim Polri. “Saya sebagai warga negara yang menaati hukum tetapi juga ingin mencari keadilan secara resmi telah laporkan Saudara Firman Wijaya yang saya nilai telah melakukan fitnah dan mencemarkan nama baik saya, berkaitan dengan permasalahan e-KTP,” kata SBY kepada wartawan setelah membuat laporan.

Ihwalnya bermula dari kesaksian mantan kader Partai Demokrat, Mirwan Amir, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 25 Januari 2018 lalu. Mirwan mengatakan dalam kesaksiannya, dirinya telah menyarankan ke SBY, yang kala itu presiden, untuk tak melanjutkan proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri karena diduga bermasalah. Tapi, proyek senilai Rp 5,9 triliun itu akhinya tetap dijalankan.

Merespons pernyataan itu, Firman Wijaya selaku kuasa kuasa hukum Setya Novanto mengatakan, kesaksian Mirwan tersebut telah mengungkap siapa sebenarnya aktor besar di balik proyek pengadaan e-KTP yang kemudian dijadikan bancakan haram. SBY pun tidak terima dengan pernyataan Firman Wijaya itu karena ia merasa semua hanya fitnah kepada dirinya dan telah mencemarkan nama baiknya.

Dalam diskusi di radio pada Sabtu pagi tadi (10/2), Wakil Sekjen Partai Demokrat yang juga kuasa hukum SBY, Didi Irawadi Syamsudin, terus menanyakan ke Firman, adakah Mirwan Amir mengatakan dalam persidangan bahwa ada intervensi dari partai pemenang pemilu saat itu dalam proyek e-KTP. “Kami melihat apa yang disampaikan Bung Firman ini jelas berbeda dari fakta persidangan,” tutur Didi.

Firman, tambahnya, telah mengembangkan pernyataan Mirwan Amir sedemikian rupa, sehingga mengarah kuat ke dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Ditegaskan Didi, pihaknya tidak mendengar ada pernyataan Mirwan Amir dalam persidangan, yang mengatakan adanya intervensi dari partai pemenang pemilu saat itu. “Jelas pernyataan Bung Firman ini telah mengembangkan suatu hal yang tidak ada konteksnya di dalam persidangan,” katanya.

Sementara itu, Firman yang menjadi narasumber diskusi itu melalui sambungan telepon menjawab, Didi sebaiknya mengikuti proses persidangan dari awal hingga akhir, sehingga tidak mendapatkan informasi sepotong-sepotong. Ia juga mempertanyakan, apakah Didi masih berprofesi sebagai pengacara atau tidak.

“Daripada melebar ke mana-mana, apa kaitannya saya masih pengacara atau tidak? Yang pasti, saya masih pengacara sampai hari ini. Jawab dulu yang tadi. Adakah Saudara Mirwan Amir itu mengatakan kalimat intervensi dari partai pemenang pemilu?” ujar Didi.

Dijawab Firman, dirinya akan membuktikan bahwa pernyataannya tidak berbeda dari yang disampaikan Mirwan Amir dalam persidangan.

Pada 15 Februari 2017 lalu, SBY juga pernah melaporkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar untuk perkara dugaan pencemaran nama baik. Namun, yang melaporkan kala itu adalah Tim Hukum DPP Partai Demokrat. Namun, sejauh ini belum terdengar kelanjutan dari pelaporan itu.PELAPORAN ke polisi terkait dugaan pencemaran nama baik relatif banyak di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Pelapornya mulai dari artis sampai anggota masyarakat biasa pengguna media sosial di Internet. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 melaporkan Ketua Umum Solidaritas Merah Putih Silvester Matutina untuk perkara yang sama. Pasalnya, Silvester Matutina dalam demonstrasi di depan Mabes Polri pada 15 Mei 2017 mengatakan, banyaknya masyarakat yang miskin saat ini disebabkan adanya korupsi yang dilakukan keluarga Jusuf Kalla.

Kasus pencemaran nama baik yang pernah begitu mencuat dan menjadi pembicaraan publik dalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada tahun 2008 silam. Ketika itu, pihak Rumah Sakit Omni International, Tangerang, Banten melaporkan gugatan pidana terhadap Prita Mulyasari ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polri pada 5 September 2008. Prita dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu karena mengirimkan e-mail yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar ke beberapa mailing list dan forum online serta juga kemudian dikirimkan ke Surat Pembaca detik.com.

Namun, kemudian, pihak rumah sakit melakukan gugatan perdata ke Prita. Tanggal 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata Rumah Saki Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan rumah sakit itu dan divonis membayar kerugian materil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan banding.

Tanggal 13 Mei 2009, Prita mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga dilaporkan Omni. Pada 2 Juni 2009, penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.

Publik pun kemudian geger. Sampai-sampai, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla memberi perhatian terhadap kasus Prita, termasuk juga dari Dewan Pers. Perpanjangan penahanan Prita pun ditangguhkan. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.

Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 4 Juni 2009. Oleh jaksa penuntut umum, Prita didakwa dengan menggunakan tiga pasal: Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik di dunia maya; Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, dan; Pasal 311 KUHP tentang fitnah.

Namun, majelis hakim kemudian memvonis Prita bebas, 25 Juni 2009. Pada 29 September 2010, Mahkamah Agung juga membatalkan putusan Pengadilan Negeri tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang sebelumnya mengabulkan gugatan perdata Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi Rp 204 juta atas perbuatan pencemaran baik. Sidang kasasi dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa.

Tanggal 30 Juni 2011, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Majelis hakim yang dipimpin oleh Imam Harjadi, Zaharuddin Utama, dan Salman Luthan ini memvonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun kepada Prita. Prita tidak dipenjara sepanjang tidak mengulangi perbuatannya dalam waktu satu tahun ke depan. Tapi, Hakim Salman menyatakan beda pendapat. Menurut dia, Prita tidak bersalah.

Akhirnya, pada 17 September 2012, Mahkamah Agung membebaskan Prita dari semua dakwaan alias bebas murni. Putusan itu dibacakan dalam sidang Peninjauan Kembali oleh majelis hakim agung yang diketuai Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, yang beranggotakan hakim anggota Hakim Agung Surya Jaya dan Suhadi. Majelis hakim agung memerintahkan agar Prita dipulihkan nama baik, harkat, dan kedudukannya.MESKI Prita telah bebas murni dari tuntutan pidana dan perdata serta telah dipulihkan pula nama baik, harkat, dan kedudukannya, kasusnya telah membuat sebagian anggota masyarakat merasa takut untuk berekspresi dan bersikap kritis, terutama terhadap pejabat negara dan urusan pelayanan publik. Dulu sempat muncul istilah “takut di-prita-kan”.

“Pidana pencemaran nama baik sudah terbukti menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, dan kemerdekaan pers di Indonesia,” kata Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara, saat kasus Prita mencuat.

Dengan menyadari risiko akan hilangnya kebebasan warga sipil karena adanya aturan hukum seperti itulah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menyerukan kepada pemerintah dari negara-negara anggotanya untuk menghapus aturan pidana pencemaran nama baik. Bahkan, Komisi Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi PBB hampr setiap tahun mengeluarkan seruan serupa itu: hapuskan kriminalisasi kasus pencemaran nama baik. Apalagi, di Indonesia, sampai kini belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut sebagai pencemaran nama baik.

Di dunia ini, tidak ada negara hukum di dunia ini yang punya delik penghinaan, tambah Anggara, yang diatur di banyak tempat seperti Indonesia. Di negara-negara maju saja, meski ada juga yang mengatur soal delik penghinaan, aturan hanya ada dalam satu ketentuan, yakni di aturan semacam KUHP. “Itu pun tidak pernah digunakan. Karena, orang lebih memilih jalur perdata. Kan, buat apa mengirimkan orang ke penjara? Mending hartanya saja disita. Jadi, kerugian akibat penghinaan dimaterialkan dalam bentuk uang,” tutur Anggara.

Di Amerika Serikat pun tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Karena, itu dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi Amerika Serikat, yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda, negara tempat kelahiran KUHP dan KUH Perdata Indonesia, ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangannya pun telah berubah, seperti pernah diungkapkan profesor hukum dari University of Amsterdam, Jan de Meij, dalam sebuah kesempatan. “Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak tahun 1978,” kata Jan de Meij. Kalaupun ada tuntutan pidana, biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana penjara.

Dalam keterangannya sebagai ahli pada sidang uji materi terhadap KUHP terkait pasal pencemaran nama baik yang diajukan dua pekerja pers pada tahun 2008 silam, ahli perbandingan hukum internasional Toby Daniel Mendel juga mengatakan, sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik sudah tidak relevan lagi di dunia modern.

“Banyak negara sudah meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata. Sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum suatu tindak pencemaran nama baik,” tutur Toby Daniel Mendel

Toby Daniel Mendel berpandangan, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini bisa saja dibatasi, asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati dan tidak boleh memiliki efek membunuh, yang membuat orang menjadi tidak berani mengemukakan pendapatnya. [PUR]