Ilustrasi: Aksi tolak monopoli sumber daya air/dethazyo.blogspot.co.id

Koran Sulindo – Baru-baru ini Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengedepankan hak asasi manusia dan kendali negara atas sumber daya air. Ini seperti angin segar dalam hal perbaikan akses air di Jakarta. Tetapi putusan ini bukanlah langkah menyeluruh untuk meninggalkan privatisasi air.

Terlepas dari putusan majelis hakim bahwa pemerintah provinsi Jakarta telah melawan hukum ketika menandatangani kontrak dengan perusahaan air, putusan ini tidak memberi perintah gamblang pembatalan perjanjian. Maka, “remunipalisasi penuh”, atau mengembalikan air pipa ke tangan publik sepenuhnya, kemungkinan besar tidak akan terjadi hingga kontrak habis pada 2023.

Putusan majelis hakim menekan perusahaan air daerah PAM Jaya untuk melakukan “restrukturisasi internal”. Restrukturisasi akan menyusun kontrak baru untuk operator swasta di Jakarta: Palyja dan Aetra. Direktur PAM Jaya, Erlan Hidayat, berjanji akan menyelesaikan restrukturisasi pada Maret 2018. PAM Jaya akan mengambil alih penyediaan air baku dan penagihan, sementara operator swasta menangani pembersihan air baku dan pemasangan pipa.

Tapi restrukturisasi akan berdampak kecil karena PAM Jaya hanya mengambil alih sebagian pengelolaan air pipa. PAM Jaya masih harus membayar biaya produksi ke Palyja dan Aetra, yang merupakan bagian paling mahal dari proses pengadaan air bersih.

Gubernur Jakarta saat ini, Anies Baswedan, belum memaparkan rencana yang jelas tentang memperbaiki akses ke air meski dia berjanji saat kampanye untuk menyediakan pemasangan pipa PAM gratis untuk warga.

Air di Jakarta jadi Bahan Dagangan

Indonesia memiliki 21% dari total suplai air di Asia Pasifik (dan 6% di dunia). Kita seharusnya tidak menjadi negara yang kekurangan air. Ironisnya, hanya 70% dari total populasi yang mempunyai akses ke air yang layak minum (bahkan angkanya lebih kecil untuk sanitasi).

Indonesia bisa dibilang kekurangan air. World Resource Institute memprediksi Indonesia akan menghadapi masalah air lebih banyak pada 2040.

Penyebab dari masalah ini, yang paling kerap disebut, adalah tata kelola air yang buruk. Masalah lain adalah privatisasi layanan air di Jakarta, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara kepentingan bisnis dan publik. Ini menyebabkan kenaikan tarif air sehingga komunitas yang terugikan harus menyisihkan proporsi yang cukup besar dari pendapatannya untuk membeli air.

Sejarah Privatisasi

Privatisasi layanan air di Jakarta diawali pada 1991 di bawah proyek Water Sector Adjustment. Ketika itu Bank Dunia memberi pinjaman US$92 juta pada Indonesia. Proyek memang dimaksudkan untuk mencari “jalan keluar” dari masalah besar yang mengelilingi air, seperti kualitas air yang rendah, ketiadaan investasi, dan rawan korupsi.

Konsesi 20 tahun disepakati pada 2001 dengan dua perusahaan multinasional, Suez (Prancis) dan Thames (Inggris), setelah ditandatangani kerja sama kedua perusahaan ini dengan PAM Jaya pada 1997. Dengan berlakunya kontrak ini, Jakarta menyerahkan layanan ke pihak swasta dan memberi mereka kepercayaan untuk mengatur suplai air di Jakarta.

Pada 2004, Badan Regulator PAM DKI mengatakan salah satu target privatisasi adalah menyediakan air pipa ke 100% penduduk Jakarta. Tapi tak satu pun jalan keluar yang diharapkan terwujud. Pada akhir 2016, hanya 49,6% penduduk Jakarta yang mendapatkan akses ke air layak minum.

Distribusi Air tak Adil

Akses ke air yang terbatas tampak nyata dari kenaikan tarif air yang signifikan di Jakarta, dari Rp1.700 per meter kubik di awal konsesi ke Rp7.025 pada 2016.

Lebih lagi, instalasi pipa air di Jakarta terkonsentrasi di wilayah menengah atas. Data dari PAM Jaya menunjukkan 55,25% distribusi air di wilayah barat Jakarta ditargetkan untuk rumah-rumah penduduk kelas menengah ke atas, wilayah komersial, dan kondominium.

Sementara, di wilayah berpenghasilan rendah, suplai air bisa mati berhari-hari.

Pada Januari 2017, dalam wawancara dengan kami, koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota, Eni Rochayati mengatakan bahwa kekurangan air di Penjaringan Jakarta Utara adalah masalah lama yang mereka hadapi bertahun-tahun tanpa ada solusinya.

Proporsi kelompok miskin dan rentan yang mendapatkan akses ke air bersih di Indonesia naik sedikit dari 61,57% di 2015 ke 61,94% di 2016. Angka ini mendorong Indonesia untuk mengklaim dalam Kajian Nasional Sukarela pada PBB bahwa akses ke air bersih dan fasilitas sanitasi, seperti air pipa, penampungan air hujan, sumur artesian, dan sumur pompa, telah lebih baik.

Namun, kenaikannya sedemikian kecil. Indonesia tentu bisa lebih baik capaiannya jika saja memiliki kebijakan air yang terarah.

Tekanan Publik dan Putusan Pengadilan

Akses terbatas ke suplai air di Jakarta mendorong gerakan, diorganisasi oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Koalisi mendaftarkan gugatan masyarakat (citizen lawsuit) ke pengadilan negeri, menuntut pembatalan kontrak privatisasi.

Pada 2015, pengadilan memenangkan koalisi dan memutuskan, antara lain: kontrak privatisasi melawan hukum berdasar Pasal 33 UUD 1954. Pasal tersebut menyatakan bahwa penguasaan air “harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat”

Setelah setahun pertempuran hukum di pengadilan tinggi, koalisi memenangi gugatan lagi di Mahkamah Agung pada Oktober 2017. MA secara khusus menyatakan ada kelalaian “dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta”.

Dari Laba ke Layanan

Dengan berjalannya remunipalisasi, PAM Jaya dan pemerintah mesti berfokus pada tata kelola yang berorientasi pada pelayanan, bukan laba. PAM Jaya dan pemerintah Jakarta harus memegang kendali pada sektor air di Jakarta. Kepemilikan penuh atau kendali pada hal-hal penting berkait pengadaan air adalah satu pilihan. Pilihan lain adalah mengadopsi rancangan dasar untuk memperkuat kerja sama antara pemangku kepentingan di pemerintahan.

Satu pelajaran dari Paris adalah menciptakan ruang bagi pelanggan dan warga untuk memantau layanan. PAM Jaya dan pemerintah Jakarta harus menyusun satu rancangan jangka panjang untuk membuat rencana matang berkait pengembangan infrastruktur, pengaturan keuangan, dan sumber daya manusia. Tetapi mereka juga harus memastikan ada partisipasi yang matang dan transparansi dalam prosesnya.

Paris, yang meremunipalisasi sektor airnya pada 2010, memadukan proses pengembalian ke publik dengan partisipasi warga. Mereka membentuk Pemantau Air Paris (Paris Water Observatory) untuk memberi warga ruang pantau, pengumpulan informasi, dan membuat perusaahan air publik Paris, Eau de Paris, bisa mempertanggungjawabkan kinerja kepada warga. Dengan partisipasi publik yang kuat, Paris sekarang bekerja menuju tata kelola air yang demokratis.

Partisipasi publik yang menjadi prioritas di benak pemerintah adalah satu-satunya perspektif yang bisa menghasilkan layanan efisien dan efektif yang dapat memastikan akses pada air dan sanitasi secara menyeluruh. [Marwa, staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada; Dio Herdiawan Tobing, peneliti di Pusat Studi Asean UGM]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.