Koran Sulindo – Kubu Heru Hidayat menuding kondisi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai memburuk ketika di bawah kepemimpinan Hexana Tri Sasongko sebagai direktur utama. Ketika Hexana mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018, total aset investasi Jiwasraya ketika itu mencapai Rp 32 triliun.
“Dan tunggakan sebesar Rp 802 miliar. Namun direksi baru (Hexana) ketika itu tidak melakukan penyelamatan pembayaran, malah mengumumkan gagal bayar, yang mengakibatkan nilai saham-saham yang dimiliki AJS turun,” kata Kresna Hutahuruk, salah satu kuasa hukum Heru Hidayat dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.
Kresna mengatakan, Heru hanyalah emiten, yaitu seorang yang memiliki saham di beberapa perusahaan, sama seperti Jiwasraya berinvestasi di 100 lebih saham. Akan tetapi, Kejaksaan justru hanya mempermasalahkan kliennya.
“Kenapa Kejaksaan tidak mempermasalahkan semua emiten? Istilahnya ketika kita membeli saham Bank BRI kemudian turun jauh, apakah kita bisa mempermasalahkan harga barunya? Kan tidak,” kata Kresna
Karena itu, kata Kresna, ketika Kejaksaan mendata aset orang lalu dikatakan memperkaya diri sendiri, seakan-akan orang tidak boleh punya duit dari hasil keringat mereka sendiri. Bahkan faktanya dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa membuktikan adanya aliran dana atau duit Heru Hidayat ke para tersangka lainnya.
“Bagaimana suatu niatan yang baik untuk menyelamatkan Jiwasraya malah dikatakan melawan hukum. Padahal semua tindakan itu adalah tujuannya untuk menyelamatkan Jiwasraya,” kata Kresna.
Sementara itu, guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Lucianus Budi Kagramanto menilai, penegakan hukum kasus Jiwasraya dan PT Asabri (Persero) belum sesuai dengan semangat penegakan hukum terkait dengan KUHP, KUHAP dan UU Tipikor. Apalagi menyangkut penentuan kerugian negara.
“Ini harus diperjelas ya, karena masih, bagi saya masih sangat meragukan. Apa betul itu apa yang dilakukan menimbulkan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara,” kata Budi.
Jika benar terjadi gagal bayar oleh perusahaan asuransi, kata Lucianus, maka kasus Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya masuk dalam ranah perdata, bukan masuk ke dalam ranah pidana. “Karena ini terkait dengan apa namanya pasar modal ya. Kemudian penetapan nilai kerugian dalam kasus tersebut serta penurunan nilai saham yang dimiliki oleh Asuransi Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya kan masuk dalam kajian hukum perdata,” ujar Lucianus.
Karena itu, Lucianus mempertanyakan dasar hukum Kejaksaan Agung dalam menyita dan merampas aset yang tak terkait perkara korupsi. “Itu sebetulnya untuk apa, untuk kepentingan siapa, ini nggak jelas. Apakah prosedur-prosedur seperti ini apakah dapat dibenarkan oleh undang undang? Kejaksaan jangan jadi instrumen negara untuk pemidanaan yang dipaksakan,” kata Lucianus.
Penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung dalam perkara Jiwasraya, kata Lucianus, terkesan kurang hati-hati. Termasuk tak memahami dasar investasi saham yang high risk high return. Akibat penanganan perkara Asabri-Jiwasraya yang dilakukan secara tidak hati-hati itu pada akhirnya mengakibatkan investor baik asing maupun dari dalam negeri menjadi ragu untuk berinvestasi ke Indonesia.
“Tentu ini mengganggu stabilitas ekonomi dalam jangka panjang karena tidak ada jaminan kepastian hukum bagi investor. Sebab kasus ini merupakan business judgement lawfull, yaitu business judgment rule,” katanya.
Begitu pula dengan kuasa hukum PT TRAM dan PT JBU, Haris Azhar yang menyebut penanganan kasus Jiwasraya-Asabri adalah kejahatan menggunakan proses penegakan hukum. “Kalau saya bilang ini kejahatan dengan menggunakan fasilitas proses hukum atau instrumen negara,” kata Haris.
Menurut Haris, penggunaan kekuasaan atas nama proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung sebetulnya menciptakan banyak kerugian. “Kalau dalam militer itu ada namanya perintah komandonya yang memang menikmati, menikmati semua proses kejahatan berkedok proses penegakan hukum ini. Jelas kriminalisasi,” ujar Haris.
“Jadi sebetulnya gagal bayarnya gara-gara Kejaksaan Agung. Kalau saya jadi pemilik polis Jiwasraya waktu itu atau hari ini mungkin saya sudah lapor ke Nabi Musa bahkan sampai ke Tuhan, kelakuan Kejaksaan Agung itu.”
Ia pun menilai ada unsur politis dalam proses penegakan hukum kasus Jiwasraya-Asabri. “Saya nggak bilang ini proses hukum, tapi sudah memang mengarah pada permainan aset. Dan cukup banyak kejahatan permainan aset yang diduga dilakukan pejabat di Kejaksaan Agung itu. Saya punya banyak data soal itu,” katanya.
Haris menambahkan bahwa argumentasi kejaksaan melakukan lelang aset sitaan perkara Asabri menggunakan pasal 45 KUHP itu, itu sangat semena-mena. Dan proses yang sedang dilakukan korps Adhyaksa, kata dia, adalah proses merusak bisnis orang dengan merebut asetnya.
“Jadi menurut saya Kejaksaan mengkhianati kepercayaan rakyat makanya sangat wajar kalau hari ini banyak orang teriak-teriak minta Jaksa Agung diganti dan minta Presiden suruh berhenti aja, ya karena udah nggak ada yang bisa dipercaya di Negeri ini,” tuturnya. [KRG]