Koran Sulindo – Pihak Imigrasi harus memperketat pengawasan tenaga kerja asing (TKA) yang ada di Indonesia, terutama yang datang dari Cina. Karena, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, TKA dari Cina sekarang ini telah berani melakukan sejumlah kegiatan ilegal, seperti menanam dan membawa sayuran yang mengandung bakteri ke Indonesia. “Imigrasi harus melakukan pengawasan yang lebih ketat, unuk apa, kegiatannya seperti apa, harus dipantau,” kata Masinton, Jumat (9/12).
Pernyataan Masinton itu terkait temuan bibit dan tanaman cabai dari Cina yang membawa bakteri yang belum pernah ada di Indonesia. Pusat Karantina pun kemudian melakukan pemusnahan 2 kilogram benih cabai, 5.000 batang tanaman cabai, dan 1 kilogram benih bawang daun dan sawi hijau dengan cara dibakar dengan insinerator di Instalasi Karantina Hewan Kantor Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.Berdasarkan hasil uji laboratorium pada 24 November, benih cabai yang ditanam dinyatakan positif terinfestasi bakteri Erwinia chrysantemi Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK) A1 Golongan 1.
Awalnya, Tim Pengawasan dan Penindakan Badan Karantina Pertanian menemukan benih ilegal ini atas kerja sama Kantor Imigrasi Kelas I Bogor, Jawa Barat, yang menangkap empat warga negara asing (WNA) asal Cina pada 8 November lalu. WNA asal Cina tengah melakukan aktivitas bercocok tanam cabai. Aktivitas ini melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, antara lain terkait penyalahgunaan izin tinggal.
Karena curiga terhadap aktivitas bercocok tanam cabai yang dilakukan keempat warga Cina tersebut, Tim Pengawasan dan Penindakan Badan Karantina Pertanian pada 15 November berkoordinasi dengan Kantor Imigrasi Kelas I Bogor untuk menahan benih di lahan pertanaman cabai yang berlokasi di perbukitan (+ 500 meter di atas permukaan laut) di Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Menurut Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Antarjo Dikin, lahan tersebut bukanlah lahan perkebunan cabai. Dia memperkirakan lahan yang digunakan adalah semak-semak. Dan, dia meyakini ada orang Indonesia yang menunjukkan lahan tersebut kepada tersangka. Karena, tidak mungkin warga Cina bisa mendapatkan lahan yang jauh di atas bukit.
Warga Cina yang ditangkap itu mengaku, mendapatkan lahannya dengan menyewa ke warga lokal. Sebanyak 5.000 tanaman cabai itu ditanam di lahan sekitar 4.000 meter persegi.
Dari empat warga Cina itu, tiga di antaranya menggunakan paspor turis, yang salah satunya sudah habis masa izin tinggalnya. Akan halnya satu orang lagi menggunakan paspor Hong Kong dan pemegang kartu izin tinggal sementara (Kitas) yang diterbitkan oleh Imigrasi Tangerang, Banten. Pemegang paspor Hong Kong itu menyalahgunakan Kitas, yang merupakan Kitas untuk ahli electronical engineer di industri logam.
Selain menahan empat orang warga Cina, petugas Imigrasi juga mengamankan barang bukti berupa sejumlah alat penyemprot tanaman, pestisida yang digunakan untuk merawat perkebunan cabai, sejumlah telepon genggam, serta buku penggajian pekerja. Warga sekitar dibayar Rp 60 ribu per hari, total ada 30 warga yang bekerja di perkebunan tersebut.Diungkapkan Antarjo Dikin, Kantor Imigrasi telah kecolongan atas masuknya bibit dan tanaman berbahaya tersebut. “Kalau saya bilang, ini Imigrasi kebobolan. Seharusnya, kalau sudah lewat masanya, kok belum balik, ya, dicari-cari dong,” kata Antarjo di Kantor Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, Kamis (8/12).
Namun, pernyataan Antarjo dibantah keras oleh Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie. Dalam keterangan resminya, Jumat (9/12), Sompie mempertanyakan sejauh mana Antarjo Dikin telah melakukan tindakan penegakan hukum sebagai penyidik PPNS. Sompie menyayangkan sikap Antarjo yang sepertinya mencari kambing hitam kesalahan akibat kelalaian instansinya untuk mencegah masuknya bibit tanaman ke Indonesia dengan cara melalui jalur checkpoints, baik di bandar udara, pelabuhan, atau perbatasan negara di perbatasan darat.
Menurut Sompie, mestinya pihak Karantina tanaman dapat mencegah hal tersebut. “Mengingat bibit dan tanaman itu membawa bakteri yang belum pernah ada di Indonesia, mengapa orang asing yang membawa bibit tanaman tidak bisa dicegah oleh pihak Karantina tanaman? ” katanya.
Ia pun menegaskan, pengawasan orang asing bukan semata-mata menjadi tugas Direktorat Jenderal Imigrasi, tapi juga menjadi tugas dan fungsi Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati yang dipimpin oleh Antarjo Dikin sendiri. “Kalau sudah tahu ada orang asing yang menanam tanaman berbahaya, mengapa tidak ditindak?” ujar Sompie. Ia juga mempertanyakan bagaimana peran institusi yang dipimpin Antarjo untuk melakukan pengawasan yang harus diperbaiki. “Tidak perlu melempar kelalaian dan mencari kambing hitam di luar instansi yang dipimpinnya.”Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta pemerintah segera melakukan penyelidikan terhadap temuan benih dan tanaman cabai, bawang daun, dan sawi hijau yang mengandung bakteri tersebut. “Harus ada investigasi, sebab akan menjadi perang biokimia. Ini sangat berbahaya, penyelundupan barang-barang pertanian. Pusat karantina harus membuat laporan dan juga Kementan, ini kasus seperti apa, sengaja atau tidak sengaja,” ujar Fahri Hamzah di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (8/12).
Dalam pandangan Fahri, ini bisa diduga mengarah perang biokimia. Karena itu, pihak Kementrian Pertahanan juga harus terlibat, mengingat dapat membahayakan jiwa rakyat Indonesia. “Kemenhan juga harus terlibat ini karena juga mengancam pertahanan negara kita,” tuturnya.
Senada dengan Fahri, Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi juga meminta kepolisian mengusut kasus ini. Menurut dia, kasus ini adalah bagian dari bioterorisme karena menebarkan penyakit bakteri ke wilayah Indonesia. “Jika penyakitnya sudah menyebar luas, biasanya ada obat khusus yang diproduksi oleh pabrik. Ini adalah aksi bioterorisme yang menggunakan makhluk hidup,” tutur Viva, Jumat (9/12). Harusnya, tambah Viva, pemerintah lebih memperketat seleksi dan verifikasi semua bahan impor untuk memproteksi sumber daya genetik Indonesia.
Karena itu, Komisi IV DPR pun kini tengah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Karantina dan mengusulkan agar terbentuk Badan Karantina Nasional yang integratif, menggabungkan organisasi kerja karantina yang menyebar ke beberapa Kementerian.”Namun pemerintah masih menolak terhadap gagasan ini. Kita pun meminta pihak Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan harus proaktif membantu pengusutan kasus ini mengapa sampai terjadi,” ujarnya.Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra menilai, sudah saatnya polisi turun tangan menyelidiki masalah ini. “Ini bukan lagi kewenangan Imigrasi dan karantina tumbuhan,” katanya lewat akun Twitter-nya, Jumat (9/12). Apa yang dilakukan warga Cina itu, tambahnya, jelas bukan kegiatan petani biasa.
“Polisi patut menduga ini adalah kegiatan sengaja yang terencana dengan rapi. Dalam bahasa politik, kegiatan itu dapat digolongkan sebagai sebuah infiltrasi atau subversi untuk meruntuhkan ekonomi suatu negara,” ujarnya.
Bayangkan, lanjutnya, kalau cabai, bawang, dan aneka-sayuran kita musnah karena bakteri yang blm ada penangkalnya. “Negara pasti impor bahan-bahan tersebut. Dari mana impornya? Tentu dari negara yang melakukan infiltrasi dan subversi untuk melemahkan ekonomi negara kita. Petani kita menjadi miskin dan tak berdaya, sementara makin banyak saja bahan-bahan kebutuhan yang harus diimpor,” katanya.
Yusril pun meminta polisi menyelidiki masalah ini. Begitu pula dengan Badan Intelijen Negara, harus mencari tahu apa maksud di balik warga Cina yg menanam cabai berbahaya itu. “Hal-hal seperti ini jangan dianggap sepele oleh negara. Kegiatan infiltrasi dan subversi dari negara lain harus diwaspadai dan ditangkal,” tutur Yusril.Puluhan tahun lampau, Bung Karno telah mengatakan, rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!” kata Bung Karno dalam pidatonya pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak bernama Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952.
Pada tahun itu, tiga tahun setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, ekonomi Indonesia memang masih morat-marit. Harga beras naik berkali-kali lipat. Bahaya kelaparan terus mengintai rakyat. Bahkan di desa-desa ada rakyat yang makan bonggol pisang.
Pada kesempatan tersebut, Bung Karno bicara panjang-lebar soal pangan dan masa depan bangsa. “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” katanya.
Soal kedaulatan pangan juga menjadi bagian dari visi-misi pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu. Jokowi-JK berjanji akan menyusun kebijakan mengendalikan impor pangan melalui pemberantasan mafia impor. Para mafia ini disebut hanya mencari keuntungan untuk pribadi dan kelompoknya sehingga mengorbankan kepentingan pangan nasional. Kemudian, pemerintah juga akan mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian dalam negeri.
Selanjutnya, gagasan Jokowi-JK untuk mencapai kedaulatan pangan adalah pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga 2019. Juga meningkatkan kemampuan petani, organisasi tani, dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama melibatkan secara aktif kaum tani perempuan sebagai tulang punggung kedaulatan pangan.
Namun, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan klaim-klaim pemerintah dalam capaian kedaulatan pangan jauh panggang dari api. Justru impor beras hingga Oktober 2016 meningkat dan melebihi dibanding tahun lalu. Pada 2015, impor beras mencapai US$ 351 juta; sementara tahun ini, terutama periode Januari hingga Juli 2016, impor beras menurut data Badan Pusat Statistik mencapai US$ 447 juta. Jauh melebihi jumlah tahun lalu. “Desember bahkan bisa naik 200 persen impor beras,” kata Heri. Selain beras, impor terhadap bahan pangan seperti gandum juga meningkat hingga 50% pada tahun ini, mencapai US$ 1,49 miliar. Sementara itu, catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan, impor beras naik hampir lima kali lipat pada tahun ini.
Sepanjang Januari hingga September 2016, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 1,14 juta ton. Padahal, periode yang sama tahun lalu hanya 229.611 ton. Atas fakta ini, Kementerian Pertanian berdalih impor beras tahun ini hanya berupa beras premium untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe.
Dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan jika The Economist Intelligence Unit’s lewat Global Food Security Index menempatkan Indonesia di posisi 73 dari 113 negara. Artinya, indeks ketahanan pangan Indonesia masih rendah dan rapuh. Bahkan, Indonesia masih kalah jika dibandingkan Kazakhstan dan Botswana, yang masing-masing berada pada posisi 68 dan 54. [PUR]