Putra mahkota Astro-Hongaria Franz Ferdinand dan istrinya Putri Ceko Sophie Chotek pada tahun 1914. (AP)

Tanggal 28 Juni 1914 tercatat sebagai salah satu tonggak sejarah dunia yang mengubah arah peradaban manusia. Pada hari itu, sebuah tragedi politik yang terjadi di Sarajevo, ibu kota provinsi Bosnia-Herzegovina yang kala itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Austria-Hongaria menjadi percikan yang membakar seluruh benua Eropa dan memicu konflik berskala global yaitu Perang Dunia Pertama.

Tokoh utama dari insiden bersejarah ini adalah Archduke Franz Ferdinand, pewaris takhta Kekaisaran Austria-Hongaria, dan istrinya, Sophie Chotek, Duchess of Hohenberg. Mereka tewas ditembak di siang hari bolong saat tengah melakukan kunjungan resmi ke Sarajevo. Kejadian tersebut tidak hanya mengguncang Austria-Hongaria, tetapi juga menggugah seluruh dunia, sebab dari peristiwa itulah konflik bersenjata terbesar di awal abad ke-20 dimulai.

Siapa Franz Ferdinand dan Sophie?

Archduke Franz Ferdinand lahir di Graz, Austria, pada tahun 1863, sebagai bagian dari Dinasti Habsburg, salah satu wangsa kekaisaran tertua dan paling berpengaruh di Eropa. Ia adalah putra dari Pangeran Karl Ludwig, adik dari Kaisar Franz Joseph I, penguasa Austria-Hongaria saat itu.

Posisi Franz Ferdinand sebagai pewaris takhta membuatnya menjadi tokoh penting dalam politik kekaisaran. Di balik sikap konservatifnya, Franz Ferdinand dikenal memiliki pandangan yang cukup moderat, terutama mengenai masalah etnis dan otonomi wilayah.

Sementara itu, sang istri, Sophie Chotek, merupakan bangsawan berdarah Jerman. Karena status sosialnya yang dianggap tidak setara oleh standar kerajaan Habsburg, pernikahan mereka pun sempat menuai kontroversi.

Meski begitu, cinta mereka tetap teguh. Sophie, meski tidak diizinkan menyandang gelar Permaisuri, tetap mendampingi Franz Ferdinand dalam banyak perjalanan resmi, termasuk kunjungan mereka ke Sarajevo yang berujung pada kematian keduanya.

Latar Belakang Politik dan Nasionalisme di Balkan

Wilayah Balkan di awal abad ke-20 adalah tempat yang penuh ketegangan politik dan sosial. Kekaisaran Austria-Hongaria menguasai Bosnia-Herzegovina sejak tahun 1878 dan secara resmi mencaploknya pada 1908, memicu ketegangan dengan Kerajaan Serbia, yang juga memiliki aspirasi untuk menyatukan semua bangsa Slavia Selatan di bawah panji Serbia Raya.

Gerakan Pan-Slavisme ini menjadi semacam ideologi nasionalistik yang berkembang luas di kalangan etnis Serbia, termasuk mereka yang tinggal di dalam wilayah Austria-Hongaria.

Di tengah situasi ini, kelompok-kelompok radikal dan nasionalis Serbia mulai tumbuh subur, termasuk organisasi rahasia bernama Muda Bosnia (Mlada Bosna) yang beranggotakan pemuda-pemuda dengan semangat revolusioner dan anti-kekaisaran. Salah satu dari mereka adalah Gavrilo Princip, seorang pemuda Serbia Bosnia berusia 19 tahun yang sangat dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dan kemarahan terhadap kekuasaan Austria-Hongaria.

Pembunuhan di Sarajevo

Menurut laman New Zealand History, kunjungan Franz Ferdinand ke Sarajevo pada 28 Juni 1914 dilakukan dalam rangka menginspeksi pasukan militer Austria-Hongaria. Namun tanggal itu dipandang sangat sensitif oleh kelompok nasionalis Serbia, sebab bertepatan dengan perayaan Vidovdan, hari suci nasional Serbia yang memperingati Pertempuran Kosovo pada tahun 1389, simbol penting bagi nasionalisme Serbia.

Meski berbagai peringatan telah diberikan terkait ancaman terhadap keselamatan Archduke, kunjungan itu tetap dilaksanakan. Saat iring-iringan mobil Franz Ferdinand melintas di jalanan Sarajevo, seorang pelaku sempat melemparkan granat ke arah mobil Archduke, tetapi gagal melukai target. Namun, upaya pembunuhan tidak berhenti di situ.

Beberapa jam kemudian, saat Franz Ferdinand dan Sophie dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk mengunjungi korban ledakan sebelumnya, mobil mereka secara tidak sengaja melewati jalan tempat Gavrilo Princip berdiri. Tanpa ragu, Princip menembakkan dua peluru yang menewaskan Franz Ferdinand dan istrinya di tempat.

Berita pembunuhan ini menyebar cepat ke seluruh dunia. Di Selandia Baru, surat kabar The Evening Post pada 30 Juni menyebut kejadian itu sebagai ‘Tragedi di Sarajevo’ dan menyoroti aspek politiknya sebagai kejahatan bermotif nasionalistik.

The Auckland Star menekankan bahwa berbagai peringatan telah diabaikan oleh pihak kekaisaran, sementara The New Zealand Herald pada 3 Juli lebih fokus pada sisi kemanusiaan, menggambarkan kesedihan mendalam dari ketiga anak Franz Ferdinand yang harus menjadi yatim piatu secara mendadak.

Pelaku dan kelompok di balik pembunuhan tersebut segera ditangkap. Namun investigasi Austria-Hongaria menyimpulkan bahwa para pelaku mendapat dukungan dari elemen tertentu di dalam Pemerintah Serbia. Hal inilah yang menjadi pemicu utama krisis diplomatik yang dikenal sebagai Krisis Juli 1914.

Dari Tragedi Menuju Perang Global

Austria-Hongaria, yang merasa dihina dan terancam oleh kegiatan nasionalisme Serbia, mengeluarkan ultimatum keras kepada Serbia. Meski sebagian besar tuntutan dipenuhi, Austria-Hongaria tetap menyatakan perang terhadap Serbia pada 28 Juli 1914, tepat sebulan setelah pembunuhan Franz Ferdinand.

Deklarasi perang ini menyalakan rantai reaksi dari sistem aliansi militer di Eropa. Rusia, sebagai pelindung Serbia, mulai memobilisasi pasukannya. Jerman, sekutu Austria-Hongaria, menanggapi dengan menyatakan perang terhadap Rusia dan Prancis. Ketika Jerman melintasi Belgia untuk menyerang Prancis, Inggris pun masuk ke dalam konflik dan menyatakan perang terhadap Jerman pada 4 Agustus 1914.

Dalam waktu singkat, konflik antara dua negara Balkan berubah menjadi perang besar yang melibatkan lebih dari 30 negara dan berlangsung selama empat tahun, menelan korban lebih dari 16 juta jiwa dan meninggalkan luka yang membekas dalam sejarah dunia.

Peristiwa pembunuhan Franz Ferdinand adalah contoh paling mencolok bagaimana satu tindakan politik, dalam konteks ketegangan yang sudah lama mengendap, dapat meledak menjadi perang besar.

Tragedi di Sarajevo mengajarkan bahwa dalam dunia diplomasi dan politik internasional, tidak ada insiden yang berdiri sendiri. Setiap peristiwa berakar pada sejarah panjang, ketegangan yang tertahan, dan jaringan kekuasaan yang saling terkait.

Perang Dunia Pertama bukan sekadar perang antarnegara, tetapi konflik yang lahir dari rasa takut, dendam sejarah, dan kegagalan manusia dalam mencegah kekerasan. Dan semuanya dimulai dengan dua peluru yang ditembakkan oleh seorang pemuda di sudut jalan kota Sarajevo, pada pagi musim panas, 28 Juni 1914. [UN]