Koran Sulindo – Penulis buku “Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia” ini masih muda. Wasisto Raharjo Jati (27) yang kini bekerja di LIPI adalah lulusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada. Apa yang berbeda dari kelas menengah muslim? Apakah kekuatan politik mereka meningkat? Berikut nukilan percakapannya:
Mengapa kelas menengah muslim?
Kalau melihat konteks kekinian, kelas menengah dipandang sebagai agen perubahan, yakni diletakkan sebagai pembawa arus demokratisasi dan lain sebagainya.
Namun yang menarik, adalah ketika kita membaca konteks kelas menengah muslim ini agak berbeda dengan konteks kelas menengah pada umumnya.
Perbedaannya?
Pertama, mereka lahir dari alienasi negara terhadap umat Islam. Kedua, mereka mengedepankan nilai Islam sebagai bentuk identitas politik mereka. Ketiga, mereka berusaha untuk membentuk komunitas-komunitas kecil berdasarkan pemahaman Islam masing-masing. Nah ketiga hal inilah yang membuat saya tertarik melihat konteks kelas menengah muslim ini dalam kekinian. Satu lain hal lagi, berbagai macam produk literasi yang mengangkat kelas menengah muslim ini masih minim. Yang saya lihat kelas menengah ini masih sebagai pemanis dalam setiap laporan ilmiah.
Saya melihat kelas menengah muslim ini sangat multivarian. Banyak sekali kelompok-kelompok. Kelas menengah muslim terbagi atas pemahaman Ideologi, teologi dan afiliasi. Ketiga hal inilah yang menjadi poin penting dalam konteks kelas menengah Muslim.
Kalau kita melihat dalam konteks ideologi, maka kita bisa melihat dari berbagai macam ajaran seperti Salafi, Wahabi, Aswaja dan lain sebagainya. Saya melihat bahwa sebenarnya konteks kelas menengah Muslim itu timbul karena linear dengan pemahaman yang itu terbangun dalam ideologi tersebut. Kita tahu konteks Jamiah itu menjadi poin penting dalam melihat kelas menengah Muslim dalam tataran ideologis, yang itu ada tarekatnya dan yang tersambung satu sama lain.
Sedang kelas menengah Muslim yang terkait teologis, maka kita bisa melihat berbagai bentuk kelompok-kelompok seperti Nagsabandiyah, Qodriyah dan lain-lainnya. Sementara kelas menengah yang terafiliasi kita bisa melihat dalam konteks NU, Muhammadiyah, FPI dan lain sebagainya.
Konteks itulah yang mendasari kelas menengah Muslim itu timbul dan tumbuh.
Mana yang lebih dominan?
Ternyata ada kontestasi di dalamnya. Artinya, ketika membaca kelas menengah dalam tataran praksis, mereka satu sama lain bersaing dalam memperebutkan pengaruh dalam menghimpun umat. Hal ini karena terikat dengan masalah eksistensi dan juga presentasi. Oleh karena itu kemudian banyak sekali muncul ekspresi Islam yang bermacam-macam seperti ada Islam pluralis, Islam moderat dan lain sebagainya. Ini bukan kemudian siapa yang benar atau siapa yang salah, tapi ini persoalan siapa yang eksis dan tumbuh. Ini yang menjadi masalah utama.
Jadi, poin yang ingin saya katakan adalah rekognisi menjadi kata menarik dalam melihat kelas menengah Muslim dalam memahami Islam, dan juga itu termanifestasikan dalam bentuk representasi bagaimanakah menghubungkan dengan umat.
Contohnya bisa kita lihat dalam kontestasi antara NU, Muhammadiyah dan FPI. Di situ kita bisa melihat bahwa ada berbagai macam bentuk “persaingan”, misal dalam memahami Islam. Namun yang menarik, organisasi Islam yang selama ini tumbuh di era masa lalu, malah meredup. Kalah dengan organisasi Islam kekinian yang berbasis dengan Majelis Taklim atau forum seperti FPI atau FBR. Mereka ini berhasil menyodorkan solusi apa yang dibutuhkan saat ini dibanding dengan NU ataupun Muhammadiyah yang kini masih dalam trek ideologis.
Peran mereka di dunia perpolitikan?
Di sini bisa terlihat ada 2 scope, yakni kelompok penekan dan kelompok kepentingan. Kalau kelompok kepentingan bisa dilihat dengan adanya berbagai macam isu atau kebutuhan mereka yang didesakkan pada negara. Misalnya ingin layanan edukasi, maka mereka berusaha mendesak negara untuk diberi akses.
Sedangkan kelompok penekan berupaya sampai tataran sistem atau ideologi negara. Hal ini dilakukan karena mereka lebih condong ke arah ideal. Jadi pemahaman ideal mereka itulah yang benar, dan apa yang menjadi konsep negara adalah salah.
Soal kelompok penekan, mengapa tak bergabung dengan partai politik?
Parpol itu kan hanya bergerak ketika ada pemilu saja. Jadi kantor partai hanya ramai saat pemilu. Selebihnya kantor sepi. Sementara itu apa yang ditawarkan oleh parpol oleh umat itu apa? Jadi ada gap antara parpol Islam dengan umat Islam. Kelas menengah Muslim itu tidak punya akses ke parpol, demikian pula parpol tak punya akses ke umat. Parpol dipandang elitis. Bahasa politik kelas menengah Muslim itu bukan masalah anggaran atau kekuasaan, tapi kebutuhan riil yang mereka hadapi keseharian seperti banjir, macet dan lain-lain.
Soal Pilkada DKI, apakah ini menunjukkan kelas menengah Muslim tengah menggeliat?
Munculnya gerakan 411, 212, dan lain sebagainya itu hanyalah monentum. Namun hal ini kemudian meredup dengan sendirinya. Sebenarnya pemahaman Islam di kalangan kelas menengah ini masih bersifat simbolik (pakaian putih, gamis, tasbih, melaksanakan sholat di jalan, dan lain sebagainya), taktikal, dan belum substantial. Maka kalau kita melihat munculnya gerakan-gerakan itu dikotomis, seperti Ahok dan Anti Ahok, kafir dan bukan kafir, dan lain sebagainya. Ini kan masalah simbol. Sebetulnya pula umat Muslim tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya dipanas-panasi, bangkit yang lantas demo. Mereka itu hanya follower. Jadi yang ingin saya sampaikan hal itu sifatnya hanya momentum dan simbolnya tepat. Dan kalau kita lihat momentum dan simbolnya sudah tak ada lagi. Yang masih bertahan adalah masalah pemilu.
Ada kelompok penekan yang menginginkan negara berdasarkan agama
Negara kita kan negara berketuhanan. Agama itu kan masalah profan. Seringkali kita mencampuradukkan keduanya, yakni agama dan politik yang ujung-ujungnya pada soal uhrowi dan duniawi. Itu yang kita lihat ada hilang hari-hari ini. Agama jadi alat intimidasi pada politik. Misalnya penistaan diancam pasal-pasal atau ayat-ayat tertentu. Itu memang bagus, namun dalam konteks diri atau pribadi, bukan dalam konteks politik.
Ketika agama sudah masuk ke politik, maka itu sudah mengotori agama. Kenapa, karena negara kita bukan berdasarkan agama tapi berketuhanan.
Bagaimana peran ulama?
Ulama sekarang ini banyak yang terseret di bidang politik. Semestinya mereka lebih berperan sebagai perantara atau jembatan kultural, yang menjadi problem solver umat. Maka tak heran bila sekarang ini subur da’i selebritis, karena mereka berhasil menyodorkan solusi yang dihadapi umat. [YUK]