Mata biru suku Lamno di Aceh, hasil kawin campur bangsa Portugis dengan penduduk lokal sejak abad ke-15 (Sumber: Buku Si Mata Biru, Jejak Keberadaan Portugis di Lamno Aceh Jaya, 2013)
Mata biru suku Lamno di Aceh, hasil kawin campur bangsa Portugis dengan penduduk lokal sejak abad ke-15 (Sumber: Buku Si Mata Biru, Jejak Keberadaan Portugis di Lamno Aceh Jaya, 2013)

Warna mata orang Indonesia kebanyakan cokelat gelap. Mata cokelat merupakan mata yang paling umum di dunia, terutama di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Afrika. Diketahui sebanyak 8-10 persen orang di seluruh dunia bermata biru. Mata biru paling umum terdapat di Eropa.

Di Indonesia ada fenomena unik. Meskipun tidak banyak, ada sejumlah orang di beberapa daerah memiliki mata biru. Bahkan berhidung mancung, berperawakan kekar, dan berkulit putih seperti orang Eropa. Pada masa lampau memang Nusantara banyak disinggahi oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka yang enggan kembali ke Eropa, menetap dan menikahi penduduk asli Nusantara. 

Banyak di antara suku Lingon di pedalaman Halmahera, Maluku, bermata biru dan berkulit putih.  Dikabarkan, dulu beberapa kapal Eropa karam di Halmahera. Banyak penumpang selamat dan terdampar di pulau ini, tapi mereka tidak bisa pulang ke negara asal. Dari situ terjadi perkawinan campur. 

Beberapa orang bermata biru juga terdapat di Pulau Simpou, kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Menurut cerita rakyat, ratusan tahun yang lalu pelaut Portugis singgah di pulau ini.  Nama La Dala menjadi salah satu sebutan bagi pemilik mata biru, yang menurut bahasa setempat berarti “orang berjalan”, sebutan untuk pelaut Portugis zaman dulu.

Lamno di Aceh

Di Sumatera, penduduk Indonesia berciri Eropa terdapat di desa Lamno, kecamatan Jaya dan kecamatan Baru, kabupaten Aceh Jaya, Nanggroe Aceh Darussalam. Banyak warga bermata biru sering disebut anak cucu bangsa Portugis. Hingga saat ini Lamno dikenal sebagai ‘kampung bule’. 

Nenek moyang mereka sudah bermukim di Lamno sejak lama. Dikisahkan, pada abad ke-14 sampai ke-16, tentara dan pelaut Portugis terdampar di Kerajaan Daya (Aceh). Kerajaan Daya terletak di wilayah Lamno. Karena itu Lamno dikenal sebagai Nanggroe Daya. 

Ketika armada Portugis dibawah pimpinan Alfonso Alberqueque hendak menaklukkan kota Malaka pada 1511 Masehi, Raja Portugis mengirimkan pasukan bantuan. Namun pasukan tersebut tidak pernah sampai karena terdampar di pesisir Barat Aceh tepatnya di kota Lamno, Aceh. Mereka kehilangan kontak dengan pasukan induknya di Goa (India), pusat koloni Portugis di Timur Jauh maupun dengan pasukan Portugis di Malaka. 

Mereka ditawan oleh Sultan Meureuhom Daya, sekaligus menunggu perbaikan kapal yang rusak.  Dulu di hulu Kuala Lam Beusoe, sebagaimana tulisan di tengkuputeh.com, banyak ahli teknik membuat kapal-kapal besar seperti Top, Sekuna, Jong, dan Ghali (kapal perang model kapal perang Spanyol/Portugis), pembuatan meriam dan mesiu untuk keperluan perang dan pengangkutan bahan-bahan perang. 

Para tawanan itu diajari bertani dan berbahasa. Juga diperkenalkan dengan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Mereka diperbolehkan untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk Islam.

Marco Polo dalam pelayaran keliling dunia (1292-1295) pernah singgah di kerajaan Daya dan menulis buku tentang kebesaran kerajaan Daya berbaur dengan prajurit Portugis di Lamno. Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera itu untuk menunggu angin baik guna meneruskan perjalanan ke barat. 

 Semakin berkurang

Setelah tsunami Aceh 2004 jumlah “Bule Lamno” semakin berkurang. Namun fenomena unik tetap menyebar ke mana-mana. Para perempuan dari keturunan Portugis dikenal  dengan julukan kondang “Dara Portugis”. Banyak pemuda dari Aceh maupun luar Aceh mencari jodoh ke pesisir Barat, siapa tahu dapat mempersunting “Dara Portugis” tersebut. 

Betapa populernya “Dara Portugis” bisa dinikmati dari sebait lagu, “…Jika jalan-jalan ke Aceh Barat, Jangan lupa singgah sejenak di Lamno Jaya. Di sana dapat kita lihat dara Portugis, Si Dara Barat yang biru mata….”

Begitu kira-kira terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang berjudul “Dara Portugis”, sebagaimana dikisahkan membuka-misteri.blogspot.com. Oleh karena lagu itu, keberadaan dara Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung den­gan Aceh Besar) menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan, orang asing yang datang pasca tsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah mengeta­hui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas tsunami.

Sebelum tsunami Si Mata Biru atau “Bule Lamno” belum begitu populer. Tapi setelah tsunami, mayoritas keturunan mata biru hilang, tewas, atau berpindah ke tempat lain. Maka banyak media memburu orang-orang yang masih tersisa karena orang-orang masih penasaran dengan keberadaan para keturunan Portugis tersebut. 

Sebenarnya adat-istiadat Komunitas Mata Biru sama dengan penduduk Aceh lain. Hanya dialek bahasa yang membuat penduduk keturunan Portugis itu menjadi berbeda. [DS]