BEBERAPA bulan lalu, banyak aktivis dan orang-orang yang peduli dengan urusan kemanusiaan dan kesetaraan di Indonesia juga membuat petisi ke Panitia Nobel. Mereka meminta hadiah Nobel Perdamaian ke Suu Kyi ditarik kembali.

Gara-garanya: pernyataan Suu Kyi yang bernada rasis usai diwawancarai presenter acara BBC Today, Mishal Husain, pada tahun 2013, sebagaimana diungkap dalam buku buku biografi berjudul The Lady and The Generals: Aung San Suu Kyi and Burma’s Strunggle for Freedom yang ditulis Peter Popham, jurnalis The Independent. “Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang muslim,” kata Suu Kyi. Pernyataannya tersebut  merupakan ungkapan kekesalannya karena Husain mengajukan pertanyaan mengenai penderitaan yang dialami oleh umat muslim di Myanmar. Selain itu, Suu Kyi juga diminta mengecam mereka yang antimuslim dan melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga umat muslim suku Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar.

Dunia pun gempar karena tak percaya kata-kata tersebut bisa keluar dari mulut Suu Kyi, pejuang demokrasi dari Myanmar yang telah dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 2012. Meski pernyataannya terbilang pendek, maknanya melukai hati banyak orang yang mencintai perdamaian.

Padahal, banyak sekali orang, termasuk di Indonesia, yang tadinya mengagumi sosok Suu Kyi, yang selama ini dikenal sebagai figur penyabar, berjuang dalam damai, dan hingga akhirnya dapat merebut kekuasaan di Myanmar. Tapi, pernyataan Suu Kyi yang mempermasalahkan seorang jurnalis Muslim itu telah membikin banyak orang kecewa dan marah.

Menurut mereka, pernyataan Suu Kyi yang bersifat rasis itu sungguh tidak pantas, karena dia dia dikenal sebagai pejuang demokrasi. Pernyataannya dapat merusak nilai-nilai demokrasi yang menghargai perbedaan keyakinan dan perbedaan.  Sebagai peraih Nobel Perdamaian, pernyataan rasis dari Suu Kyi justru membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap saling curiga, bahkan konflik.

Para penandatangan petisi itu bertanya kepada Suu Kyi, apa yang salah dari seorang muslim. Bukankah demokrasi dan hak asasi manusia mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan? “Apa pun agamanya, harusnya Suu Kyi dan kita semua harus tetap saling menghormati setiap orang dan tidak bertindak diskriminatif sebagai sesama manusia,” demikian antara lain pengantar untuk petisi online yang dimuat di www.change.org.

Pernyataan Suu Kyi itu juga membuka kembali pertanyaan dunia internasional tentang sikapnya terhadap kaum minoritas muslim di Myanmar. Apalagi, Suu Kyi tidak mengeluarkan pernyataan apa pun terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami etnis minoritas muslim Rohingya.  Padahal, Nobel Perdamaian adalah penghargaan tertinggi yang diberikan khusus “untuk orang-orang yang memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan antar-bangsa….” Karena itu, nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan ini harus tetap dijaga para penerima Nobel Perdamaian,  termasuk Suu Kyi, hingga akhir hayatnya. [AFP/AP/RAF]