BEBERAPA waktu lalu terjadi pertumpahan darah antara kelompok militan Rohingya dan pemerintah, yang didukung banyak warga sipil. Banyak korban tewas, termasuk bayi, dan perempuan Rohingya diperkosa. Bentrokan tersebut merupakan bentrokan dengan menelan korban sangat banyak sejak 2012 lalu, yang ketika itu menewaskan ratusan orang dan lebih dari 100.000 etnis Rohingya dipaksa tinggal di kamp-kamp kumuh.
Aung San Suu Kyi sendiri, setelah dua dekade terakhir menjadi tahanan rumah dan dianugerahi Novel Perdamaian pada tahun 1991, memenangkan pemilihan umum pada November 2016 lalu. Dengan kemenangannya itu berakhirlah dekade pemerintahan junta militer.
Namun, ternyata, angkatan bersenjata Myanmar atau Tatmadaw tetap mempertahankan kekuasaannya. Di bawah rancangan konstitusi militer, Tatmadaw menguasai tiga kementerian yang paling kuat: urusan dalam negeri, pertahanan, dan perbatasan.
Dalam pemerintahan yang baru ini, Aung San Suu Kyi menjadi Menteri Luar Negeri dan penasihat negara. Karena, hukum di Myanmar melarang dia untuk menjadi presiden. Yang menjadi presiden adalah orang dekat Suu Kyi, Htin Kyaw. Namun, Suu Kyi oleh masyarakat luas dianggap sebagai pemimpin negara itu secara de facto.
Surat terbuka juga mengatakan, “permohonan telah dilakukan berulang-ulang kepada Daw Aung San Suu Kyi, sehingga kami frustrasi karena dia belum mengambil inisiatif untuk memastikan etnis Rohingya mendapat hak-hak kewarganegaraan secara penuh dan setara. Daw Suu Kyi adalah pemimpin dan adalah salah seorang tokoh utama yang bertanggung jawab untuk memimpin, memimpin dengan keberanian, kemanusiaan, dan kasih sayang.”