Tio Pakusadewo memerankan Bung Karno/pantja-sila.com

Koran Sulindo – Sebuah film berjudul Pantja-sila: Cita-cita dan Realita akan ditayangkan di bioskop pada 17 Agustus nanti. Dokudrama ini mencoba menghadirkan proses lahirnya dasar negara Republik Indonesia itu dengan cara merekonstruksi pidato Ir. Soekarno di depan peserta sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.

Dalam film berdurasi 79 menit itu, hampir sepanjang waktu layar memperlihatkan Soekarno mencoba membius para pendengarnya, yang notabene orang-orang berpendidikan di masa itu yang jumlahnya masih sangat sedikit.

Film produksi Jakarta Media Syndication dan Geppeto Production pada dasarnya adalah upaya memanggungkan kembali orasi Bung Karno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai pada 1 Juni 1945 itu. Hari itu kini diresmikan negara sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Konteks suasana sosial politik saat itu, mayoritas orang berpendidikan di Indonesia masih dalam ragu untuk merdeka karena berbagai faktor, termasuk karena belum adanya dasar negara. Bung Karno menjawab kegalauan tersebut dengan menyampaikan lima poin yang kelak menjadi Pancasila.

Tio Pakusadewo mengemban tugas untuk menghidupkan kembali pidato. Tio juga bertindak sebagai sutradara bersama Tino Saroengallo, yang juga memproduseri film ini.

Dalam proses pembuatan Pantja-Sila: Cita-cita dan Realita, Tyo dan Tino mengaku mengalami kesulitan untuk menggambarkan ulang kejadian bersejarah tersebut. Mereka tidak bisa menemukan arsip dan referensi sejarah soal peristiwa itu.

“Tidak ada arsip atau rekaman dari pidato Bung Karno tentang lahirnya Pancasila ini. Banyaknya di PPKI. Kalau BPUPKI nggak ada, jadi referensi tunggal kami ialah materi naskah atau teks pidato itu saja. Kita harus mampu menampilkan arwah pidato itu hanya berdasar dari naskah tersebut,” kata Tino.

Film ini, kata Tino, ingin memperlihatkan karisma dan semangat Soekarno yang terpancar bukan hanya ketika menjadi presiden saja, tetapi ketika sebelum menjadi Presiden RI.

“Anda bisa lihat di film ini bahwa pidato Soekarno tentang Pancasila ini murni pemikirannya sebagai cendekia, bukan sebagai negarawan, apalagi presiden. Karisma beliau luar biasa sekali,” katanya.

 

Sementara Tio mengatakan sudah lama mengidolakan Soekarno. “Saya banyak membaca buku tentang Soekarno dan saya tergugah dengan pidato yang satu ini. Sebelum menjadi presiden, banyak pemikiran beliau yang belum diketahui masyarakat luas,” kata Tio.

Teuku Rifnu Wikana, berperan sebagai Muhammad Yamin, berharap produksi ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia.

“Pidato Bung Karno selalu divisualkan dalam bentuk panggung, seperti monolog. Tapi kami ingin semangat itu hadir dalam bentuk audiovisual. Film kan banyak yang nonton, apalagi kalau belajar melalui film, pasti akan banyak masyarakat kita yang lebih tertarik nonton ketimbang baca buku,” kata Teuku.

Sepanjang film hanya satu tokoh yang wajahnya selalu ada di layar, yaitu Bung Karno. Sebelum pidato dimulai, sempat ada tampilan cuplikan beberapa tokoh lain seperti Mohammad Yamin (Teuku); Liem Koen Hian (Verdi Soelaiman); Ki Bagus Hadikoesoemo (Jantra Suryaman); dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso (Wicaksono Wisnu Legowo). Namun wajah-wajah mereka diburamkan.

“Ini memang mau membuat rekaman audio visual dari pidato yang tidak ada rekamannya itu,” kata Tino.

Pada pemutaran perdana film itu di Teater Jakarta Taman Ismail marzuki pada 2 Juni lalu, hadir putra bungsu Bung Karno dari Fatmawati, Guruh Soekarnoputra.

Guruh mengaku puas dan berharap film ini bisa menambah daftar arsip nasional tentang pembentukan bangsa.

“Tujuan dari film ini adalah untuk mengisi, menambah bagian yang hilang dari sejarah,” kata Tino. [DS]