Pancasila Relevan dengan Nilai-nilai Islami

Ilustrasi: KH Ahmad Muwafiq/mufid.web.id

Koran Sulindo – Pancasila yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa dinilai mampu mengikat ribuan bangsa-bangsa dan penganut agama lainnya menjadi satu padanan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Gagasan yang diproklamasikan oleh Bung Karno sangat penting bagi kemajukan Indonesia. Ulama yang akrab disapa Gus Muwafiq itu menekankan bahwa umat muslim pun sudah menerima Pancasila karena kaidah yang terkandung di dalamnya relevan dengan nilai-nilai Islam.

“Pancasila ini dibangun atas nama sesuatu yang sudah dibangun dalam tradisi erat Indonesia. Makanya kadang saya ditanya, apakah Pancasila itu mencerminkan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia? Sangat mencerminkan nilai-nilai dasar Indonesia,” kata KH Ahmad Muwafiq, dalam webinar kedua dalam rangka peringatan Bulan Bung Karno 2020 bertajuk Rakyat Sumber Kebudayaan Nasional”, di Jakarta, Selasa (16/6/2020).

Webinar ke-2 ini dipandu oleh presenter Tamara Geraldine Panggabean, turut dihadiri Hadir Ketua Panitia Bulan Bung Karno 2020 Djarot Saiful Hidayat, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Angota DPR RI Rano Karno dan Krisdayanti.

Gus Muwafiq menilai jika tak ada Pancasila sangat sulit menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia. Hal itu pula yang menjadi ikatan bersama sampai hari ini dengan bukti Sabang sampai Marauke tetap berada dalam NKRI.

“Sebagai orang Islam, kaum muslim sangat diwakili dengan bahasa-bahasa dalam Pancasila,” katanya.

Gus Muwafiq mencontohkan bahwa banyak bangsa yang terpecah belah karena tidak memiliki falsafah bernegara. Seperti di Arab, menurut dia, satu bangsa menjadi puluhan negara. Begitu juga Eropa, satu bangsa tetapi memilih menjadi puluhan negara.

“Indonesia puluhan bangsa bersepakat dengan satu negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan itu bukan hal yang mudah meletakkan kompromi-kompromi bangsa ini dibangun. Makanya founding father kita adalah orang-orang yang kuat,” katanya.

Gus Muwafiq menyadari budaya Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain. Baik dari pengaruh negara maupun agama, turut mempengaruhi kultur Indonesia. Gus Muwafiq kembali menekankan bahwa Indonesia memiliki Pancasila yang akhirnya mampu memfilterisasi budaya-budaya asing.

“Akan tetapi memilih Indonesia tetap menjadi Indonesia adalah satu pilihan yang benar matang yang dalam hal ini dipimpin revolusioner besar yang namanya Bung Karno. Makanya Bung Karno ini satu sosok yang sampai hari ini sulit ditemukan padanannya. Di mana pada zaman seperti itu, orang bisa diajak bersatu. Satu bahasa Indonesia, satu tanah air Indonesia. Itu bukan sesuatu yang mudah,” kata Gus Muwafiq.

Budaya Lokal

Sedangkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang juga kader PDI Perjuangan menyoroti tentang budaya berkait dengan nilai- nilai Pancasila. Anas menyatakan pihaknya sudah membuktikan ekspresi kebudayaan lokal mampu mendongkrak perekonomian masyarakat.

Selama ini banyak pihak yang menganggap kebudayaan lokal Indonesia tak bersifat komersial. Namun, praktik di Banyuwangi, yang dulunya sebagai daerah daerah kemiskinan tertinggi di Jawa Timur membuktikan sebaliknya.

“Kami melaksanakan pengembangan kebudayaan lokal yang mensejahterakan masyarakat. Dengan kebudayaan membuat rakyat lebih guyub, lebih nyaman, lebih tenang,” kata Anas.

Anas memaparkan ada dua strategi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi mengangkat budaya lokal. Pertama, melakukan penyediaan ruang ekspresi budaya bagi rakyat untuk memperkuat kebudayaan nusantara. Strategi kedua, pengembangan kebudayaan lokal untuk kesejahteraan masyarakat untuk memperkuat Banyuwangi. Karenanya, Pemkab Banyuwangi melaksanakan berbagai ajang festival seni dan budaya yang bukan hanya sekadar peristiwa pariwisata yang mendatangkan orang dan uang, namun juga alat konsolidasi kebudayaan. Sebab di sana terjadi dialog, penyiapan, materi, yang melibatkan masyarakat.

“Tahun sekarang saja ada 123 even. Hampir sebagian besar dibuat oleh rakyat sendiri. Swadaya oleh rakyat, mayoritas dibuat oleh sanggar-sanggar. Bedanya Banyuwangi dengan kabupaten lain adalah kami tidak melibatkan koreografer hebat dari Jakarta. Tak dibuat oleh EO, namun dari kampung-kampung, rata-rata kaum Marhaen,” katanya.

Ia mencontohkan tarian Gandrung Sewu yang dulunya tidak dihitung sebagai pentas seni. Bahkan, saat ini tarian tersebut menjadi salah satu atraksi yang ditunggu dengan melibatkan 1.000 penari.

Selain itu, pihaknya menjadikan alun-alun, atau tempat utama, tak hanya ditempati orang yang bisa membayar. Alun-alun justru harus menjadi bagian dari panggung budaya bersama yang boleh diakses seluruh kalangan masyarakat.

Di Alun-alun Banyuwangi, dilaksanakan even Banyuwangi Culture Everyday setiap malam, terkecuali hari besar seperti Lebaran. Anak-anak muda didorong menunjukkan ekspresi budaya lokal di tempat itu.

“Mereka sebagian kita berikan honor untuk kelompok-kelompok seninya. Sehingga seniman-senimannya menjadi berdaya karena dia menjadi kurator dari kesenian ini dan mendapat honor. Rata-rata kaum marhaen di tempat ini,” ujarnya.

Dampak pengembangan kebudayaan lokal ini, wisatawan ke Banyuwangi dulunya hanya sekitar 491 ribu orang, kini mencapai 5,3 juta orang pertahun. Jika dahulu tingkat kemiskinan warga Banyuwangi di angka 20,4 persen, kini turun menjadi 7,52 persen. Salah satu terendah di Jatim.

“Ini sejalan dengan amanat yang disampaikan Ibu Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri, agar kebudayaan terus ditumbuhkan. Kita lihat Bodjonegoro yang kaya minyak saja masih 12 persen kemiskinannya,” kata Anas. “Sehingga Presiden pernah pidato kalau mau belajar Sillicon Valey belajarlah ke Bandung, tapi kalau belajar menurunkan kemiskinan belajarlah ke Banyuwangi.”

Pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi juga meningkat. Dulunya hanya Rp14 juta pertahun, dan kini sudah mencapai Rp51,8 juta.

“Kami tidak ada kawasan industri, seperti Lamongan, Tuban, dan seterusnya. Kami punya budaya, karena DNA Indonesia adalah budaya, maka budaya kita ini yang kita jadikan strategi untuk membangun daerah,” katanya.

Satu hal lagi, Anas mengatakan Banyuwangi adalah bukti bahwa daerah boleh maju dengan budaya dan pariwisata, namun sawah-sawah rakyat tak boleh dikorbankan. Kerap terjadi ketika pariwisata meningkat dan nilai properti membumbung tinggi, tanah rakyat diperjualbelikan demi mengakomodasi pemodal besar.

“Ini mungkin menyampaikannya mudah, tapi saya sudah 10 tahun agak sakit perut menahan ini. Betapa kepentingan luar biasa, misal properti di sekitar bandara. Tapi pesan Ketua Umum, supaya keseimbangan ini dijaga,” kata Anas. [CHA]