Pakar Pidana: Revisi UU Kembalikan Marwah dan Jati Diri KPK

Koran Sulindo – Revisi  Undang-Undang KPK dinilai wajar untuk mengembalikan semangat dan cita-cita dibentuknya lembaga antirasuah tersebut. Lagipula, pembahasan revisi undang-undang tersebut sudah memenuhi unsur yuridis, filosofis dan sosiologis.

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menyebut dari aspek filosofis, revisi dianggap mengembalikan marwah dan jati diri yang dibentuknya KPK sebagai lembaga yang fokus menangani korupsi.

“Kaya mobil aja mobil dipakai lima tahun tak di servis-servis apa ini jadi logika harus benar yang nolak, masa baju butut dipakai terus. Baju aja ancur ancuran,”  kata Romli, saat dihubungi, Jakarta, Senin (9/9).

Ia memberikan contoh soal menghilangnya peran strategis KPK seperti masalah kordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung, Polri dan kementerian-kementerian terkait.

Menurut Romli, saat ini, KPK acapkali tak melakukan kordinasi dan supervisi apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakuan kordinasi selain penindakan.

“Kenapa perlu kordinasi karena KPK dianggap superbody lembaga independen. Karena kewenangan lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa kordinasi supervisi kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi jaksa tak bisa ambil dari KPK,” kata Romli.

Ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan kordinasi dengan lembaga terkait.

Apabila memang masih ditemukan permainan setelah terjalinnya kordinasi itu, baru KPK melakukan penindakan. Mengingat, tugas utama KPK ada kordinasi, supervisi baru penindakan.

“Baru penyidikan baru tuntutan ke pengadilan itu maksudnya tugas KPK kordinasi supervisi dan penyidikan jangan kebalik,” kata Romli.

Dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat bulat memberikan dukungan kepada KPK. Pasalnya, hal itu dapat dilihat dari respon masyarakat yang pro dan kontra dari pembahasan revisi UU KPK.

“Pertimbangan sosiologis kita lihat dulu KPK waktu kita bikin dukungan masyarakat luar biasa dukungan institusi pemberitaan 100 persen. Sekarang revisi ada yang pro dan ada yang kontra ada yang mau ada yang tak usah,” kata Romli.

Lalu dari aspek yuridis, Romli menuturkan dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi soal uji materi UU KPK. Dalam putusan itu disebutkan, KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi.

“Kalau itu putusan MK maka dampaknya UU KPK direvisi karena UU KPK tak disebut sebagai lembaga independen jalan tugasnya lidik sidik dan tuntutan. Dengam putusan MK itu UU KPK diperbaiki secara struktural dan organisatoris,” kata Romli.

Disisi lain, Romli menyebut, cita-cita dibentuknya wadah pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada. Mengingat, wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal bukan eksternal di luar KPK.

“Nah ini kejadiannya engga ekternal diurusin UU KPK ikut omong. Itu juga sudah  langgar aturan tuh. Disiplin sudah amburadul,” kata Romli.

Seperti diketahui, DPR telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Enam poin utama revisi UU KPK tersebut adalah, pembentukan dewan pengawas, penyadapan, menambahkan kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK.

Selain itu, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Hal ini pun menjadi pro kontra. [YMA]