Namanya Desa Punjulharjo, salah satu desa di Rembang, Jawa Tengah. Di desa inilah pada pertengahan 2008 lalu ditemukan peninggalan masa lalu yang sangat penting: artifak perahu kuno yang kondisinya relatif lengkap.
Dengan kondisi seperti itu, artifak perahu tersebut memberi pengetahuan mengenai teknologi yang digunakan, mulai dari papan-papan yang dilengkapi dengan tambuku (tonjolan pada bagian dalam dengan lubang-lubang untuk mengikat), gading-gading, ikatan antara papan dengan gading pada tambuku, bagian haluan, bagian buritan, sampai lunas. Ukurannya: panjang kurang-lebih 15 meter, dengan lebar kurang-lebih 5 meter.
Menurut Profesor P.Y. Manguin, seorang ahli arkeologi maritim dari EFEO (Prancis), sangat mungkin perahu itu adalah perahu dagang, bahkan untuk mengarungi lautan dalam jarak jauh.
Menurut peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta, rangka perahu yang ditemukan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-7. Karena, perahu itu menggunakan teknik ikatan tali ijuk dan pasak kayu. Jika dikaitkan dengan kerangka sejarah, perahu kuno yang ditemukan di Punjulharjo kira-kira sezaman dengan awal perkembangan Mataram kuno di Jawa dan awal masa Sriwijaya di Sumatera.
Terkait teknik ikatan tali ijuk dan pasak kayu, seperti diungkapkan Manguin pula, di Asia tenggara kepulauan telah berkembang sebuah tradisi pembutan perahu dengan teknologi yang sangat khas, yaitu penggunaan ikatan tali ijuk dan pasak kayu untuk membentuk badan perahu. Di Palembang ditemukan juga sisa struktur sebuah perahu berukuran besar yang memperlihatkan penggunaan tali ijuk. Begitu pula sisa struktur perahu yang ditemukan di Pahang, Malaysia.
Memang, menurut Diego de Couto dalam buku Da Asia yang terbit tahun 1645 dan dikutip oleh Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, orang Jawa sejak dulu dikenal sebagai orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi. “Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, di mana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa,” demikian dikatan Diego de Couto.
Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudra pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan pada awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. “Mereka mengaku keturunan Jawa,” ungkap Couto.
PADA AWAL tahun 1500-an, pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara dan menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah-rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Para pelaut Portugis itu memuji kehebatan kapal jung Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara.
Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Karena, di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Galangan kapal di Malaka juga dibangun oleh tukang-tukang kayu yang terampil dari Jawa.
Kapal jung Jawa atau Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis.
Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.
Tercatat, kapal jung Jawa dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton, yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Kapal jung Nusantara ini boleh dikatakan bisa disandingkan dengan kapal induk di masa sekarang.
Yang menarik, seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku. Ini sama dengan teknologi pembuatan perahu bercadik seperti yang ada di relief Candi Borobudur. Relief ini juga merupakan bukti kemahiran orang Jawa dalam bidang perkapalan. Perahu bercadik di relief tersebut kemudian dikenal sebagai “Kapal Borobudur”. Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di kiri-kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.
Penggunaan cadik memungkinkan penangkapan ikan dan bahan makanan lain di perairan yang cukup jauh dari garis pantai. Menurut banyak ahli, kemunculan cadik-cadik pada perahu terjadi di perairan muka pantai Asia Tenggara serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat Indonesia. Masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur, menyebabkan hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda, pengapung yang dipasang di kedua sisi perahu, seperti yang sekarang bias dilihat di perahu jukung di Bali atau londe di Sulawesi Utara.
Kendati begitu, ketika pelaut-pelaut itu sampai di perairan yang lebih besar, Samudra Pasifik, cadik ganda itu dianggap membahayakan. Maka, ketika itulah, menurut ahli sejarah perkapalan, hanya digunakan cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan perahu-perahu bercadik tunggal.
Jadi, berdasarkan relief kapal di Candi Borobudur jelaslah nenek moyang kita sejak dulu telah menguasai teknik pembuatan kapal. Kapal Borobudur telah memainkan peran utama dalam pelayaran, selama ratusan tahun sebelum abad ke-13. Tak salah kiranya lagu “Pelaut” mengatakan dalam liriknya mengatakan nenek moyangnya adalah orang pelaut: Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa….
Bahkan, jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia. Walau sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad ke-7 kecil sekali peran kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan saja disebutkan, ia menggunakan kapal Sriwijaya.
Sekolah Pelayaran Zaman Jepang
PADA Perang Asia Timur Raya atau dikenal sebagai Perang Pasifik, Jepang mulai terdesak oleh pasukan Sekutu pada tahun 1943, terutama setelah jatuhnya Guadalacanal, yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik. Akibatnya, kebutuhan logistik Jepang untuk perang semakin meningkat.
Jepang kemudian membuat aturan untuk bangsa Indonesia yang mereka sedang jajah: menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa, dan 40% menjadi hak pemiliknya. Penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran itu dilakukan melalui organisasi bentukan mereka, yakni Himpunan Kebaktian Rakjat Djawa (Jawa Hokokai) yang didirikan pada 1 Maret 1944 dan semacam koperasi pertanian (Nagyo Kumiai). Juga melalui instansi resmi pemerintah.
Untuk peperangan di laut melawan pasukan Sekutu, juga untuk membawa logistik dari Pulau Jawa dan sekitarnya ke berbagai pangkalan militernya, terutama ke Filipina, Jepang membuat banyak pabrik kapal kayu: di Semarang, Pekalongan, Tegal, Jakarta, dan Singapura. Jepang membutuhkan kapal pengangkut logistik, karena kapal-kapal milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Koninklijke Marine [KM], sudah dilarikan ke Australia. Anak buah kapalnya juga lari ke sana, yang di antaranya banyak juga orang Indonesia. Padahal, Jepang juga banyak membutuhkan pelaut yang akan mengawaki kapal mereka.
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) kemudian menugaskan suatu perusahaan Jepang, Jawa Unko Kaisha, untuk mendirikan sekolah pelayaran. Ada dua jenis sekolah yang didirikan Jawa Unko Kaisha, yakni Sekolah Pelayaran Tinggi untuk menghasilkan perwira serta Sekolah Pelayaran Rendah untuk anak buahnya, bintara atau kelasi.
Para pengajar sekolah pelayaran ini antara lain para pemuda yang sebelumnya mengeyam pendidikan pelayaran di masa Belanda, bahkan dilatih oleh KM, seperti Raden Eddy Martadinata (mantan Menteri/Panglima Angkatan Laut) dan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta). Juga ada beberapa orang Belanda. Mereka dijadikan guru bantu di sekolah-sekolah pelayaran, yang antara lain didirikan di Surabaya, Semarang, Tegal, Cilacap, Jakarta, Makassar, dan Singapura. Murid yang telah lulus dan punya prestasi bagus, peringkat satu sampai tiga, juga ada yang diminta menjadi guru bantu.
Karena tenaga pelayaran ini sangat dibutuhkan, Jepang memaksa murid-murid kelas tiga MULO yang punya prestasi bagus, ranking satu sampai tiga, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Pelayaran Tinggi, sementara yang punya peringkat di bawah itu masuk ke Sekolah Pelayaran Rendah.
Karena kebutuhan untuk tenaga pelayaran terdidik mendesak, Tentara Fasis Jepang lewat Jawa Unko Kaisha memadatkan rentang belajar di sekolah ini hanya sembilan bulan per kelompok. Ada tiga kelompok: A, B, dan C. Setiap kelompok terdiri dari 30 sampai 50 anak.
Materi pengajarannya meliputi pengetahuan umum, ilmu kelautan, astronomi, dan navigasi. Para pelajar di sekolah pelayaran tinggi antara lain diajarkan menggunakan sextant, alat navigasi di laut yang digunakan untuk mengukur ketinggian benda-benda langit di atas cakrawala, agar dapat menentukan posisi kapal. Sextant umumnya berbentuk segitiga, yang salah satu kakinya berupa busur. Ketika menggunakan sextant, kami juga dibekali buku yang berisi gambar konstelasi benda-benda langit.
Selama enam bulan pertama, mereka belajar di kelas. Setelah itu, tempat belajar pindah ke kapal latih yang berada di tengah laut. Para pelajar tersebut diajarkan praktik langsung di kapal selama tiga bulan. Kelak, para lulusan sekolah pelayaran tinggi dan rendah ini banyak menjadi tokoh penting dalam Angkatan Laut Republik Indonesia. [PUR]
* Tulisan ini pernah dimuat pada 27 Januari 2018