Dalam sejarah politik bangsa ini, ada dua tokoh komunis yang mendapat gelar pahlawan nasional, pertama Tan Malaka pada tahun 1963 dan kedua adalah Alimin Prawirodirdjo pada tahun 1964. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional beberapa bulan setelah meninggal dunia.

Alimin adalah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) angkatan pertama yang mendapat julukan: The Great Old Man Komunis Indonesia. Pak Tua kelahiran Surakarta 1889 ini mempunyai andil besar dalam perjuangan bangsa melawan Pemerintahan Kolonialisme Hindia Belanda.

Sejak kecil Alimin dipungut oleh Dr. Hazeu dan kemudian diberi kesempatan bersekolah di Europeeshe Lagere School (ELS) di Batavia dengan harapan dapat menjadi pegawai pemerintahan. Namun sayang, politik dan jurnalistik menjadi pilihan dan lebih menarik baginya.

Sejak remaja ia sudah aktif dan terlibat dalam beberapa organisasi pergerakan nasional. Sejarah mencatat bahwa ia pernah menjadi anggota organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Insulinde, menjadi pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan hingga akhirnya ia menjadi tokoh dan pemimpin organisasi Partai Komunis Indonesia.

Alimin menjadi tokoh yang berpengaruh di Sarekat Islam (SI) yang dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Masa itu, Organisasi Demokrat Hindia Belanda atau Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), banyak melirik SI dan menjadi incaran agar dapat meraih banyak massa dan menyebarkan paham marxisme dalam politik Indonesia. Pada 20 Mei 1920, ISDV berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia/Partij der Kommunisten in Indie).

Organisasi SI yang tak mampu mengimbangi stabilitas politik dan perbedaan paham, akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu ‘SI Putih’ yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta dan ‘SI Merah’ dipimpin oleh Samaun berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Posisi Alimin waktu itu memilih bergabung bersama Samaun di SI Merah yang berasas sosialis komunis.

Pemberontakan pertama pada Hindia Belanda

Pada tahun 1920-an terjadi banyak pemogokan yang dilakukan oleh buruh kereta api, buruh pelabuhan, dan buruh-buruh lainnya. Tetapi semua aksi pemogokan tersebut bergerak sendiri tanpa ada koordinasi satu dengan yang lain. Untuk itu, PKI berinisiatif untuk mengorganisir aksi-aksi pemogokan tersebut sekaligus memanfaatkan kemarahan massa untuk melakukan pemberontakan terhadap Hindia Belanda.

Maka pada 25 Desember 1925 dibentuklah CP (Commite Pemberontakan) yang berlangsung di Candi Prambanan. Kemudian hari, peristiwa ini dikenal sebagai Konferensi Candi Prambanan. Isinya adalah melatih dan mempersiapkan massa untuk melakukan perlawan terhadap pemerintahan Hindia-Belanda yang kala itu bertindak bengis dan keras memberangus mereka yang melakukan pemogokan.

Karena PKI pada waktu itu bagian dari Komintern (Komunis Internasional), maka mereka harus meminta izin dulu ke ketua Komintern yang berpusat di Moskow, yakni Joseph Stalin. Tapi sebelum meminta izin ke sana, PKI harus meminta nasihat dulu dari Pengurus Komintern Timur Jauh, yakni Tan Malaka yang pada waktu itu berada di Singapura atau Manila, Filipina.

Tugas permintaan izin ini pun diserahkan kepada Alimin, karena ia menguasai banyak bahasa dan mempunyai banyak relasi para aktivis komunis di negara yang hendak dilewati untuk menuju Moskow. Alimin tidak sendiri, ia ditemani oleh Musso dan Subakat. Singapura dipilih sebagai tempat pertemuan, karena wilayah tersebut tidak berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, Singapura di bawah kekuasaan Inggris.

Saat Alimin dkk. mendatangi Tan Malaka di Manila, Tan Malaka tidak setuju dengan ide pemberontakan hasil Keonferensi Candi Prambanan. Alasannya, massa belum kuat dan ekonomi Hindia-Belanda sedang stabil. Kecewa dengan jawaban Tan Malaka, Alimin langsung ke Moskow. Ia ke Soviet melalui Kanton, Tiongkok.

Setelah bertemu Stalin, ketua Komintern itu pun sependapat dengan Tan Malaka: hasil Konferensi Candi Prambanan harus dibatalkan.

Mengingat pada waktu itu transportasi dan informasi tidak secepat sekarang, maka sebelum kabar ini sampai ke CP di Indonesia, pihak PKI keburu melakukan pemberontakan pada November 1926. Pemberontakan pertama meletus di Jakarta, kemudian disusul aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu, juga terjadi pemberontakan di Sumatera Utara pada Januari 1927.

Pemberontakan PKI 1926-1927 adalah pemberontakan pertama terhadap pemerintah Kolonialisme Hindia-Belanda yang bersifat nasional (terjadi di banyak tempat).

Karena pemberontakan ini dilakukan tanpa persiapan matang, pihak pemerintah kolonial menggilasnya dengan mudah. PKI pun dinyatakan sebagai partai terlarang dan semua kadernya ditangkap untuk kemudian dibuang ke Boven Digul, Papua. Boven Digul adalah kamp konsentrasi yang dibuat khusus untuk tawanan politik. Kemudian hari, Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir juga dibuang ke sini.

Catatan: Sumpah Pemuda yang diinisasi oleh Perhimpunan Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 adalah evaluasi dari gagalnya pemberontakan PKI 1926. Waktu itu, para tokoh berpikir kalau bergerak sendiri-sendiri sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, maka perjuangan menuju Indonesia Merdeka akan sangat sulit. Untuk itu, mereka semua bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Dengan bersatu, perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka tidak akan mudah digilas sebagaimana yang dialami oleh PKI pada 1926-1927.

Alimin dibuang ke luar negeri

Alimin yang membawa pesan dari ketua Komintern dalam perjalanan ke Indonesia ketika sampai di Singapura ia ditangkap pemerintah Inggris dan dikembalikan ke Hindia Belanda. Dia diberi pilihan: dibuang ke Boven Digul atau pergi ke luar negeri. Alimin dan Musso memilih untuk ke luar negeri. Ia pun jadi gelandangan politik yang ikut serta dalam kampanye Partai Komunis Tiongkok (Koumintang) dan menjadi mahasiswa di Universitas Lenin, Soviet yang pada waktu itu konsentrasinya merekrut anak-anak muda Hindia Belanda yang kuliah di luar negeri.

Di Universitas Lenin, Alimin satu kelas dengan Ho Chi Minh atau Paman Ho, bapak bangsanya Vietnam dan Zhou Enlai, Perdana Menteri Tiongkok era Mao Zedong. Bahkan saat Jepang melakukan agresi militer ke China, Alimin pun ikut bergabung bersama Tentara Merah di daerah basis perlawanan di Yenan.
Alimin baru kembali ke Indonesia pada 1946 dan ia sempat duduk dalam Dewan Konstituante dalam menetapkan UUD sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada 1950 ia berusaha untuk mendirikan kembali PKI di Jogja. Waktu itu ada dua kubu yang mendirikan PKI usai peristiwa Madiun. Pertama Alimin di Jogja, kedua Aidit di Jakarta. Karena PKI D.N. Aidit lebih populer, Alimin harus ikut ke gerbong Aidit meskipun di sana ia tidak diberikan wewenang penting dalam partai. Alimin diberi posisi di Sekretariat Propaganda, akan tetapi perjuangan dan kiprahnya terhadap PKI dan bangsa Indonesia saat muda amatlah besar.

Perjalanan Alimin berakhir pada 24 Juni 1964, ia beberapa saat sakit dan meninggal dunia di RS Ciptomangunkusumo, Jakarta. Sebelumnya Soekarno, Moh Hatta dan beberapa tokoh nasionalis sempat menjenguknya sebagai bentuk penghormatan kepada generasi yang merintis jalan kemerdekaan. Alimin dianugerahi sebagai gelar pahlawan kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 163 Tahun 1964. Alimin Prawirodirdjo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. [KS]