pembangunan jalur kereta api Jatinangor-Tanjungsari
pembangunan jalur kereta api Jatinangor-Tanjungsari

Jika kita berkunjung ke daerah Jatinangor, Sumedang – Jawa Barat, kita tentu bisa melihat ada sesuatu yang kontras disana. Ditengah-tengah kawasan pendidikan dan kampus besar ITB atau Unpad dengan bangunan modern nan megah, terselip infrastruktur berupa jembatan dengan arsitektur khas eropa.

Jembatan Cincin, begitulah nama struktur jembatan itu yang melingkar seperti cincin. Jembatan tersebut adalah jalur kereta api yang jadi bagian jalur kereta tua peninggalan kolonial belanda.

Konon jembatan kereta itu terdiri dari 11 pilar dan 10 buah lengkungan dahulu menjadi jalur transportasi Bandung-Sumedang.

Kolonial Belanda memang sudah menguasai teknologi perkeretaapian lebih awal sekitar abad ke-19 dan memperkenalkannya ke Indonesia sebagai pengangkut penumpang atau barang.

Pemerintah kolonial Belanda mulai membangun jalur kereta Bandung – Sumedang pada tahun 1921. Mereka membangun jalur kereta api yang menghubungkan Kecamatan Rancaekek di Kabupaten Bandung dengan Kecamatan Tanjungsari di Kabupaten Sumedang.

Dahulu, jalur kereta api ini dipakai untuk mengangkut berbagai hasil bumi dari Sumedang ke Bandung, atau sebaliknya. Meski puluhan tahun tak berfungsi dan kondisi sudah jauh berubah, sisa-sisa keberadaan jalur kereta itu masih terlihat jelas termasuk jembatan cincin di Jatinangor.

Masyarakat sekitar Jatinangor atau Tanjungsari sumedang sering menyebutnya daerah SS. Kemudian yang dimaksud dengan SS adalah akronim dari stat spoor, istilah dalam bahasa Belanda, yang berarti jalan kereta api.

Dulu, kawasan SS di Tanjungsari adalah bagian dari Staatspoorwegen (SS), atau lengkapnya, Staatspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indie (SS en T).

Terbengkalai

Dahulu, wilayah Tanjungsari dan Jatinangor merupakan perkebunan, jalur kereta api SS tersebut digunakan oleh kereta api pembawa hasil bumi. Jalur kereta apinya pun tidak sampai wilayah Sumedang Kota, hanya sampai wilayah SS tersebut.

Pembangunan dan penggunaan jalur kereta api tua tersebut dilakukan pada zaman Hindia Belanda atau masa penjajahan Belanda. Namun, jalur kereta api tersebut tak lagi digunakan saat Indonesia direbut oleh Jepang atau masa penjajahan Jepang.

Dalam beberapa catatan sejarah, pembangunan jalur kereta api tersebut dilakukan pada 1916 lewat program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 kilometer.

Namun pembangunan rel kereta api tersebut hanya sampai Tanjungsari dan tidak dilanjutkan ke Citali karena kendala biaya dan sulitnya medan berupa bukit dan lembah. Jalur kereta api tersebut mulai dioperasikan pada 13 Februari 1921.

Dalam buku Indische Spoorweg Politiek atau Politik Perkeretaapian Hindia (S.A Reitsma,1925), disebutkan bahwa jalur Rancaekek,Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang merupakan jalur yang dibangun untuk memperkuat pertahanan Belanda di pulau Jawa.

Pada tahun 1917/1918, Jalur Rancaekek hingga Jatinangor sudah dioperasikan. Sementara untuk jalur Jatinangor hingga Citali hampir selesai pengerjaannya.

Menurut buku itu, dalam membangun jalur Citali-Sumedang, sedikitnya diperlukan anggaran sebesar 4,5 juta gulden. Anggaran itu, belum termasuk anggaran persiapannya sebesar 500 ribu gulden.

Padahal, jika jalur Sumedang selesai dibangun maka akan dilanjutkan untuk pembukaan jalur Sumedang – Kadipaten, Majalengka. Lalu, jalur penghubung antara Bandung dan Cirebon. [PAR]