Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat. Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasi di bumi Indonesia.

Tapi, dalam perjalanannya, banyak cara dilakukan oleh kaum liberal untuk mengamandemen atau mengubah Pasal 33 UUD 1945. Meski tidak pernah berhasil mengubah, kaum liberal mampu menambahkan ayat pada pasal 33. Maka kemudian muncullah ayat 4 dan ayat 5, yang mengubah secara fundamental semangat pasal 33 tersebut.

Dalam ayat 4, misalnya, disebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. “Yang namanya efisiensi itu adalah praktik kapitalis,” kata Bonnie.

Dalam ayat 5-nya disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. “Nah, undang-undang yang sekarang banyak dibuat mengacunya pada ayat-ayat 4 dan 5, yang merupakan produk liberal, sementara ayat 1, 2, dan 3 dalam pasal 33 hanya dianggap sebagai pajangan,” ungkap Bonnie lagi. Jadi, lanjutnya, hampir semua undang-undang yang lahir setelah reformasi sudah liberal semua. “Ini bisa terjadi karena memang ada yang men-setting, ada yang mengarahkan Indonesia masuk ke rezim neo-liberal,” ujarnya.

Sebagai contoh undang-undang yang bernuansa liberal itu, Bonnie menunjuk Undang-Undang Penanaman Modal. Juga trend swastanisasi sektor-sektor publik, dalam bentuk kemitraan dengan swasta atau public private partnership, termasuk dalam bidang pertanian. “Masuknya investor dar Cina untuk rice estate di Karawang akan mematikan petani kita. Ini sudah kebablasan. Trisakti dan sosialisme Indonesia hanya lips service,” katanya.