Bagaimana kabar Nawacita? Pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran banyak orang hari-hari ini. Sudah hampir dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjalan, tapi Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintah semakin sayup-sayup saja kedengarannya.

Dalam praktik kenegaraan, seperti diakui pemerintah sendiri (lewat Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Menteri Perencana Pembangunan/Kepala Bappenas Sofyan Djalil), Nawacita—yang pernah dikampanyekan Jokowi sebagai program yang diinspirasi dan dilandasi pemikiran Bung Karno tentang Trisakti dan sosialisme Indonesia—belum  sepenuhnya menjadi bagian Rencana Kerja Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) alias tidak sinkron.

Padahal, menurut Revrisond Baswir, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Nawacita awalnya diharapkan sebagai penyambung gagasan Bung Karno dengan realitas pembangunan sekarang. “Tapi kemudian ada lagi kelirumologi ketika Nawacita disusun secara resmi menjadi dokumen negara melalui RPJM. Karena, ternyata, RPJM itu sudah disusun sebelum Jokowi terpilih menjadi presiden. Jadi, Nawacita hanya ditempelkan di bagian depan saja, sedangkan di belakangnya sudah disiapkan rencana sebelum Jokowi terpilih,” kata Revrisond.

Artinya, yang terjadi bukan sekadar masalah sinkronisasi, tapi salah kaprah dan inkonsistensi. Soal inkonsistensi ini, misalnya, ditunjukkan Bonnie Setiawan, peneliti senior Institute for Global Justice (IGJ). “Jika pemerintah Jokowi-JK mau konsisten dan konsekuen menerapkan Trisakti dan sosialisme Indonesia, harus berani meninjau semua peraturan yang bersifat liberal. Semua yang tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 harus diganti dengan yang sesuai, yang merupakan turunan dari pasal tersebut,” katanya.

Lebih jauh Bonnie menjelaskan, sosialisme Indonesia yang digagas Bung Karno senapas dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 33. Dalam ayat 1 disebutkan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat 2 berbunyi: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3 berbunyi: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam salah satu bagian tulisanya di buku Sarinah, Bung Karno sendiri menyatakan bahwa konstitusi kita, UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-undang dasar kita adalah undang-undang dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno.

UUD 1945 itu, menurut Bung Karno, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistis), tapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke sosialisme. Kemudian, tahap yang kedua adalah revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalistis dan l’exploitation de l’homme par I’homme.