Koran Sulindo – Ide Kapitalisme Cetak (print capitalism) menempati posisi yang sentral dalam bangunan ide nasionalisme Benedict Anderson dalam karyanya ‘Imagined Communities’. Dalam buku yang pertama terbit pada 1983 dan berpengaruh bear pada akademisi angkatan 1990-an itu, Ben memberikan tesis bahwa proses kesadaran nasional muncul melalui bantuan kapitalisme percetakan.
Dalam pikiran Anderson, nasionalisme adalah solidaritas gaya baru yang berbeda dari zaman pra modern yang berbasis tatap muka, melainkan solidaritas yang sifatnya abstrak karena berlandaskan pada kesamaan kesadaran akan sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined communities).
“Dalam konteks menciptakan kesadaran istilah print capitalism seperti koran dan novel menjadi sentral sebagai medium untuk mentransmisikan gagasan imagined community tersebut pada khalayak luas,” kata Nuruddin Al Akbar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), saat berbicara dalam konferensi internasional ‘Reviving Benedict Anderson – Imagined (Cosmopolitan) Communities’ yang diselenggarakan Universitas Sanata Dharma Yogya, dari 13-14 Januari 2017.
Hanya saja, apa yang dilontarkan Anderson digugat setelah dikontraskan dengan perkembangan yang terjadi dalam teknologi komunikasi dan media. Oleh Robbin, menurut Nuruddin, print capitalism telah mengalami revolusi menjadi electronic atau digital capitalism. Menurut Robbin, pada kenyataannya revolusi digital tidaklah berkonsekuensi terjadi revolusi serupa dalam konteks solidaritas ala imagined communities. Padahal jika konsisten merujuk pada gagasan Anderson seharusnya interaksi yang semakin massif dan luas dari berbagai kalangan akibat revolusi komunikasi akan berbuah pada penguatan ide kosmopolitanisme.
Kenyataan ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang logis, yakni mengapa terjadi anomali.
Menariknya, lanjut Nuruddin, soal anomali itu sebenarnya sudah disinggung oleh Anderson. Pada 1983, Ben pernah mengutarakan pernyataan retoris, “Who would willing to die for the European Community?”.
“Sebuah pernyataan yang sangat relevan untuk direnungkan bahkan hingga hari ini, di mana salah satu bentuk nyatanya terjadi dalam kasus Brexit, yang rakyat Inggris ternyata memilih nasionalisme di banding kosmopolitanisme,,” ujar Nuruddin.
Kenyataan ini, menurut Nuruddin, tentunya memaksa kita untuk kembali mempertanyakan relevansi teori print capitalism Anderson untuk menganalisa solidaritas berbasis ide atau gagasan abstrak dalam level yang lebih luas dari sekedar nasionalisme.
Menurut Nuruddin, jawaban terhadap gugatan tersebut, termasuk kebingungan Anderson sebenarnya dapat ditemukan pada konsep kosmopolitanisme dari bawah. Kosmopolitanisme yang dikemukakan Sousa Santos itu secara spesifik bertujuan untuk melawan ketidakadilan global.
“Dalam konteks kosmopolitanisme dari bawah inilah ide print capitalism mendapat kembali relevansinya, yakni sebagai komponen penting membentuk solidaritas yang sifatnya lebih global,” tutur Nuruddin.
Kemajuan teknologi informasi ini juga disoroti oleh Lerry Alfayanti, dosen di Universitas Sebelas Maret Solo. Menurut Lerry, kemajuan ilmu pengetahuan tersebut mempunyai dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah kemudahan untuk mengakses informasi, sementara dampak negatifnya adalah lunturnya rasa nasionalisme yang terjadi pada generasi muda abad 20-an ini.
“Saya melihat sendiri banyak mahasiswa saya yang tak hapal Pancasila,” ungkapnya.
Karenanya, menurut Lerry, perlu dipikirkan bagaimana meningkatkan kembali eksistensi pemikiran Ben Anderson tentang rasa nasionalisme pada generasi muda.
Sementara itu, Andreo Fernandez Rajagukguk mengkaji kehadiran kapitalisme cetak di tengah-tengah masyarakat Batak tradisional, yakni ‘Surat Kuliling Immanuel’. Media cetak yang dibuat oleh missionaris J Meer Waldt dari badan zending Jerman Renisch Missiongesselchaft (1890) isinya menyangkut isu-isu pekabaran Injil, renungan Alkitab, ilmu pengetahuan, budaya dan lain sebagainya. Media ini disebar di kalangan masyarakat Batak, dan menjadi ajang komunikasi dalam masalah pekabaran Injil.
Mengacu pada pemikiran Anderson, kata Andreo, media cetak memberikan pengaruh dalam terciptanya reproduksi kekuasaan yang dilakukan missionaris, yang dalam hal ini mewakili kolonialisme untuk menciptakan komunitas baru mengganti tradisional.
“Ketika pengaruh Eropa berada di dalam masalah ini justru menghadirkan rasionalisasi atas kebudayaan barat, penciptaan musuh dalam menghilangkan sistem kerajaan, komunitas terbayang yang tidak melekat pada unsur keeksklusifan atau chauvinisme serta bahasa baru sebagai suatu pertanda atas komunitas yang baru,” ujarnya.
Pelaksanaan konferensi internasional ‘Reviving Benedict Anderson – Imagined (Cosmopolitan) Communities’ menghadirkan para ilmuwan muda dari berbagai universitas. Mereka menyoroti ide atau gagasan Ben Anderson, dan dibagi dalam beberapa sesi, di antaranya membicarakan Cosmopolitan from Below, Contemporary (in) Tolerance Indonesian Communities dan masih banyak lagi.
“Acara ini kami selenggarakan selain untuk mengenang Ben Anderson juga untuk mengajak para ilmuwan muda tak terpaku pada disiplin ilmunya sendiri, namun segala sesuatunya bisa dilihat atau ditelaah dengan perspektif atau disiplin ilmu lain. Jadi jangan seperti berada dalam menara gading,” kata Ketua Panitia Windarto.
Ben Anderson meninggal dunia di Malang, Jawa Timur, pada 12 Desember 2015. [YUK]