Ilustrasi

Koran Sulindo – Saat sidang perdana perkara KTP elektronik (KTP-el) pada 9 Maret lalu, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan untuk 2 orang sekaligus: Irman dan Sugiharto.

Peristiwa ini sebenarnya tidak istimewa. Lazimnya memang begitu. Pada sidang perdana jaksa membacakan dakwaannya. Isi dakwaan itu yang ditunggu-tunggu banyak pihak, karena sebelumnya pimpinan KPK mengatakan ada “nama-nama besar” di sana.

Setelah sidang pertama itu, mungkin yang dimaksud KPK dengan nama-nama besar itu adalah para politisi khususnya (mantan) anggota DPR RI dan mantan Menteri. Tapi apakah ada pengaruh dan tindak lanjutnya? Di sini nyali KPK akan diuji.

Menyebut “nama-nama besar” atau kita sederhanakan saja nama para politisi anggota DPR, sebenarnya juga bukan barang baru dalam persidangan korupsi selama ini. Jadi menyebut “nama-nama besar”  bukan sesuatu yang unik, aneh, dan hanya terjadi pada perkara KTP-el saja.

Beberapa perkara korupsi sebelumnya juga menyebut dan menyeret beberapa nama para politisi anggota DPR. Dan terbukti hingga akhir sidang – yaitu vonis kepada terdakwa – KPK tidak maju dan bergerak aktif untuk kembali menetapkan tersangka baru. Tersangka baru dari kalangan anggota DPR yang disebut dalam persidangan itu aman-aman saja.

Mari kita tengok sejenak ke belakang, mengingat kembali beberapa perkara korupsi sebelumnya. “Nama-nama besar” seperti Aziz Syamsuddin, Bambang Soesatyo, Desmon Mahesa, dan Herman Hery disebut dalam persidangan proyek simulator SIM dengan terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo. AKBP Thedy Rusmawan sebagai saksi yang dihadirkan mengatakan bahwa dialah yang mengantar uang Rp4 miliar (dalam kardus) dari Djoko Susilo diserahkan kepada Bambang Soesatyo dan kawan-kawan.

Para anggota DPR ini sebelumnya juga sudah diminta keterangan oleh KPK. Mungkin, kesaksian Thedy Rusmawan tidak terlampau kuat – karena hanya ada seorang saksi. Tapi keterangan Thedy Rusmawan itu diperkuat oleh M. Nazarudin yang hadir dalam penyerahan uang itu.

Akhirnya? Sampai Djoko Susilo divonis bersalah, “nama-nama besar” di atas tidak ditetapkan sebagai tersangka baru.

Kasus lain, nama Setya Novanto sebagai “perancang” proyek KTP elektronik. Hal ini juga bukan sesuatu yang baru. Dalam sidang perkara PON Riau, kesaksian Lukman Abas (Kadispora Riau), menyatakan keterlibatan Setya Novanto (saat itu sebagai Ketua Fraksi Golkar) dan Kahar Muzakir untuk “merekayasa” proyek PON Riau.

Lukman Abas bersaksi dalam sidang dengan terdakwa Rusli Zainal (Gubernur Riau) mengaku menyerahkan uang dari Rusli Zainal kepada Setya Novanto dan Kahar Muzakir. Hingga sidang di Tipikor usai, KPK tidak menetapkan Setya Novanto dan Kahar Muzakir (saat ini Ketua Dewan Kehormatan DPR) sebagai tersangka baru.

Nama Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) juga disebut di beberapa sidang kasus korupsi. Misalnya, hanya beberapa, dalam sidang kasus korupsi dengan terdakwa Anas Urbaningrum, M. Nazarudin, Angelina Sondakh, dan Sutan Bhatoegana. Bahkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Sutan Bhatoegana nama Ibas disebut 19 kali .

Anehnya nama Ibas hilang dalam BAP saat mulai persidangan. Sampai akhirnya para koleganya di Partai Demokrat itu divonis bersalah, KPK tetap tidak menetapkan Ibas sebagai tersangka baru. Sampai hari ini.

Mau lebih banyak lagi? Penyebutan “nama-nama besar” baik dalam surat dakwaan Jaksa KPK, BAP, keterangan saksi sebagai bagian dari fakta persidangan, ini beberapa di antaranya: (1)  Melchias Marcus, Mirwan Amir, Mahyudin dalam proyek Wisma Atlet; (2) Priyo Budi Santoso dalam proyek pengadaan Alquran; (3) Charles Jonas, Max Sopacua dalam proyek pengadaan Alkes di Kemenkes; (4) Jhonny Alen dalam proyek Bandara Indonesia Timur; (5) Ignatius Mulyono dalam proyek Hambalang, dan (6) Achmad Farial dalam proyek solar home system.

Kembali ke kasus KTP-el, dari sederet nama anggota DPR yang disebut dalam surat dakwaan perkara, beberapa diantaranya “langganan” disebut-sebut dalam sidang kasus perkara korupsi sebelumnya. Diantaranya adalah (1) Melchias Marcus Mekeng disebut sebagai “Ketua Besar” dalam BBM antara Mindo Rosalina Manulang dan Angelina Sondakh dalam kasus wisma atlet; (2) Mirwan Amir. Mindo Rosalina dalam persidangan menyebutkan peran yang bersangkutan sebagai “Ketua Besar” yang menerima uang dari proyek wisma atlet; dan (3) Ignatius Mulyono disebut sebagai pihak yang mengurus  sertifikat Hambalang atas permintaan Anas Urbaningrum.

Lalu apa maksud KPK, mengumumkan “nama-nama besar” dalam sidang perdana kasus KTP-el? Nampaknya hanya untuk sensasi, bahan rumor, dan pergunjingan tanpa tindak lanjut.  Bercermin dari sidang-sidang perkara korupsi sebelumnya, KPK tidak pernah punya nyali menetapkan tersangka baru. Upaya pemberantasan korupsi yang selalu diagungkan faktanya diwujudkan setengah hati dan hanya sensasi. [Hendra Budiman]