Koran Sulindo – Bank Indonesia (BI) meyatakan mulai 31 Oktober pembayaran di jalan tol seluruh Indonesia dilakukan sepenuhnya secara nontunai menggunakan uang elektronik. Cara tersebut diharapkan mempercepat proses pembayaran sehingga pengguna dapat melakukan perjalanan dengan lebih nyaman.
“Untuk mempersiapkan hal tersebut, BI sebagai otoritas sistem pembayaran terus berkoordinasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) sebagai otoritas jalan tol serta Kementerian Perhubungan sebagai otoritas transportasi, untuk mempersiapkan implementasi elektronifikasi pembayaran jalan tol,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, di Jakarta, Senin (25/9), seperti dikutip infopublik.id.
Pemerintah segera menerbitkan regulasi yang mewajibkan transaksi non tunai di jalan tol.
Sistem pembayaran elektronik di jalan tol ini juga akan menerapkan interkoneksi dan interoperabilitas melalui Secure Access Module (SAM) Multi Applet, yaitu penerapan infrastruktur yang mendukung penerapan multi bank penerbit untuk menyediakan layanan uang elektronik secara interkoneksi.
“Selain itu, BI terus bekerja erat bersama perbankan dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dalam melakukan kampanye dan edukasi bagi masyarakat,” katanya.
Menurut Agusman, BI dan Kementerian PUPR terus berupaya untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan sistem pembayaran elektronik jalan tol di seluruh Indonesia.
Selain implementasi 100% Non Tunai mulai 31 Oktober nanti, target berikutnya adalah mewujudkan transaksi non tunai di jalan tol tanpa perlu menghentikan kendaraan (multi lane free flow). Targetnya hal ini terwujud pada akhir 2018.
“Dengan menggunakan uang elektonik, pembayaran tol menjadi lebih cepat, praktis dan nyaman, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan kelancaran di jalan tol,” kata Agusman.
Tidak Adil
Sementara itu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan kebijakan BI tersebut tidak adil bagi konsumen.
“Kebijakan BI ini tidak sejalan dengan tujuan nasional GNNT dan jelas tidak adil bagi konsumen. Substansi tersebut cenderung mengedepankan kepentingan dunia usaha perbankan,” kata Kepala BPKN Ardiansyah, di Jakarta, melalui rilis media yang diakses lewat bpkn.go.id/posts/list/id/3#.
GNNT adalah gerakan nasional nontunai.
Menurut Ardiansyah, pemerintah seharusnya memberikan kemudahan dan pilihan kepada konsumen. Program Pembayaran Non Tunai harus dijalankan dengan tidak mengurangi nilai dana yang dimiliki konsumen dibandingkan dengan transaksi tunai.
“Program transaksi elektronik sendiri sudah memberikan banyak keuntungan, baik bagi pemerintah, perbankan, dan penyedia barang dan jasa,” kata Ardiansyah.
Terkait dengan ini BPKN juga mengharapkan dalam soal pengisian kartu uang elektronik (e-money) konsumen tetap memiliki alternatif akses pada top-up tidak berbayar. Dalam hal ini BI mengeluarkan peraturan biaya isi saldo itu paling banyak Rp 1.500 per top-up.
Menurut BPKN, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, konsumen harus dijamin tetap memiliki akses pembayaran tunai dalam setiap transaksi di wilayah Indonesia.
BPKN berharap, BI pro aktif mengantisipasi perkembangan dinamika transaksi eletronik yang terus berkembang pesat, bagi keadilan dan perlindungan konsumen.
“Regulasi yang bersifat tidak adil bagi konsumen ini pragmatis, berorientasi jangka pendek, atau hanya berpihak pada dunia usaha pasti cepat tertinggal. Jika ini terjadi, maka bukan hanya jasa perbankan nasional ditinggalkan oleh konsumen, namun lebih dari itu kedaulatan jasa keuangan nasional terancam,” kata Ardiansyah. [DAS]