Koran Sulindo – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengaku mengajukan Peninjauan Kembali terkait vonis terhadap dirinya dalam kasus Hamabalang.
Sidang pendahuluan PK itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (24/5). Ia menyebut putusan yang selama ini dijatuhkan kepadanya jauh dari rasa keadilan.
“Ya, intinya perjuangan keadilan PK itu disediakan untuk pencarian keadilan yang tercecer. Saya merasa, berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti yang terungkap di persidangan,” kata Anas di PN Jakarta Pusat.
Anas menyebut seluruh persidangan yang dijalaninya sejak tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung tidak berdasarkan fakta dan bukti. Ia menganggap dirinya diperlakukan tidak adil.
Ia mengaku optimistis pengajuan PK bakal dikabulkan Hakim Agung karena pengajuannya dilandasi adanya bukti baru. Ia juga menyebut pengajuan itu dilandasi argumentasi yang kokoh untuk menjadi dasar pertimbangan majelis hakim.
“Buat saya, ini adalah perjuangan keadilan. Mudah-mudahan kesempatan yang baik ini betul-betul saya diadili, sehingga putusannya nanti putusan yang adil,” kata Anas.
Pada tingkat pertama, Anas dijatuhi vonis selama 8 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
Di tingkat banding hukuman Anas dikurangi menjadi tujuh tahun penjara.
Di tingkat kasasi, hukuman Anas justru diperberat menjadi 14 tahun. Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.
Anas juga wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Jika uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, maka seluruh kekayaannya akan dilelang. Jika masih saja uangnya belum cukup, Anas terancam penjara selama empat tahun.
Majelis hakim yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme juga mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum dari KPK yang menuntu agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih pada menduduki jabatan publik.
Majelis hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam secara pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU jo Pasal 64 KUHP.
Anas juga terbukti bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru.
MA berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. [CHA/TGU]