Koran Sulindo – Setiap September kita selalu diingatkan tentang sejarah kelam negeri ini di masa lalu. Sejarah yang disebut D.N. Aidit dalam Aidit Menggugat Peristiwa Madiun peristiwa yang menyedihkan. Tidak saja mengingatkan kita pada tokoh-tokoh bangsa dan rakyat yang tewas, juga mengingatkan kita pada perpecahan yang sangat besar dalam kubu persatuan nasional.
Membicarakan Peristiwa Madiun, kata Aidit, akan membuat banyak orang merasa tidak enak karena ingat pada sikapnya yang lemah ketika peristiwa itu terjadi atau ingat akan dosanya karena tanpa berpikir panjang sudah membunuh teman seperjuangannya dan membunuh pemimpin-pemimpinnya serta saudara-saudara sebangsanya yang belum tentu bersalah.
Seperti hari ini, konsep front persatuan nasional menjadi penting untuk kembali diperbincangkan. Dan rasanya tidak akan lengkap jika membahas konsep tersebut tanpa menyebutkan nama Bung Karno, Muso dan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Untuk itu, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud sebagai front persatuan nasional, apa peran FDR dan Muso dalam usaha membentuk front persatuan nasional serta apa tujuannya.
Konsep front persatuan nasional dari sudut pandang FDR pada 1948 terutama setelah kepulangan Muso dari luar negeri menilai, revolusi Indonesia adalah revolusi nasional demokratis tipe baru yaitu suatu revolusi nasional di negeri jajahan yang sudah menjadi bagian dari revolusi proletar dunia. Dan perspektifnya tidak boleh tidak adalah sosialisme. Apalagi di Indonesia masih berlangsung agresi bersenjata oleh pihak Belanda yang dibantu imperialis Amerika Serikat (AS), maka tugas pokok dari revolusi Indonesia adalah mengusir kaum agresor dari bumi Indonesia.
Inilah gambaran pemikiran Muso yang dituliskan dalam Sejarah Gerakan Rakyat untuk Kebebasan. Apalagi ia digambarkan sebagai seorang pemimpin yang berpengalaman dan berpandangan jauh. Pikirannya itu lantas secara terang dimuat dalam konsep yang disebut sebagai “Jalan Baru”. Apa yang ia bicarakan dan pidatokan selama berada di Yogyakarta dapat ditangkap dengan jelas. Karena itu, dalam situasi demikian yang harus ada, menurut Muso, suatu front nasional yang kuat di bawah pimpinan kelas buruh, karena kelas ini dinilai paling konsisten melakukan perjuangan anti-imperialisme dan juga anti-feodal.
Itu sebabnya, sasaran utama revolusi Indonesia adalah kaum kolonialis Belanda yang disokong imperialis AS. Ujung tombak harus diarahkan ke sasaran itu bukan ke arah yang lain. Karena alasan ini, maka tuduhan terhadap Muso dan FDR memberontak dalam Peristiwa Madiun menjadi tidak benar. Soal ini, Aidit menimpali, FDR atau Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mungkin melakukan pemberontakan. Selain karena bertentangan dengan teori kaum komunis, juga tidak sesuai dengan anjuran Muso sekembalinya dari luar negeri.
Masih berdasarkan pengakuannya, Aidit ingat bagaimana Muso mengusulkan agar pimpinan pusat PKI mengirimkan surat kepada pimpinan pusat Masyumi dan PNI untuk menggalang front persatuan nasional. Tentu saja usulan itu disambut baik oleh pimpinan pusat PKI dan segera mengirimkan surat kepada pimpinan pusat Masyumi dan PNI. Namun, amat disayangkan ajakan untuk membentuk front persatuan nasional itu ditolak Kasman Singodimedjo yang merupakan pimpinan Masyumi. Jawaban serupa juga disampaikan pimpinan PNI.
Muso yakin untuk menuntaskan atau memperbaiki kesalahan revolusi Agustus 1945, maka diperlukan sebuah front nasional. Terlebih untuk menuntaskan revolusi, kelompok FDR atau PKI tak akan mampu sendirian sehingga perlu dijalin kerja sama dengan kekuatan progresif yang anti-imperialisme. Itu sebabnya, upaya pembentukan front nasional menjadi penting dan perlunya meyakinkan partai-partai lain tentang arti penting front nasional terutama untuk Masyumi dan PNI.
Revolusi Kita
Lantas mengapa dibutuhkan sebuah front persatuan nasional? Dalam Sejarah Gerakan Rakyat untuk Kebebasan diceritakan secara singkat, situasi politik Indonesia pada akhir 1948 terdapat dua sikap politik yang berbeda sama sekali. PKI di bawah pimpinan Muso selangkah demi selangkah, dengan teliti dan hati-hati mempersiapkan Kongres ke-5 PKI pada Oktober 1948. Keberhasilan kongres ini dinilai penting karena akan mengembalikan PKI sebagai avant-garde revolusi nasional demokratis Indonesia.
Kongres tersebut akan menempatkan revolusi Agustus 1945 ke rel yang sewajarnya dan maju dengan langkah-langkah tegap ke arah kekuasaan demokrasi rakyat sebagai peralihan ke sosialisme. Karena itu, yang paling penting bagi PKI pada waktu itu adalah menyelamakan Kongres Nasional ke-5. Di samping itu, kongres tersebut menjadi penting karena akan menyatukan 3 partai kelas buruh yaitu PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis serta semua yang tergabung dalam FDR. Dengan demikian, kekuatan gerakan buruh bisa berkembang dan maju.
Sikap politik yang lain pada waktu itu, terutama pemerintahan di bawah pimpinan Hatta yang dinilai kontra-revolusioner, bekerja sama dan dibantu sepenuhnya oleh kaum imperialis Belanda serta AS. Bagi pihak Hatta, kongres PKI merupakan bahaya konkret karena suksesnya Kongres Nasional PKI ke-5 berarti tanda bahaya bagi mereka. Itu sebabnya, hal utama bagi mereka: gagalkan kongres PKI!
Selain ingin mempersatukan kekuatan PKI yang tercerai-berai, Muso juga tidak lupa mengadakan pertemuan dengan pihak luar. Ia karena itu berangkat ke Yogyakarta pada 7 September 1948. Setelah 2 hari berada di Yogyakarta, Muso bertemu dengan Soekarno, sosok yang telah lama ia kenal. Kedua orang ini acap bertemu di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Tetapi, ketika bertemu lagi pada 1948, orang yang ditemui Muso itu telah menjadi presiden.
Pertemuan antara Muso dan Soekarno berlangsung dalam suasana yang ramah-tamah. Ketika hendak berpisah, Soekarno minta agar Muso suka membantu negara dan melancarkan revolusi. Mendengar permintaan Soekarno itu, Muso menjawab “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen.” Karena itu pula Muso menganjurkan agar pimpinan pusat PKI menyampaikan undangan kepada pimpinan pusat Masyumi dan pimpinan PNI untuk mengadakan rapat bersama dengan maksud menggalang persatuan nasional. Kendati mendapat penolakan, itu membuktikan seriusnya FDR atau PKI dalam usahanya mempersatukan semua kekuatan politik di wilayah Republik.
Mengenai pentingnya mengadakan front persatuan nasional ini juga sempat dinyatakan M.H. Lukman dalam Tentang Front Persatuan Nasional. Di situ, ia menulis, betapa penting mempropagandakan front persatuan nasional karena merupakan syarat yang menentukan bagi kemenangan rakyat dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional yang penuh. Semakin populer semboyan tersebut di kalangan rakyat, maka itu akan semakin baik. Itu sebabnya, walau sekadar mempropagandakan dan menyerukan front persatuan nasional di kalangan rakyat sudah merupakan kebaikan.
Kendati semboyan front persatuan nasional semakin populer, menurut Lukman, pada praktiknya acap mendapat hambatan. Justru kesalahan dan kesulitan untuk mewujudkan front persatuan nasional itu selalu berasal dari internal partai. Bukan karena semboyan itu tidak dikerjakan secara sungguh-sungguh melainkan karena kurang mengertinya kader PKI tentang teori front persatuan nasional sebagai garis politik atau taktik partai.
Dikatakan Lukman, untuk meminimalisir hambatan dan kesalahan dalam melaksanakan garis politik front persatuan nasional, maka perlu memelajari teori dari politik front persatuan nasional. Akan tetapi, setelah mengerti tentang teori front persatuan nasional tidak berarti otomatis bisa melaksanakan politik front persatuan nasional itu. Tapi, setidak-tidaknya dengan mengerti teorinya, maka akan lebih cakap dan tepat ketika dipraktikkan. Dengan kata lain, prinsipnya adalah satunya teori dengan praktik.
Dengan mengerti lebih mendalam teori politik front persatuan nasional, maka diharapkan bahwa di kalangan rakyat akan timbul dorongan lebih besar untuk lebih sungguh-sungguh dan lebih tekun lagi dalam menjalankan politik front persatuan nasional. Dari pengertian teori ini, rakyat akan lebih sadar tentang pentingnya dan keharusan menjalankan politik front persatuan nasional. Seperti Muso, Lukman berpendapat, dasar politik front politik nasional atau ide yang melahirkan politik front nasional karena adanya perbedaan revolusi di negeri imperialis dengan revolusi di negeri jajahan dan negeri tergantung.
Revolusi di negeri imperialis, demikian Lukman, kaum borjuasinya adalah penindas; mereka adalah kaum kontra-revolusioner sehingga elemen nasional sebagai suatu elemen di dalam perjuangan untuk emansipasi tidak terdapat di negeri-negeri ini. Revolusi di negeri jajahan dan negeri tergantung penindasannya dilakukan oleh imperialisme negara lain sehingga borjuasi nasional pada tingkatan tertentu dan untuk masa tertentu bisa menyokong gerakan revolusioner untuk melawan imperialisme, dan elemen nasional sebagai suatu elemen di dalam perjuangan untuk emansipasi adalah suatu faktor revolusioner.
Lukman karena itu merujuk kepada revolusi Tiongkok yang disebut sebagai revolusi borjuis demokratis tipe baru sebelum akhirnya menuju ke revolusi sosialis. Awalnya kaum komunis justru menjalin kerja sama dengan borjuasi nasional karena Tiongkok merupakan negara yang ditindas, negara setengah jajahan dan dalam revolusinya, borjuasi nasional bisa membantu gerakan revolusioner melawan imperialisme. Pendeknya, negara seperti Indonesia pada 1948 membutuhkan front persatuan nasional termasuk dengan kaum borjuis nasionalnya untuk melawan imperlias Belanda yang disokong AS.
Imperialisme
Karena itu, menurut Lukman, gerakan nasional atau revolusi nasional adalah pertama-tama perjuangan yang ditujukan untuk menggulingkan kekuasaan imperialisme. Itu sebabnya, imperialisme menjadi sasaran utama atau menjadi musuh utama dan pertama dari gerakan nasional atau revolusi nasional. Walau demikian, harus tetap diingat borjuasi nasional merupakan kelas pengisap. Tetap ada pertentangan dengan kelas buruh, kaum tani dan rakyat tertindas lainnya. Lukman menyebutnya sebagai perjuangan kelas.
Tetapi, mengutip apa yang dikatakan Stalin, elemen nasional sebagai suatu elemen dalam perjuangan untuk emansipasi yaitu adanya penindasan terhadap elemen yang menjadi bagian dari ciri-ciri nasion, maka di dalam revolusi mayoritas daripada nasion – dari borjuasi nasional, buruh hingga kaum taninya – bisa bekerja sama dan bersekutu di dalam front persatuan nasional anti-imperialisme. Pendeknya, kata Lukman, dalam front persatuan nasional itu bekerja sama dan bersekutulah kekuatan yang anti-imperialis.
Dasar pertimbangan objektif dari politik front persatuan nasional dengan borjuasi nasional adalah dalam revolusi nasional, kelas borjuis tidak menjadi sasaran revolusi, tapi sampai batas-batas tertentu bisa mengambil bagian di dalam revolusi. Tentang kekuatan borjuis nasional tidak diukur dari jumlahnya atau kekuatan organisasi partainya melainkan dari kekuatan pengaruh politik dan ideologinya di kalangan massa rakyat.
Jika dilihat dari jumlah dan kekuatan organisasi partainya, barangkali borjuasi nasional bisa dikatakan tidaklah besar kekuatannya. Namun, dilihat dari pengaruh politik dan ideologinya, maka tidak ragu lagi harus dikatakan kekuatan borjuasi nasional itu besar. Karena itu, ketika berjuang melawan imperialisme yang masih merupakan kekuatan besar, tanpa menggalang front persatuan nasional termasuk dengan borjuis nasional sama artinya dengan menjalankan politik membenturkan kepala ke tembok batu.
Gagasan persatuan ini sejak lama telah menjadi pemikiran Soekarno. Bahkan ia memegang teguh konsep persatuannya itu yang meliputi nasionalis, agama dan komunisme hingga ujung hidupnya. Ia menamai gagasan persatuan nasionalnya itu sebagai Nasakom. Kendati gagasan itu banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang berinteraksi dengannya, boleh dibilang pemikirannya tentang Nasakom itu orisinal.
Karena itu, Soekarno lantas memprakarsai front nasional ini pada 1959. Seperti Muso, Soekarno berpendapat, front nasional adalah jalan untuk menuntaskan revolusi nasional demi terciptanya masyarakat adil dan makmur. Ia bahkan mampu meyakinkan 3 kekuatan politik besar di Indonesia yakni nasionalis, agamais dan komunis untuk bersama-sama menghadapi imperialisme.
Tentu saja PKI menyambut baik gagasan Soekarno itu. Pasalnya, sejak 1948, PKI telah menganjurkan pembentukan front nasional untuk bersama-sama melawan imperialisme. Seperti yang sudah disebutkan, dalam tahapan revolusi nasional, maka musuh utama yang disasar adalah imperialisme. Lewat front nasional, seluruh kekuatan rakyat dimobilisasi melawan imperialisme. Agar tujuannya tercapai, Soekarno lantas menganjurkan pembangunan front nasional hingga ke dusun-dusun. Namun, pada perjalanannya gagasan ini tidak sesuai dengan praktiknya. Bahkan gagasan tersebut seperti hari ini lebih banyak disabotase. [Kristian Ginting]