Koran Sulindo – Pada suatu Maret 2019. Saya bersama beberapa kawan bertemu dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Bahar Buasan. Di kantin depan Gedung DPD, kami membicarakan sejumlah topik terutama yang paling aktual: pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden secara serentak pada 17 April 2019.
Setelah berbicara banyak hal, pembahasan kami pun pada akhirnya mengerucut pada persoalan-persoalan Kepulauan Babel. Mengapa Babel? Saya memang terkesan kepada kedua daerah itu. Boleh dibilang “jatuh hati” pada keduanya. Kendati kunjungan saya ke Bangka tidak lebih dari sepekan dan begitu pula dengan Belitung, saya punya kesan mendalam terhadap kedua daerah itu.
Di samping kekayaan dan keindahan alamnya, saya juga terkesan dengan keberagaman kebudayaan serta masyarakatnya. Oleh karena situasi dan suasana itu, saya teringat dengan kampung halaman. Tiap-tiap orang saling menyapa dengan hangat. Kesan guyub juga saya rasakan ketika berada di warung (kedai) kopi. Persis seperti yang saya rasakan ketika berada di tanah kelahiran: Tanah Karo, Sumatra Utara.
Kembali kepada pembicaraan saya dengan Pak Bahar, anggota DPD Kepulauan Babel itu. Saya menyinggung banyak hal tentang Kepulauan Babel. Namun, yang paling saya ingat adalah saya menanyakan sikapnya tentang wacana menjadikan Babel sebagai pusat pembangunan tenaga (energi) nuklir. Pak Bahar menolaknya. Sebuah sikap yang tidak saya duga. Karena tenaga nuklir punya manfaat yang luar biasa, sehingga tiap-tiap negara berlomba-lomba untuk menciptakan nuklir.
“Buat apa membangun tenaga nuklir, Pak?” tanya Pak Bahar.
“Demi kedaulatan sebuah bangsa,” jawab saya.
“Janganlah, Pak. Apakah dengan nuklir, rakyat Babel akan sejahtera?”
Saya tidak bisa menjawabnya segera pada waktu itu. Akan tetapi, untuk saat ini, setidaknya berdasarkan penjelasan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Djarot Sulistio Wisnusubroto dengan adanya tenaga nuklir terutama untuk pembangkit listrik bisa menjadi sumber tenaga listrik dengan intensitas energi yang tinggi dan sangat besar. Hanya dengan jumlah bahan bakar yang sedikit, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mampu menyediakan tenaga listrik hingga satu gigawatt.
Berdasarkan fakta tersebut, manfaat nuklir tidak saja hanya bermanfaat bagi rakyat Babel tapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Buktinya, Djarot yang sudah menjadi guru besar itu optimistis kebutuhan listrik seluruh Indonesia akan dapat dipenuhi dan target “Indonesia Menyala” 2025 akan tercapai melalui PLTN. Seperti halnya membangun pembangkit listrik melalui energi baru terbarukan, Djarot mengakui, membangun PLTN tidaklah murah.
Ia akan tetapi meyakini hasil yang diraih PLTN akan jauh lebih besar, lebih efisien dan tidak membutuhkan tempat seperti pembangkit listrik lainnya. Selain itu, nuklir memiliki sampah radiasi yang sedikit dan tergolong aman. Terlebih lagi sistem pembuangan sampah radiasi yang ditemukan tenaga ahli Indonesia, telah digunakan di beberapa negara.
Kembali kepada pembicaraan dengan Pak Bahar. Karena saya tidak menjawab dengan tegas pertanyaannya waktu itu, dia melanjutkan pembahasannya tentang nuklir.
“Kami saat ini sedang membangun Babel dengan perkebunan, perikanan dan pariwisata. Jadi, tidak usahlah menyulitkan kami dengan nuklir karena radiasinya bisa berbahaya dan merugikan masyarakat Babel,” kata Pak Bahar.
Sejarah Nuklir
Sesungguhnya saya mengharapkan penjelasan yang lebih mendalam tentang alasan Pak Bahar menolak pembangunan tenaga nuklir di Babel. Apalagi predikat Pak Bahar sebagai anggota DPD, tentulah punya argumentasi yang kuat sehingga masyarakat bisa diyakinkan bahwa tenaga nuklir memang tidak dibutuhkan dan berbahaya bagi siapa saja. Dengan penjelasan demikian, masyarakat menjadi punya alasan yang kuat untuk tidak mendukung pembangunan tenaga nuklir di Babel. Sayangnya argumentasi itu tidak muncul dari penjelasan Pak Bahar.
Berbicara tentang nuklir sebagai energi maupun senjata sudah dimulai sejak zaman Soekarno. Oleh karena itu, gagasan pembangunan nuklir di Republik ini bukanlah sesuatu hal baru. Bermula dari uji coba senjata nuklir Amerika Serikat (AS) di Samudra pasifik dan dekat dengan pulau-pulau yang menjadi wilayah teritorial Indonesia. Khawatir dengan radiasi dari uji coba nuklir itu, Soekarno membentuk panitia penyelidikan untuk memeriksa radiasi akibat uji coba nuklir itu.
Setelah diselidiki, hasil penyelidikan panitia atas pulau-pulau Indonesia yang dekat dengan Samudra Pasifik menunjukkan tidak ada dampak dari radiasi uji coba termo nuklir AS. Panitia juga mengusulkan kepada Bung Karno untuk membuat reaktor atom. Bung Karno menyetujui usulan itu. Lalu, dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (cikal bakal Batan) pada 1958 yang dipimpin Siwabessy. Bung Karno menaruh perhatian besar terhadap lembaga tersebut.
Selain memberikan keleluasaan mempelajari teknologi nuklir di berbagai negara, ilmuwan-ilmuwan dalam lembaga tersebut juga diberi beasiswa untuk menempuh pendidikan di bidang nuklir. Kerja sama dengan berbagai lembaga internasional pun dilakukan. Termasuk dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Bung Karno juga terlibat aktif untuk mengembangkan tenaga nuklir tersebut. Karena kedekatannya dengan John F. Kennedy, dia berhasil membujuk AS untuk mendirikan reaktor kecil berkekuatan 250 kilowatt untuk tujuan riset.
Kerja sama kedua negara di bidang nuklir ditandatangani pada Juni 1960 di bawah program “Atom for Peace”. AS juga memberikan bantuan dana senilai US$ 350 ribu untuk pembangunan reaktor nuklir. Sedangkan untuk dana riset diberikan senilai US$ 141 ribu. Berdasarkan kesepakatan itulah dibangun reaktor kecil di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada April 1961. Tidak hanya dari AS, melalui Bung Karno, Uni Soviet juga membiayai dua reaktor nuklir di Indonesia. Juga untuk tujuan riset.
Reaktor pertama pun selesai dibangun pada November 1962, dengan perjanjian untuk memperoleh reaktor lain berkekuatan 2.000 kilowatt yang ditandatangani pada 1964. Sebelum rekator itu jadi, Republik Rakyat Tiongkok berhasil menguji coba senjata nuklirnya pada Oktober 1964. Peristiwa itu justru semakin membuat Bung Karno tertarik dengan nuklir. Dari sekadar tujuan riset, Bung Karno lantas mengalihkannya menjadi senjata nuklir. Dengan Indonesia memiliki senjata nuklir, status Indonesia di dunia internasional juga akan meningkat.
Uji coba senjata nuklir itu sedianya akan dilaksanakan pada 1969. Ada sekitar 200 ilmuwan yang terlibat dalam proyek itu. Rencananya, uji coba nuklir itu akan diledakkan di luar Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Dunia internasional tersentak dengan capaian Indonesia pada waktu itu. Radio Australia bahkan menyebutkan Indonesia mampu membuat reaktor atom. Pada waktu Kongres Muhammadiyah di Bandung pada akhir Juli 1965, Bung Karno berpidato:
Insya Allah dalam waktu dekat ini, kita akan berhasil membuat bom atom sendiri. Bom atom itu bukan untuk mengagresi bangsa lain, tetapi sekadar untuk menjaga kedaulatan Tanah Air kita dari gangguan gangguan tangan jahil. Akan kita gunakan kalau kita diganggu atau diserang. Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya.
Dunia gempar. Negara-negara sekutu AS bereaksi atas pidato Bung Karno itu, terutama Malaysia yang merasa terancam dengan pernyataan Bung Karno. Berselang tiga bulan dari pidatonya itu, peristiwa 1 Oktober 1965 atau acap disebut G30S pecah. Jutaan anak bangsa menjadi korban setelah terjadinya peristiwa itu. Bung Karno pun dilengserkan dari jabatannya. Semua gagasan tentang nuklir hanya tinggal kenangan. Sejak itu, tampaknya tidak ada pemimpin negeri ini yang sungguh-sungguh ingin mengembangkan tenaga nuklir di Indonesia.

Mengapa Babel
Lantas mengapa Bangka Belitung? Sebuah jurnal berjudul Agenda-Setting Pembangunan PLTN dan Pencapaian Ketahanan Listrik: Studi di Jepara dan Pangkal Pinang memaparkan, pembangunan PLTN sejak rezim fasis militer Soeharto sebenarnya bersifat pragmatis karena potensi semakin besarnya pasokan listrik di masa mendatang. Dalam hal ini kaitannya Bangka Belitung menjadi lokasi untuk pembangunan PLTN.
Secara teknologi, Indonesia mampu membangun PLTN. Studi kelayakan yang menindaklanjuti pra-studi kelayakan PLTN di Provinsi Kepulauan Babel pada 2010 menghasilkan dua calon lokasi yaitu di Teluk Menggris-Pantai Tanah Merah, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat dan Tanjung Berani-Tanjung Krasak, Desa Sebagin, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.
Studi kelayakan yang dilakukan PT Surveyor Indonesia (Persero) bekerja sama dengan AF-Consult (Swiss) selama 3 tahun (dari 2011-2013). Sebagai konsultan studi tersebut adalah PT Kogas Driyap dan kegiatan studi kelayakan tersebut mengacu pada peraturan, pedoman dan standard Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), serta IAEA dan United State Nuclear Regulatory Commission (USNRC).
Hasil studi kelayakan tapak dan non-tapak rencana pembangunan PLTN di dua kabupaten tersebut dinyatakan layak dibangun. Soal ini, Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnusubroto mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Provinsi Babel memenuhi syarat karena bebas dari gempa bumi dan tsunami. Kepulauan ini tersusun dari batuan granit yang sangat stabil dari guncangan gempa. Jenis batuan granit sangat keras dan terbangun utuh hingga kedalaman sampai berkilo-kilometer ke dasar mantel bumi.
Babel, kata Djarot, memiliki potensi PLTN 10 ribu megawatt. Dengan daya demikian, asumsinya bisa memasok listrik untuk Sumatra dan bisa jadi lumbung energi. Untuk pembangunan tahap awal bisa dibangun PLTN berkapasitas 5.000 megawatt dan beroperasi pada 2025. Tapi, keputusan ini menunggu dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Dibandingkan negara-negara Asean, Vietnam akan menjadi negara pertama yang akan memulai PLTN karena sudah go nuklir.
Selanjutnya, mungkin Malaysia karena sudah membentuk tim nasional. Selanjutnya, mungkin Indonesia, Filipina atau Thailand. Namun, dari sisi pendalaman, seperti infrastruktur, badan pengawas, fleksibilitas studi di Babel, mendirik teknik nuklir, jadi dari infrastruktur Indonesia yang paling siap, kata Djarot.
PLTN juga dinilai memiliki keunggulan sebagai alat untuk mengurangi ancaman perubahan iklim, efisiensi sumber daya dan ketahanan energi. Pasalnya, siklus hidup emisi gas rumah kaca nuklir sama rendahnya dengan angina, jumlah daya listrik yang dihasilkan bahan baku uranium yang melimpah dan risikonya yang terlalu dibesar-besarkan.
Potensi bencana PLTN dalam batas tertentu bahkan lebih kecil dari yang diperkirakan. Dalam sejarah penggunaannya, kecelakaan reaktor hanya terjadi pada reaktor 14.400 tahun – operasi reaktor secara komersial secara kumulatif yaitu reaktor Chernobyl (1986), Three-Mile Island (1979), Windscale (1957) dan Fukushima (2011). Selain itu, PLTN jauh lebih ramah lingkungan. Sebagai contoh, bahan baku thorium juga lebih efisien seperti yang telah dikembangkan di Tiongkok, AS dan India. Sejauh ini, thorium misalnya hanya 24 – 29 persen yang bisa diperkaya untuk PLTN. Dengan demikian, proses pengayaan seperti ini tidak bisa lagi dipakai untuk bom atom.
Dari penelitian dan pendapat ahli tersebut, maka semua penjelasan Pak Bahar tentang dampak dan “bahaya” nuklir menjadi terbantahkan. Karena umumnya penolakan pembangunan tenaga nuklir lebih bersifat politis terutama ketiadaan kemauan politik dari pemerintah. Kita karena itu justru lebih khawatir dengan sepak terjang pengusaha rakus yang mengeksploitasi kekayaan alam terutama tambang timah Kepulauan Babel secara masif.
Pada akhirnya kita akan dihadapkan atas pilihan: membangun demi rakyat atau sekadar menjadi juru bicara – kalau bukan ‘boneka’ pengusaha. Soal ini, saya diingatkan teman yang ada di Bangka: masyarakat mendukung PLTN asal penggunaannya dilaksanakan secara adil demi kesejahteraan rakyat. Dari pendapat itu, saya berpikir, tidak alasan untuk tidak mendukung rakyat, bukan? [Kristian Ginting]