Di masa kini, mencetak foto bisa dilakukan dalam hitungan menit, cukup pilih gambar dari gawai, tekan tombol, dan hasil cetak keluar seketika. Namun jauh sebelum era digital mendominasi, proses mencetak foto adalah sebuah proses yang panjang, rumit, dan penuh hati hati. Istilah “cuci foto” bukan sekadar ungkapan. Pada zaman fotografi analog, foto memang benar-benar dicuci dengan air dan larutan kimia khusus. Prosesnya tak bisa sembarangan, karena kesalahan sedikit saja bisa menghapus kenangan yang sudah susah payah ditangkap melalui lensa.
Dikutip dari berbagai sumber, semua prosesnya dimulai dari film analog, gulungan plastik tipis berlapis bahan kimia peka cahaya. Di sanalah gambar pertama kali direkam, bukan dalam bentuk nyata, melainkan sebagai bayangan laten yang belum bisa dilihat dengan mata telanjang. Ketika cahaya masuk ke dalam kamera dan mengenai permukaan film, jejak-jejak cahaya itu tersimpan sebagai informasi kimiawi. Tapi film ini begitu sensitif, sampai-sampai seberkas cahaya pun bisa merusaknya. Maka untuk memprosesnya, diperlukan tempat khusus yang disebut kamar gelap.
Di ruang remang-remang itu, barulah proses pencucian negatif film dimulai. Film direndam bertahap ke dalam tiga jenis larutan, pertama developer, yang berfungsi mengembangkan gambar laten menjadi citra nyata namun masih terbalik warnanya itulah yang disebut negatif. Lalu masuk ke stop bath, cairan penghenti yang menahan laju pengembangan agar gambar tak terlalu gelap. Terakhir adalah fixer, yang “mengunci” gambar agar tak lagi bereaksi dengan cahaya. Dari sini, lahirlah negatif film yang bisa digunakan untuk mencetak foto.
Tapi negatif saja belum cukup. Untuk membuat gambar yang bisa dilihat dan disimpan, dibutuhkan proses cetak foto di atas kertas. Kertas foto khusus diletakkan di bawah enlarger, alat seperti proyektor mini yang memaparkan cahaya lewat negatif tadi. Proyeksi cahaya itu membakar gambar ke kertas foto yang juga sensitif cahaya. Namun gambar yang terbentuk masih samar, belum sepenuhnya muncul.
Barulah masuk ke tahap yang paling ajaib sekaligus paling literal dari istilah “cuci foto” yaitu pencelupan kertas ke dalam cairan developer. Di sanalah, pelan-pelan gambar muncul seperti sihir. Wajah-wajah yang tadinya samar berubah menjadi jelas. Usai itu, kertas foto dipindah ke fixer, sama seperti film, fungsinya untuk menstabilkan gambar agar tidak mudah luntur atau pudar. Dan di sinilah puncaknya, dimana kertas foto benar-benar dicuci menggunakan air bersih. Air mengalir dalam jumlah besar, menghapus sisa-sisa zat kimia yang menempel. Jika proses ini dilewatkan atau asal-asalan, foto bisa cepat rusak, menguning, atau retak-retak seiring waktu.
Setelah pencucian tuntas, foto dikeringkan. Proses pengeringan ini tak bisa dipercepat. Foto harus dibiarkan dalam suhu yang tepat, jauh dari cahaya dan kelembaban. Baru setelah itu, ia siap untuk dibingkai, disimpan, atau dikirim kepada pemiliknya. Keseluruhan proses bisa memakan waktu hingga tiga hari, suatu durasi yang kini nyaris tak terpikirkan di tengah budaya serba instan.
Proses “mencuci” foto di masa lalu bukan sekadar langkah teknis. Ia adalah seni dan sains yang berpadu dalam ketelatenan. Setiap tahapan mengandung risiko, dan setiap keberhasilan mencetak satu foto yang utuh adalah pencapaian tersendiri. Kini, meskipun teknologi digital telah menggantikan hampir seluruh tahapan itu, romantika di balik “cuci foto” tetap hidup dalam ingatan dan sejarah.
Jadi jika suatu hari mendengar istilah “cuci foto,” ketahuilah, itu bukan metafora. Dulu, foto memang benar-benar dicuci dengan air, sabar, dan cinta pada momen yang ingin diabadikan. [UN]