Koran Sulindo – Setelah Sultan Hamengkubowono II menyerah kepada Inggris tanggal 20 Juni 1812, Keraton Yogyakarta benar-benar berada dalam titik nadir. Harta kekayaan, pusaka dan pustaka dijarah oleh tentara Inggris.

Dalam buku Jawa di Inggris karya Peter Carey yang merupakan telaah dari Serat Babad Ngengreng ping kalih karya Pangeran Panular, salah seorang putra HB II dari istri selir disebut Sultan  menerima perlakuan yang menyedihkan. Ia dirangket pukul 08.00 pagi.

Babad itu merupakan versi yang sedikit berbeda dari sebuah babad yang oleh orang Belanda disebut sebagai Babad Bedah ing Ngayogyakarta.

HB II dikawal ke suatu tempat tertutup melalui pintu belakang untuk dihadapkan pada Thomas Stamford Raffles. Tanpa keris dalam sebuah pintu ruangan yang terkunci dan berpenjaga, keadaan penguasa Yogyakarta itu benar-benar memelas.

Menurut Panular, HB II tak henti-hentinya mengutuk Patih Yogya yang dianggapnya tega dan tidak mengabaikan kotak-kotak harta yang dipercayakan padanya. Ia bahkan mendoakan sang patih itu tak bakalan selamat dan memperoleh keberuntungan di masa depan.

Di sisi lain sepeninggal HB II dari Istana, keadaan di dalam keraton benar-benar kacau balau. Sementara serdadu Inggris menjarah harta benda, tentara Sepoy meringkus para perempuan keraton untuk merebut bundelan atau kandutan yang berisi barang-barang berharga.

Baca juga

Gerombolan serdadu itu mengambil apa saja dari siapa saja, besar kecil, tua muda tanpa menunjukkan rasa hormat pada siapapun termasuk kepada anak-anak bangsawan.

Salah satu yang menjadi sasaran khusus tentara Sepoy adalah anggota pengawal perempuan HB II yang konon dikabarkan memiliki berlian. Perampasan itu tak terkecuali juga menimpa istri-istri HB II termasuk istri kesayangannya Ratu Kencono Wulan.

Menjadi kesayangan raja, perempuan ini mendapat kekayaan luar biasa atas jasanya menjadi perantara bagi siapapun yang ingin menjadi priyayi asalkan punya uang. HB II yang sangat menyayanginya, telah mengikuti kemauannya hampir dalam segala hal sehingga ruang harta di keraton penuh dengan emas, perak, dan berlian.

Ini menjelaskan mengapa nasib buruk segera menghampirinya ketika keraton kalah melawan Inggris. Serdadu-serdadu itu memaksa ratu ini untuk menunjukkan simpanan hartanya. Ia juga dipaksa untuk menunjukkan berlian sebesar jempol kaki yang diduga dimiliki Sultan.

Ratu ini menolak todongan serdadu Inggris dengan menyebut sebelumnya ada seseorang yang menawarkan untuk menjual seikat besar berlian milik orang Solo, tetapi mereka belum memutuskan untuk membelinya. Tentu saja orang-orang Inggris tak mempercayainya dan bertambah keras mengancamnya.

Sebagai gantinya Ratu ini mengambil sebuah kantong sabuk penuh berisi perhiasan dan menyerahkannya sambil tak lupa mengatakan bahwa, “tinggal ini saja miliknya.”

Ia juga menyebut harta Sultan telah dibawa para lurah pengawal perempuan dan tak tahu bagaimana mengambilnya kembali.

Karena penjelasan ini tak diterima para penjarah, Ratu cepat-cepat memanggil dua punggawa perempuan Sultan untuk mencari para lurah pengawal itu. Pencarian itu sia-sia namun mereka berhasil menemukan sebutir berlian besar yang dilempar ke dalam sumur di dekat kebun.

Berlian itulah yang kemudian diambil sang Ratu dan menyerahkannya pada para penjarah. Ia menyebut bahwa ini satu-satunya harta Raja Yogya dan menyebut bahwa berlian itu merupakan hadiah dari HB I.

Para penjarah yang menerima berlian itu merasa senang dan membawanya kepada Thomas Stamford Raffles yang membayarnya sebanyak 500 ringgit Spanyol.

Baca juga:

Jika Ratu bisa mengelabuhi para penjarahnya, keadaan keraton justru makin menyedihkan. Perampokan berlangsung tanpa henti meskipun para perempuan tak diserang secara fisik atau diperkosa, seperti yang terjadi pada waktu kejatuhan Keraton Kartasura dalam Geger Pecinan dan pendudukan Pleret.

Meski para perempuan tak mengalami kekerasan fisik, namun hanya sedikit harta keraton yang bisa diselamatkan. Peti-peti dihancurkan, sumur-sumur dikeruk, tanah digali dan semua tempat diperiksa dengan teliti.

Setelah harta-harta itu dikumpulkan, semua kekayaan keraton itu dibawa ke Benteng Vredeberg menggunak gerobak atau tukang pikul.

Tak perduli siapapun, semua pengawal HB II dipaksa ikut ambil bagian mengangkut kotak-kotak besar itu. Bahkan ipar-ipar HB II seperti Prawironoto dan Prawirodiwiryo diwajibkan menangkut barang rampasan itu.

Sementara seorang lurah dari Pasukan Ketanggung yang dianggap lamban bekerja, diancam akan ditembak. Begitu juga lurah-lurah lainnya termasuk jajaran tentaranya harus bekerja seperti kuli angkut biasa di bawah perintah tentara Inggris dan Sepoy.

Operasi menguras harta Keraton Yogyakarta, termasuk manuskrip-manuskrip dan pustaka itu baru berakhir setelah empat hari lamanya. (TGU)